Mohon tunggu...
Ulil Absor 6114
Ulil Absor 6114 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa jurusan Ilmu Hukum di Fakultas Syariah dan Hukum UIN WALISONGO Semarang dan juga Santri di Pondok Pesantren Al Ishlah

Santri ponpes al ishlah

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Point Of Questions (Permendikbudristek No. 30 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual)

4 Desember 2021   06:16 Diperbarui: 4 Desember 2021   06:50 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa minggu yang lalu, keluar Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbudristek PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Permen ini dilatarbelakangi dengan maraknya berbagai kasus kekerasan seksual yang sering terjadi di lingkungan kampus. Sayang, sebelumnya belum ada payung hukum dan kuatnya relasi kuasa para pelaku .

Payung hukum menjadi sangat urgent mengingat asas dari hukum itu sendiri tanpa adanya klausul yang mengatur , maka tidak dapat di proses kejahatan hukum tersebut . Ketika kita merujuk konsep asas berlakunya hukum kita kenal dengan asas legalitas "nullum delictum, nulla poena, sine praevia lege poenali.".

Data Komnas Perempuan sepanjang 2015-2020 menunjukkan, dari keseluruhan pengaduan kekerasan seksual yang berasal dari lembaga pendidikan, sebanyak 27 persen kasus terjadi di perguruan tinggi. Data ini diperkuat dengan survei Koalisi Ruang Publik Aman pada 2019 yang menunjukkan lingkungan sekolah dan kampus menduduki urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15 persen) di bawah jalanan (33 persen) dan transportasi umum (19 persen). Dikutip dari TEMPO. CO

Kemudian, ada beberapa point yang dipermasalahkan oleh beberapa ahli. Pertama, soal materi muatan dari dibentuknya permen tersebut yang seharusnya diatur oleh undang-undang, namun diatur oleh permen seperti mengatur norma kekerasan seksual yang dilengkapi dengan sanksi yang kurang proporsional.

Kedua, Soal pembentukan Satuan Petugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, yang mana mengurangi luasnya otonomi Satuan Pendidikan terutama di lingkungan kampus.

Pasal 5 pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, huruf l, dan huruf m, menjadi alasan yang selanjutnya. Bukan soal sesuatu yang tersurat namun mempermasalahkan sesuatu yang tersirat. Dimana, ada klausul "tanpa persetujuan korban" selanjutnya memberikan multitafsir terhadap klausul tersebut yang mengatakan "bagaimana apabila sama-sama setuju ". Berarti diperbolehkan bukan? Berkaitan dari hal itu dikabarkan akan ada revisi terkait beberapa poin yang janggal.

Nah, substansi yang terkandung dari berbagai alasan dan isi diatas kemudian mendorong para mahasiswa untuk kembali mengorek kebenaran materiil yang ada yang dapat diwujudkan dari peraturan tersebut yang kemudian dituangkan dalam peraturan kampus masing-masing. Ingat ,, Lex nemini operatur iniquum, neminini facit injuriam -- hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada siapa pun dan tidak melakukan kesalahan kepada siapa pun.

Dari para mahasiswa diharapkan untuk memberikan pandangan dari aspek sosial, psikis, hukum, sampai kepada aspek perguruan. Dari aspek hukum misalnya kemudian timbul pertanyaan bagaimana konsep pembuktian berbagai teori pembuktian yang ada, asas-asas dari pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai cerminan negara hukum yang berkeadilan yang tidak bertentangan dengan konstitusi? mekanisme hukum acaranya? , asas kepastian hukum yang diperoleh dari peraturan tersebut. ?

Dari aspek keguruan misalnya, timbul pertanyaan bagaimana efek yang dapat ditimbulkan dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswanya, Bagaimana upaya preventif untuk bisa meningkatkan kembali semangat belajar mahasiswa, dan bagaimana konsepsi pencegahan yang dapat dilakukan oleh instansi ketika hal tersebut terjadi?

Dari aspek psikologi kemudian timbul pertanyaan juga bagaimana akibat psikis yang diderita oleh mahasiswa maupun dosen yang mengalami korban dari adanya kekerasan seksual, Bagaimana upaya preventif terhadap psikis korban dan lain sebagainya.

Hal itu perlu untuk didiskusikan oleh mahasiswa dikampusnya agar tujuan hukum dapat tercapai dan tersampaikan. Karena apa, kekerasan seksual dikampus merupakan sesuatu hal yng daat terjadi kapanpun dan dalam kondisi apapun. Kita tahu bersama Lex neminem cigit ad impossibilia - hukum tidak memaksakan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun