Mohon tunggu...
Uli Hartati
Uli Hartati Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger

A wife, mommy of 2 boys, working mom also as a blogger Contact me : WA 089627103287 Email uli.hartati@yahoo.com Blog http://ulihape.com IG dan Twitter @ulihape

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Menilai Hidup Orang Lain: Mudah tapi Tak Selalu Benar

25 November 2024   09:12 Diperbarui: 25 November 2024   09:45 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memahami Sebelum Menilai : Pelajaran dari Sepatu yang Berbeda

Bagi sebagaian temanku, aku mungkin adalah orang yang asyik diajak curhat. Padahal aku merasa kesulitan ketika seseorang meminta nasihat, kenapa? Karena aku harus menimbang rasa, aku nggak bisa memberi nasihat dari isi kepalaku saja apalagi kalau masalahnya juga belum pernah aku rasakan. Begitu juga ketika melihat seseorang yang berbeda denganku, dulu aku kerap mudah memebri penilaian, namun seiring bertambahnya perjalanan hidup maka aku akan butuh waktu untuk menilai seseorang.

Dalam hidup, kita sering kali menjadi hakim tanpa toga---melontarkan penilaian pada keputusan orang lain tanpa benar-benar tahu apa yang mereka alami. Padahal, seperti pepatah "If I could put my feet in your shoes, then I know what it is like to be you", kita tidak akan pernah benar-benar mengerti hingga kita sendiri merasakannya. Belajar dari pengalaman orang lainpun tak akan membuat kita paham 100% sampai benar-benar kita yang mengalaminya namun nggak semua apa yang orang lain rasakan kita mau merasakannya bukan? Setiap orang memiliki perjalanan yang unik, seperti kaki yang sering kali memiliki ukuran sepatu berbeda, jangankan sepatu orang lain bahkan sepatu sendiri saja suka memberikan rasa yang berbeda karena ada faktor yang mempengaruhinya entah model, entah warna konon sepasang sepatupun tak pernah punya ukuran yang persisi.

Aku pernah menjadi orang yang cepat menilai. Dulu, saat melihat seorang ibu menggendong anaknya tanpa kaus kaki, pikiranku segera berbisik, "Duh, kok nggak dipakein kaus kaki? Cuek banget emaknya." Lalu akupun sampai pada episode yang sama satu kali ketika aku menggendong anakku, aku seperti dejavu karena anakku tak mengenakan kaus kaki, segera istighfar aku karena ternyata bisa jadi penilaianku dulu salah. Ada banyak alasan yang memungkinkan kejadian anak tak mengenakan kaus kaki, seperti anakku tidak suka memakai kaus kaki. Dia akan menangis dan melepaskannya, merasa lebih nyaman tanpa itu. Dari situ, aku sadar: keputusanku saat itu bukan karena aku ibu yang cuek, tetapi karena aku mendahulukan kenyamanan anakku atau bahkan kaus kakinya basah dan tak ada penggantinya.

Contoh lain aku pernah melihat suami temanku sakit, dan temanku ini sangat biasa banget tak tampak perhatiannya. Aku berusaha memahaminya bahwa suaminya dulu bukan seseorang yang baik hingga harus dapat perhatian lebih, benarkah demikian? Namun, seiring waktu, aku mulai mengerti ketika aku juga merasakannya, pernah ada seseorang yang jahat padaku dan mengetahuinya sakit bukan senang yang aku rasakan melainkan semua perbuatannya seolah muncul ke permukaan. Terkadang luka masa lalu membuat kita sulit memberikan perhatian, meskipun hati kecil kita sebenarnya peduli. Apa yang terlihat sebagai "cuek" mungkin adalah bentuk kesedihan yang tak terucap, luka yang muncul kembali saat orang yang pernah melukai kita dalam keadaan rapuh. Dan lagi-lagi aku memahaminya ketika berada pada posisi yang sama.

Hidup selalu memberikan cara untuk mengajarkan empati, seringkali melalui pengalaman. Di titik ini, aku sadar betapa mudahnya memberikan nasihat berdasarkan pengalaman kita sendiri, seolah itu adalah satu-satunya kebenaran. Padahal, pengalaman kita hanyalah satu sisi dari banyaknya cerita manusia di dunia ini.

Kita semua memiliki sepatu yang berbeda. Sepatu itu dibentuk oleh jalan hidup, luka, kebahagiaan, dan keputusan yang hanya kita yang tahu alasannya. Tidak ada orang yang sepenuhnya tahu berat atau ringannya langkah yang kita ambil, seperti kita pun tidak tahu milik orang lain.

Jadi, mari belajar untuk lebih memahami sebelum menilai. Mari memberi ruang bagi orang lain untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri, tanpa harus terbebani dengan penilaian kita. Karena, pada akhirnya, hidup ini adalah tentang mengerti, bukan sekadar menilai.

Makanya kalau kalian meminta saran dariku, bisa jadi garing dan sok bijak. Aku hanya berusaha untuk tak mudah menghakimi seseorang dan aku yakin pengalaman hidupku dan kalian berbeda dan aku percaya pada akhirnya penolong terbaik selain Tuhan adalah diri kita sendiri.

Hapyy Monday Good People!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun