Entah dari mana asalnya doktrin ini, tetapi yang pasti, ada ikhtiar keilmuan yang harus mereka pelajari sebelum menerima doktrin apapun dari orang lain yang tidak jelas kredibilitas keilmuannya.
Minimal, pahami dulu hadis di bawah ini,
"Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya." (HR. Thobroni dalam Mu'jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini shahih)
Dilangsir dari Abusyuja.com, hukum bersentuhan antara laki-laki dan perempuan adalah mutlak tidak diperbolehkan apabila menimbulkan syahwat. Hal ini berlaku untuk perempuan dan laki-laki.
Menurut Imam Syafii, hukum menyentuh wanita yang bukan mahram (atau sebaliknya) adalah membatalkan wudu. Sedangkan menyentuh sesama jenisnya tidak membatalkan wudu, meskipun timbul syahwat sekalipun.
Artinya, yang menjadi persoalan di sini adalah jenis kelaminnya (status ajnab atau tidaknya), bukan syahwatnya.
Contoh lain, hukum menyentuh istri adalah batal, meskipun halal bagi suami menyentuhnya. Kenapa batal? Karena pernikahan tidak mempengaruhi status ajnab istri. Artinya, istri tetaplah perempuan lain, bukan dari keluarga atau keturunan kita yang muhrim.
Kembali ke persoalan utama, menurut hemat saya, sangatlah tidak pantas apabila kita membenarkan budaya tersebut. Meskipun pada kenyataannya doktrin ini tetap berlaku dan terus berjalan, baik di kalangan mahasiswa maupun dosen.
Wallahu A'lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H