Mohon tunggu...
Ulil Lala
Ulil Lala Mohon Tunggu... Administrasi - Deus Providebit - dreaming, working, praying

Bukan penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sudah 10 Kali Kena Tilang, Kapok?

24 Januari 2021   22:54 Diperbarui: 26 Januari 2021   18:41 1544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tolonglah pak, uang saya hanya segini, motor pinjaman dan saya harus pulang hari ini juga. Tolong ya pak Polisi..." 

Mendengar berita adanya mekanisme baru dalam pelaksanaan tilang, membuat saya teringat sejarah saya yang sering berurusan dengan pak Polantas berkenaan dengan tilang, negosiasi di tempat dan selesai.

Mengenai tilang sendiri saya sudah banyak dengar dari sejak saya belum bisa naik motor, hingga sudah bisa naik motor, tapi belum bisa beli alias pinjaman, bahkan sampai punya motor sendiri, saya sudah kenyang dengan cegatan pak Polisi lalu terjadi deh proses tilang. 

Tilang yang pernah saya alami itu juga tak hanya terjadi di kota lahir saya saja, tapi di kota tempat saya berlibur bahkan di rantau.

Selain itu, Bapak saya yang dulu bekerja sebagai sopir mobil barang juga cukup sering kena kasus tilang. Pelanggaran yang terjadi ada yang faktor kesengajaan meski hanya sedikit dan banyak yang tidak sengaja atau memang pak Polisi yang mau mencari seseran di jalanan.

Tak heran dalam masyarakat muncul image Polisi sebagai tukang tilang, karena kemungkinan uang hasil tilang itu untuk sendiri atau dibagi dengan rekan-rekannya dan sebagian kecil saja yang disetor ke negara. 

Itupun kalau prosedur penilangan dilakukan secara resmi, misalnya dalam kegiatan operasi zebra. Itulah image tentang Polantas yang ada di masyarakat.

Salah satu kasus yang masih saya ingat saat saya muda dulu berkendara dari kota Solo ke Jogja dengan kecepatan 100km/jam kadang lebih sampai kawan yang duduk dibelakang teriak supaya tidak ngebut. 

Sampai di Kalasan dekat candi Prambanan dikejar Polisi dan diminta menepi. Surat-surat lengkap, kendaraan baik, saya bingung juga kenapa ditangkap, apakah kecepatan saya? 

Setelah tanya jawab dengan pak Polisi baru saya tahu bahwa masuk Daerah Istimewa Yogyakarta ada jalur khusus untuk kendaraan roda dua. 

Saya hanya bisa bengong saja, karena baru pertama dan tak tahu sama sekali tentang hal itu. Masuk ke pos Polisi, mendengarkan penjelasan pelanggaran dan cukup kaget karena dendanya lumayan besar. 

"Pak Polisi, saya mengaku bersalah, karena saya belum tahu. Saya akan mengingat aturan ini, tapi pak uang saya hanya ada seratus ribu, bisakah dendanya dikurangi? Karena saya harus beli bensin dan makan." Kata saya dengan takut dan gelisah.

Ya, tawar menawar kami lakukan dan akhirnya saya bayar Rp. 30.000 untuk awal tahun 2000an uang segitu bagi saya sudah cukup besar hanya untuk masuk kantong pribadi, tapi ya sudahlah yang penting urusan saya dengan aparat Polantas selesai.

Sekarang mendengar ada berita tentang penilangan ala online sistem atau tilang elektronik dimana orang yang kena tilang harus membayar denda melalui bank yang ditunjuk dan diberikan waktu satu minggu. Jika dalam waktu satu minggu tidak dibayar akan terkena blokir STNK pada saat pembayaran pajak kendaraan. 

Berdasarkan informasi yang saya kutip dari kompascom sistem penilangan elektronik ini menggunakan fasilitas CCTV sebagai pemindai pelanggaran selama 24 jam. 

Hal ini dipandang cukup efektif untuk meminimalisir tindak korupsi, kolusi dan nepotisme, karena antara petugas dan pelanggar tidak terhubung secara langsung.

Ya, bisa jadi memang cukup efektif untuk mengurangi KKN dan pelanggaran lalu lintas. Masalahnya bagaimana pelanggaran yang terjadi di luar jangkauan CCTV? Bukankah akan kembali lagi pada petugas Polantas yang menanganinya?

Meskipun petugas sudah dibekali dengan aplikasi ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement) di handphonenya, kira-kira mungkinkah praktik damai di tempat tidak akan terjadi?

Tidak ada yang bisa menjamin, karena kejadian semacam ini akan kembali pada loyalitas dan kejujuran petudas Polantas sendiri dan tentunya peran masyarakat juga ikut andil.

Lebih ribet lagi, ketika terjadi salah sasaran. Dalam hal ini pelanggar menggunakan plat palsu, maka untuk menghindari denda atau pemblokiran STNK Anda harus melakukan konfirmasi kepada petugas dengan menghadirkan kendaraannya. Sementara tarif dendanya bisa dilihat di sini.

Sebenarnya masyarakat juga bisa berperan aktif untuk menyukseskan misi Kapolri terkait penerapan ETLE. Bila memang tertangkap lebih baik denda di transfer ke bank yang ditunjuk melalui aplikasi Polantas, daripada memberikan atau titip uang cash kepada petugas. 

Kira-kira kapan ETLE sampai ke Palembang? Karena tingkat pelanggaran lalu lintas di kota ini cukup besar. Kejadian yang setiap menit terjadi adalah perhentian karena lampu lalu lintas merah. 

Angkutan umum yang "semena-mena berhenti menunggu, menaikan dan menurunkan penumpang. Dua hal ini yang membuat saya shock ketika pertama datang dan berkendara di kota ini. Yang lebih ironis, terkadang petugas Polantas sampai tak kuasa mengatur pengendara motor dan angkutan.

Mudah-mudahan implementasi ETLE benar-benar bisa mengurangi korupsi dan membuat jalanan makin teratur. 

Jadi kena tilang sepuluh kali apakah membuat kapok? Tak bisa dijawab kapok dong, karena semua bukan kejadian yang disengaja, namun karna kejadian tersebut membuat saya selalu merinding ketika hendak melintasi pos Polantas, melihat petugas berdiri di jalanan atau kepergok operasi zebra. 

Meskipun surat-surat lengkap, kendaraanenuhi syarat tetep aja gemeteran dag dig dug tiap kali ketemu pak Polantas berompi hijau neon itu. Yah nasib aja sedang apes ketilang pak Polantas, memang saya melanggar tanpa saya sadari. 

3S
Sehat, Selamat & Semangat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun