Mohon tunggu...
Ulil (pipit) Fitriyah
Ulil (pipit) Fitriyah Mohon Tunggu... -

"Ngangsu lan ngisi"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anak Mau Masuk SD, Ini Tips dalam Menimbang Kebutuhan Anak Sebelum Meminang Sekolah

23 Januari 2018   12:23 Diperbarui: 24 Januari 2018   15:26 1824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun ajaran baru sudah mulai mendekat. Untuk para ayah dan bunda yang memiliki putra/putri yang mau masuk Sekolah Dasar (SD), pasti sudah pada sibuk-sibuk mencari sekolah yang tepat untuk putra/putri nya. Dan ternyata mencari sekolah SD untuk anak kita itu ternyata gampang-gampang susah ya Aybund.

Kalau mau dibuat gampang, ya sudah kita pilih sekolah SD yang terdekat aja dengan rumah kita. Tapi tidak semudah itu ternyata ya, bagi sebagian orang memilihkan sekolah yang tepat untuk anak-anak kita adalah sesuatu hal yang sangat penting dan harus menimbang dan menimang berbagai macam hal. Berikut beberapa tips yang boleh dicontek untuk para bunda/ayah dalam memilihkan sekolah putra/i nya.  

Bagai sebuah bangunan, TK dan SD merupakan pondasi bagi sebuah bangunan. Bila pendidikan itu sebuah pohon, maka pendidikan semasa anak di TK dan di SD adalah akar-akarnya. Meskipun posisinya dibawah dan tak nampak, pohon yang besar dan kokoh, tentu ditunjang oleh akar-akar yang kuat.

Demikian pula sebuah bangunan, gedung yang kuat dan tinggi menjulang tentunya harus ditopang juga oleh pondasi bangunan yang kuat. Oleh karena TK dan SD adalah pondasi, maka ia harus dibangun dengan kuat sesuai dengan model bangunan apa yang akan kita dirikan. Dan tentunya, kita sebagai orang tualah yang tahu, akan kita bentuk menjadi bangunan seperti apakah anak-anak kita kelak karena "orang tualah sang arsitektur bagi putra putrinya".

theodysseyonline.com
theodysseyonline.com
Nah, sebagai seorang arsitek, tentu kita harus tahu akan tujuan, visi dan misi pendidikan bagi anak-anak kita. Akan diarahkan (diarahkan lo ya Aybund, bukan dipaksakan) anak-anak kita kelak? Tanya pada diri sendiri, sebenarnya kita menyekolahkan anak dengan biaya yang tak sedikit dan waktu yang tidak cukup singkat, sebenarnya untuk apa sih? Pastinya, jawaban tiap orang tua berbeda-beda ya Aybund. 

Kemampuan kognitif
Ada orang tua yang menyekolahkan anaknya agar anaknya pintar di bidang tertentu seperti ilmu sains, maka mungkin jawaban orang tua yang paling banyak adalah menyekolahkan anaknya di sekolah umum yang kuat dalam bidang tersebut. Ada pula ada yang pingin anaknya pinter ngaji, maka mungkin salah satu jawabannya adalah menitipkan anaknya di sekolah Islam. Tapi tidak sedikit pula, orang tua yang menginginkan anaknya pintar dalam semua bidang, ya agamanya, ya ilmu sosialnya, ya kreatif, ya ilmu sainsnya..

Wait wait.. Kalo sudah begini, stop dulu Bund! Tarik nafas dalam-dalam dan coba berpikir ulang, apakah ayah atau bunda juga sudah demikian?

Kalo jawabannya iya, maka ada kemungkinan si anak akan bisa demikian. Tetapi kalau jawabannya *TIDAK* maka ada baiknya ayah dan bunda juga berefleksi diri dan.......

"Put yourself in your kid's shoes!"

Posisikan diri kita pada posisi anak-anak kita. Mau kah kita juga dituntut untuk pandai dan cakap dalam segala bidang? Ingat, selayaknya kita, anak-anak kita mempunyai kelebihan plus juga disertai kekurangannya. Kalau sudah urusan akademik, fokus saja pada kelebihannya dan tidak memaksakan/menuntut anak untuk bisa dengan apa yang menjadi kekurangannya.

Tetapi bukan artian tidak sama sekali memelajarinya bidang yang tidak dikuasainya. Sembari kita tetap membantu dan memotivasi anak kita mempelajari bidang tersebut, tetapi tidak dipaksakan untuk menguasai secara all out. Karena ya, mengingat sistem pendidikan di negara kita yang kurikulumnya menghendaki anak-anak kita untuk belajar banyak hal. So, untuk urusan akademik, fokus pada satu bidang saja yang anak memiliki potensi di dalamnya.

Pembentukan karakter dan kemampuan bermasyarakat
Lain lagi dengan urusan lain yang biasa disebut dengan soft skill atau dalam bahasa pendidikan juga dikenal dengan istilah penguasaan afektif (sikap) atau jika diterjemahkan dalam dalam bahasa agamanya adalah akhlak atau biasa juga disebut dengan moral dalam mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) ketika saya dulu sekolah. Selain bidang akademik, hal ini juga yang perlu dipertimbangkan.

Sudahkah sekolah tersebut bekerja keras untuk membentuk akhlak/moral peserta didiknya? Kalau dalam bahasa pendidikan zaman now sekarang, pendidikan berkarakter. Kalau sudah, seperti apa? Bagaimana bentuknya? Dan saya biasanya melacak hal ini melalui profil lulusannya. Saya akan mencoba mengamati bagaimana sih profil lulusan SD "X" ini pada umumnya? Dari situ biasanya akan dapat diperoleh gambaran pola kecenderungan pendidikan di sekolah tersebut.

Pembentukan karakter ini, kalau bagi saya penting, dan bahkan menempati skala prioritas dalam membuat keputusan kemana anak saya akan disekolahkan. Karena bagi saya, kemampuan akademik masih bisa dibentuk dan biasanya akan mengikuti dengan sendirinya bila akhlak/moral anak sudah terbentuk dengan baik.

Karena kecendurangan anak dengan attitude yang bagus biasanya memiliki paket yang lengkap---perilaku yang bagus dan kemampuan akademik yang bagus. Karena anak-anak yang memiliki perilaku yang bagus, akan lebih mampu memecahkan permasalahan dengan baik, mengontrol emosinya dengan bagus dan memiliki rasa tanggung terhadap dirinya sendiri. Sehingga kalau sudah demikian, orang tua tidak perlu lagi capek-capek atau susah meminta anaknya untuk belajar, namun sebaliknya mereka belajar karena mereka tahu bahwa belajar itu untuk dirinya sendiri.

Maka tidak heran bila para guru di negara maju seperti Australia lebih khawatir muridnya tidak bisa antre daripada tidak bisa matematika. Karena jauh di balik pelajaran sederhana mengantre, ada banyak hal yang bisa dipelajari oleh para siswa untuk kehidupannya kelak daripada hanya belajar matematika yang terkadang susah-susah dipelajari, tidak jelas tujuannya apa.

Hal ini bukan berarti pelajaran matematika tidak penting lo Aybund, tentunya. Matematika tetap penting untuk mengasah otak anak agar terbiasa dengan logika dan ilmu pasti. Tetapi membentuk akhlak anak membutuhkan waktu yang lebih karena akhlak dibentuk oleh kebiasaan, nilai yang ditanamkan dan lingkungan yang mendukung yang tentunya membutuhkan proses yang lebih panjang. Bukan sekadar oleh "pengajaran" yang disampaikan dan dihafalkan dibangku sekolah.  

Etika dan moral
Contoh lainnya di Jepang, kata Om Rizal, di Jepang negara yang terkenal dengan negara termaju di Asia tersebut menempatkan etika dan moral di urutan pertama daripada ilmu pengetahuan lainnya lo Aybund (dilansir dari hype.idntimes.com) terutama ditingkat sekolah dasar. Sementara menurut om Zuhri, yang berpengalaman menyekolahkan anaknya di salah satu SD di Jepang "moral" menjadi fokus pendidikan dasar di Jepang dan menjadi merupakan fondasi utama yang secara "sengaja" ditanamkan pada masyarakat Jepang semasa di SD dengan filosofi dasar "menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas" (dilansir dari zuhrikreatif.com).

Wow, keren ya Aybund?! (Jadi pengen belajar langsung ke Negeri Sakura sana nih saya.. ^o^ ^o^ ). Nah kan? Contoh dari kedua negara maju tersebut sudah cukup kiranya ya Aybund, untuk menyimpulkan bahwa moral/akhlak adalah menempati urutan pertama dalam pendidikan. Sebenarnya tentang akhlak/moral ini sudah banyak disinggung sih (--baru disinggung, menurut saya) dalam sistem pedidikan kita di Indonesia. 

Baru disinggung menurut saya, karena seringkali pelajaran akhlak/moral hanya sebatas "diajarkan" disekolah-sekolah, bukan "ditanamkan" (beda kan ya?? ^o^). Oleh karenanya, dalam bidang pendidikan, saya menempatkan moral/akhlak/karakter/soft skill sebagai pertimbangan utama dalam memilih lembaga pendidikan dasar dengan harapan agar anak-anak kelak memiliki moral/akhlak yang bagus. Kalau akhlak sudah terbentuk, anak memiliki sikap yang baik, dan yang penting sudah "selesai" dengan dirinya sendiri, maka akademik juga lebih mudah dipelajari ditingkat sekolah berikutnya. Itu kalau menurut saya, yang lain boleh beda pendapat dengan saya kok.

Mempertimbangkan biaya dan keikhlasan
Berikutnya, dalam memilihkan sekolah anak kita perlu kita mempertimbangkan kemampuan kantong kita J J. Nah, ini merupakan masalah yang juga sangat penting. Mempertimbangkan faktor finansial dalam memilih lembaga pendidikan sangat diperlukan. Karena, jangan sampai karena idealisme kita ingin menyekolahkan "anak pertama" kita di sekolah yang "katanya" bagus, hingga membutuhkan biaya yang besar, nanti malah anak berikutnya (adek-adeknya) tidak bisa memperoleh kesempatan yang sama. Atau, mampu membiayai di awal, di tengah-tengah ngos-ngosan, akhirnya putus di tengah jalan. 

Jangan sampai ya Bund. Tetapi kalau memang memiliki kemampuan secara finansial yang lebih, tidak ada salahnya untuk menyekolahkan anak kita di sekolah yang secara finansial kita mampu mengatasinya. Dan lagi, tidak "selalu" sekolah dengan biaya mahal dapat memberikan kualitas pendidikan yang sesuai dengan harapan. Ada beberapa sekolah, yang justru dengan biaya yang ramah justru malah bisa memenuhi harapan orang tua kok.. So, dipertimbangkan baik-baik ya Bund, untuk urusan yang satu ini..

Yang paling penting dalam hal pembiayaan sekolah ini, adalah "ukur kemampuan dan keikhlasan" kita dalam mengeluarkan biaya pendidikan. Bukan hanya mampu, tetapi juga mau. Dengan kata lain kata "ikhlas" adalah hal yang cukup penting dalam mengeluarkan biaya pendidikan.

Jangan sampai ketika kita tidak ikhlas dan "menggerundel" dalam membelanjakan uang kita untuk pendidikan anak-anak kita, akan menjadi penghalang bagi anak-anak kita dalam memperoleh ilmu. Karena ilmu bukanlah suatu barang. Ilmu bukanlah suatu benda yang dapat ditransaksikan. Dan satu hal yang perlu kita ingat adalah "pemilik ilmu bukanlah guru, tetapi ALLAH dan guru hanyalah perantaranya saja" maka ada baiknya kita pertimbangkan baik-baik "rasa ikhlas" kita dalam mengeluarkan biaya pendidikan.

Untuk ukuran kemampuan dan keikhlasan ini, tentu tiap orang berbeda-beda ya Bund..

Belum tentu dengan biaya yang murah kita jadi ikhlas lo Bund. Adakalanya kita dengan biaya yang murah, kita jadi menggerutu, "Lho, lha kok gini ternyata", "Kok gak gitu?" dan bisa jadi ada di antara kita yang justru dengan biaya mahal, justru jadi lebih ikhlas. Misalnya, "Ya wajar mahal, karena bla.. Bla.. Bla.." Artinya, jumlah uang tidak dapat dijadikan sebagai ukuran "keikhlasan" kita dalam mengeluarkan biaya pendidikan.

Oleh karena itu, jangan lupa untuk selalu mengajak hati kita berbicara ya Bund, sembari bermain logika (itung-itungan maksudnyaa..). Agar kelak putra putri kita bukan hanya sekedar memperoleh ilmu saja, tetapi memperoleh ilmu yang bermanfaat bagi dirinya terutama, keluarganya selebihnya dan lebih-lebih bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Aaamiin.

Selamat menimbang-nimbang dan menimang-nimang bunda, untuk kemudian meminang SD yang tepat untuk putra-putri kita.

Semoga bermanfaat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun