Salah satu cara terbaik mengobati badan yang lelah adalah dengan menulis, percaya? Haha aku lagi capek beud! Malas melakukan pekerjaanku dan sepertinya menulis bisa membuat aku bersemangat dengan topik yang memang benar-benar selalu ada dalam pikiran emak-emak, apalagi kalau bukan tentang pendidikan anak.
Pernah di sebuah grup kami berdiskusi tentang ragam pendidikan di Indonesia dan selalu ada komentar seperti ini "udahlah kalem aja, nanti juga ganti Mentri ganti aturan!". Makanyalah ya urusan pendidikan kita ribet? Nah sejak Pak Probowo terpilih jadi Presiden, semua sudah berspekulasi kek apa nantinya pendidikan kita? Siapa Menterinya? Apakah semua program kontroversial akan ditiadakan? Zonasi yang bikin ribut tiap penerimaan siswa baru akankah dihapus?, UN yang tak ada apakah akan muncul lagi? Padahal setiap program itu selalu ada saja pendukungnya, keknya nggak pernah orang tua kompak menolak, betul?
Saat Zonasi diterapkan aku bisa memahami tujuannya, biar nggak ada lagi sekolah tujuan favorit, biar yang pernah putus sekolah bisa lanjut jadi tujuannya itu baik namun otak-otak orang tua cukup kreatif merusak tujuan baik tadi. Bayangkan sampai ada calo titip KK supaya anak bisa masuk sekolah jalur zonasi, calo sertifikat berbagai event supaya anak bisa masuk tanpa tes lewat jalur prestasi non-akademik, bahkan kemarin seorang bocah bilang samaku "di sekolahku bisa Bu beli bangku". Bukan programnya yang salah tapi manusianya!
Mengenai Ujuan Nasional pun kalau diadakan kembali yakinlah nilai itu masih bisa dibeli, saat aku sekolah dengan judul EBTANAS (UN) nilai juga sudah diperdagangkan, artinya ya ges mau sebagus apapun program tapi kalo otak kita sebagai manusia masih manipulatif maka menurutku urusan pendidikan kita tetap tak berujung.
Okelah lantas apa yang terjadi saat ini? Mendadak Kementerian Pendidikan di pecah jadi 3, what? Aku orang awam ini langsung mengirim pesan kepada adikku which is dia profesinya adalah Dosen so ada baiknya aku tanya pendapat dia yang memang terdampak akan kebijakan baru ini. Dan dari obrolan kami artikel ini aku buat, semoga saja opiniku nggak salah arah ya dan kalian boleh ikut nimbrung diskusi di kolom komentar.
Kemendikbud Dipecah Jadi Tiga, Apa Dampaknya?
Sejak Presiden Prabowo menjabat,tentu saja tiap pemimpin punya gaya tersendiri dan salah satunya pemecahan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjadi tiga kementerian terpisah yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Kebudayaan, serta Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi.
Pemecahan Kementerian: Fokus atau Fragmentasi?
Selama ini, satu kementerian menangani banyak hal—pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, riset, serta kebudayaan. Tidak mengherankan jika hasilnya terasa kurang maksimal. Satu menteri mengurus banyak bidang, otomatis perhatian dan tenaga terbagi. Belum lagi, tiap sektor punya masalahnya sendiri, mulai dari kurikulum di sekolah dasar hingga kebutuhan riset di perguruan tinggi. Secara pribadi adikku yang juga seorang Dosen berpendapat bahwa lebih baik  pendidikan tinggi diurus kementerian tersendiri, tanpa campur tangan dari masalah yang biasanya berkutat di pendidikan dasar. Jadi, pemecahan ini membuka peluang untuk lebih fokus menangani tiap sektor dengan pendekatan yang sesuai. Sehingga Dosen dan Guru bisa mendapat penanganan yang tepat menurutnya.
Bayangkan kalau kementerian pendidikan tinggi sudah berdiri sendiri, masalah-masalah spesifik seperti peningkatan kualitas dosen dan riset akan lebih mendapat perhatian. Begitu juga untuk pendidikan dasar dan menengah, bisa lebih fokus menangani masalah kurikulum yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak-anak. Lalu kebudayaan, yang sering kali diabaikan, akhirnya bisa punya ruang sendiri untuk berkembang dan diprioritaskan, ehm mungkin nanti seperti Korea tuh banyak banget kan dramanya yang disponsori oleh Kementerian Budaya.
Namun menurut adikku nggak ada hal yang mudah ketika ada perubahan pada sebuah kebijakan, dan harus paham juga kalau tidak semua perubahan membawa kebaikan tanpa tantangan. Pemecahan kementerian bisa berarti koordinasi yang lebih rumit antar kementerian. Bila tidak dikelola dengan baik, ada potensi tumpang tindih kebijakan atau bahkan fragmentasi dalam eksekusi program. Jadi, meski pemisahan ini menjanjikan fokus yang lebih baik, tantangan administratif tetap ada, so let's see ajalah ya!
Menghapus Kurikulum Merdeka : Proyek Ambisius yang Belum Siap?
Ketika ada debat Kurikulum Merdeka (Kumer), jujurly ya sebagai Ibu yang bekerja which is peranan emak-emak inikan besar banget dalam membersamai anak-anak belajar. Mungkin juga karena anak-anak bersekolah di sekoalh swasta maka kondisiku dengan Kumer ini agak klop. Pasalnya aku merasa lebih mudah dalam membersamai anak-anak belajar, mereka jauh lebih mandiri tanpa ada beban ujian tengah semester namun faktanya mereka selalu ada worksheet, ulangan harian per bab dan ulangan harian bulanan so aku nggak pusing lagi membuat materi latihan soal karena sudah dilakukan secara bertahap di sekolah. Sekolah tentu saja punya peranan besar dalam suksesnya Kumer, makanya Mas Menteri membuat Kumer pasti berdasarkan pengalamannya, ya iyalah diakan sekolahnya di Luar Negeri yes, dimana pendidikan keren dan budaya kemandirian buat anak LN tuhkan keren banget ya, anak-anak habis lahir aja udah pisah tidur sama Emaknya lah sementara anakku? Haha sampai hari ini masih bobok bareng emaknya haha.
Setelah ganti menteri salah satu isu yang hangat dibicarakan adalah wacana penghapusan Kurikulum Merdeka. Kalau melihat sekolah lain terutama yang Negeri dekat rumahku ya maka penerapan Kumer masih jauh dari kata efektif, terutama dalam konteks pendidikan di Indonesia. Konsep kemandirian belajar, yang jadi inti dari Kumer, terdengar mulia dan progresif. Namun, kenyataannya, banyak mahasiswa yang datang ke kampus masih di level pemahaman setingkat SMP (Evaluasi adikku sebagai Dosen loh ini). Standar akademik mereka menurun, dan kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka. Pandemi Covid-19 memang mempengaruhi banyak hal, termasuk proses belajar.
Namun, bayangkan kalau saat pandemi kita tidak menerapkan Kumer, mungkin hasilnya akan lain lagi ya. Kurikulum Merdeka lebih cocok di tempat yang infrastrukturnya mendukung kemandirian belajar, sementara di Indonesia, banyak daerah yang belum siap. Kumer ini lebih terkesan sebagai proyek besar tanpa mempertimbangkan kesiapan siswa dan fasilitas pendukung. Sederhananya, anak-anak di Indonesia belum terbiasa untuk mandiri dalam belajar. Di Barat, kemandirian sudah tertanam sejak kecil, bahkan budaya mereka menekankan anak yang sudah dewasa untuk keluar dari rumah orang tua. Di sini? Setelah menikah pun masih banyak yang tinggal bersama orang tua hihi. Jadi, konsep kemandirian belajar ini terasa seperti permainan yang belum cocok untuk diterapkan di Indonesia saat ini.
Ujian Nasional : Perlu atau Tidak?
Nah berbicara tentang evaluasi, wacana mengembalikan Ujian Nasional (UN) juga menjadi perdebatan. Dari sudut pandangku ya saat ini mental anak-anak memang tak seperti kita dahulu penuh daya saing. Entahalah akupun melihat anakku juga merasa nilai itu nggak penting, ngapain juga bersaing sesama tema. Jelas konsep nilai itu untuk anak zaman now jauh berbeda dengan aku dulu. Rasanya dulu bahagia banget bisa dapat nilai lebih tinggi dari teman, tapi tidak dengan anak-anak saat ini, mungkin ya itu juga faktor mengapa UN ditiadakan.
Meski UN ditiadakan, untungnya sekolah anakku SD Islam Permata Hati Tangerang tetap mengadakan ujian versi sekolahnya, Sekolah Permata Hati Tangerang tetap menganggap penting adanya tolak ukur nilai bagi prestasi anak-anak dan sebagian besar orang tua juga beranggapan bahwa UN itu penting. Selain menjadi tolok ukur kemampuan siswa secara nasional, UN juga bentuk pertanggungjawaban pendidikan. Saat ini, tanpa UN, raport siswa menjadi satu-satunya acuan, dan itupun tetap ya Bu ada saja yang rela melakukan atur-atur nilai raport. Menurut adikku nih mahasiswa yang diterima melalui jalur raport sering kali menunjukkan kemampuan akademik yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang melalui jalur tes. Jadi, keberadaan UN sebetulnya penting untuk menjaga standar pendidikan di Indonesia.
Namun, tentu ada kekhawatiran mengenai tekanan psikologis pada siswa yang diakibatkan oleh UN. Hal ini memerlukan pendekatan lebih bijak dalam pelaksanaannya, mungkin dengan mengurangi bobot UN atau mengintegrasikannya dengan sistem evaluasi yang lebih komprehensif. Biar nggak ada lagi yang kepikiran buat mencurangi segala peraturan yang dibuat gitu loh! Otak kriminal di Indonesia ini banyak banget, apalagi kalo udah urusan anak duh semuanya mau memberi yang terbaik dengan segala cara yang dia mampu, aku masih ingat eraku dulu anak-anak yang berpunya itu bisa dapat nilai akhir yang fantastis haha, emang bisa gitu mendadak pintar diujung? Hadeuh! Tahu sama tahulah kita yakan! haha
Menuju Pendidikan yang Lebih Baik
Dengan berbagai perubahan yang sedang dibahas, jelas bahwa tantangan di dunia pendidikan Indonesia masih panjang. Pemecahan Kemendikbud menjadi tiga kementerian mungkin akan membawa fokus yang lebih baik, tetapi juga akan membutuhkan sinkronisasi kebijakan yang solid. Menghapus Kumer mungkin terasa perlu saat ini, tetapi kita harus siap dengan penggantian kurikulum yang lebih sesuai dengan karakter dan kesiapan siswa Indonesia. Dan mengembalikan UN mungkin bisa menjadi jalan keluar untuk menjaga kualitas pendidikan, tetapi perlu pendekatan yang lebih manusiawi, biar nggak ada lagi otak-otak kreatif yang mengaduk-ngaduk kebijakan pendidikan di Indonesia.
Bagaimana pun, semua perubahan ini adalah upaya untuk mencari sistem yang lebih baik. Kita hanya bisa berharap bahwa setiap kebijakan yang diambil mempertimbangkan realita di lapangan dan bukan sekadar wacana yang ambisius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H