Mohon tunggu...
Ulil (pipit) Fitriyah
Ulil (pipit) Fitriyah Mohon Tunggu... -

"Ngangsu lan ngisi"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mari Berdamai dengan TV

20 Januari 2018   15:12 Diperbarui: 23 Januari 2018   09:31 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.beingpostiv.com

Awalnya, bunda memiliki prinsip tidak akan menyediakan televisi dirumah. Tetapi tiba-tiba si nenek datang dengan membawa seperangkat elektronik televisi, dengan alasan "kasihan, cucu-cucunya bila tidak ada TV dirumah". 

Bunda bingung, mau diapakan TV ini? sementara bunda dan suami sudah memiliki kesepakatan untuk say "No" to black magic box karena sudah mempelajari semua dampak negatifnya. Apa yang akan bunda lakukan dengan TV yang sudah terlanjur ada dan tinggal colok saja? menolaknya atau menerimanya?  

Dengan berat hati, akhirnya saya pun memutuskan untuk menerimanya agar ibu saya tidak kecewa. Hingga akhirnya saya menyadari bahwa adanya televisi dirumah tidak selalu memberikan dampak negatif ke buah hati kita, asalkan bunda bisa mengaturya dengan baik.

Pada bulan -- bulan pertama televisi harus nangkring di tengah ruang keluarga, apa yang menjadi kekhawatiran saya benar terjadi. Hampir full satu hari penuh, anak saya tidak bisa lepas dari layar kaca. 

Apalagi setelah tahu ada channel yang hampir setiap hari mulai dari siang hingga malam memutar acara -- acara kartun. Hampir tidak ada hentinya, saya dan suami menggerutu dan hampir setiap hari mengomeli anak saya. Berbagai carapun kami lakukan agar membuat anak saya merasa tidak nyaman ketika menonton televisi. 

Mulai dari menempatkan televisi ditempat yang tinggi sehingga tidak mudah terjangkau dan tidak nyaman menonton, menyembunyikan remote TV, hingga mengamcam akan mengembalikan televisi kepada eyangnya. 

Namun, seolah semua hal tersebut berlalu seperti angin yang berhembus saja bagi anak saya. Namanya anak, selalu ada saja cara, tingkah pola dan akalnya. Sebelum remote saya sembunyikan, justru anak saya lah yang menyembunyikan remote terlebih dahulu, agar ketika saya lengah anak saya dapat menyalakan TV dengan mudah.

Saya dan suamipun berpikir untuk mencari cara, bagaimana agar tidak lagi bertengkar dengan anak saya hanya gara-gara benda satu yang bernama "televisi" tersebut. 

Hingga akhirnya peristiwa rusaknya remote TV,membuat saya berpikir dan merubah prespectif saya akan keberadaan televisi tersebut. Saya pun mencoba mencari sisi positif dari adanya televisi tersebut. Daripada saya ramai terus gara-gara televisi, lebih baik saya berdiam diri, menerimanya dan kemudian "merubah pola dan membuat kesepakatan-kesepakatan" dengan anak saya.

Kesepakatan pertama yang kami buat adalah mengatur jadwal menonton TV. Saya dan suami sepakat untuk tidak menghidupkan TV dipagi hari sama sekali. TV baru boleh dihidupkan ketika anak saya sudah datang dari sekolah dan setelah makan. Hal tersebut juga dijadikan sarana untuk memancing anak saya untuk duduk dan mengistirahatkan tubuh selepas anak kami beraktifitas seharian disekolah. 

Dan selama TV menyala, volume suara kami buat kecil hingga sayu -- sayu ketika mendengarnya. Biasanya, karena sudah kecapekan dengan aktifitas di sekolah dan duduk dalam kondisi kenyang sambil sayu-sayu mendengar suara TV, membuat anak saya tertidur dengan sendirinya. 

TV pun kemudian segera saya matikan kembali, agar ketika terbangun anak saya tidak mendapati TV dalam keadaan menyala. TV baru akan menyala selepas anak saya pulang mengaji sore jam 4, untuk kemudian harus kembali dimatikan menjelang maghrib tiba dan baru boleh menyala kembali lagi setelah isya'.

Tidak cukup mudah mengawali hal tersebut. Kami berulang kali harus mengingatkan anak kami untuk tidak menyalakan TV diwaktu -- waktu tertentu, dan memberikan konsekuensi bila waktu tersebut dilanggar. Rusaknya remoteTV memang cukup menyebalkan bagi kami. Tetapi ternyata dibalik rusaknya remote tersebut, justru membantu kami untuk menjalankan misi ini. 

Dengan tanpa remote, baik saya, suami dan anak saya tidak dapat sembarangan menyalakan TV. Apalagi dengan letak posisi TV yang agak tinggi yang sayapun juga merasa kesulitan untuk menjangkaunya. Sehingga ada rasa enggan untuk berkali -- kali menghidupkan TV atau hanya sekedar menggonta -- ganti channel karena jangkauannya yang cukup susah.

Tantangan tiba kembali ketika anak -- anak libur sekolah. Seharian dirumah kadang membuat anak-anak tergoda untuk menyalakan TV dipagi atau siang hari. Tetapi, dengan memberikan kegiatan alternatif yang lebih menantang diluar rumah, cukup membantu anak-anak saya beralih dari TV. 

"kegiatan diluar selalu lebih menarik dan menantang" itu yang saya tanamkan untuk anak-anak saya untuk mengisi hari liburnya. Mulai dari bermain tanah di halaman rumah membuat kolam -- kolaman ikan, bersepeda, bermain layang-layang, hingga bermain di sawah bersama teman-temannya di kampung.

Alhasil sekarang, saya sudah dapat berdamai dengan televisi. Meski ada the black magic box dirumah, saya tidak perlu lagi banyak khawatir dengan anak -- anak saya. Alih -- alih memberikan dampak negatif, justru dengan adanya TV dapat dijadikan sebagai sarana untuk anak saya belajar mematuhi jadwal dan belajar mengenal komitmen dan konsekuensi. 

Aktifitas diluar rumah yang lebih menawan dan menantangpun dapat membuat mereka belajar bersosialisasi atau berkreasi dengan sesuka hati. Bahkan sekarang, adanya televisi dirumah seperti tidak ada, karena terkadang kami lupa menyalakannya atau sengaja tidak dinyalakan sama sekali bila si anak benar-benar lupa dan tidak meminta menyalakannya di waktu-waktu yang telah disepakati. 

Tentunya, hal itu semua membutuhkan waktu untuk berproses dan komitmen dari kami sebagai orang tua yang dituntut juga untuk turut serta mematuhi jadwal yang ada. 

Tidak membiasakan anak untuk menonton TV artinya tidak biasa juga orang tua menontonnya. Demikian juga, kamipun harus kreatif untuk mencarikan kegiatan alternatif yang lebih menarik dan menantang sehingga dapat mengalihkan perhatian anak ke TV di waktu-waktu kosongnya.

Jadi bund, never say NO to TV dan mari berdamai dengannya,dan Psssst... jangan lupa sembunyikan remote nya ya... :-D

Selamat mencoba...

Sumber: pengalamanpribadi

*pernah dimuat di UCnews

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun