Forgive But Not Forget : Mengapa Hal yang Menyakitkan Sulit Dilupakan Meskipun Sudah Memaafkan
Memiliki kemampuan untuk memaafkan adalah tindakan mulia yang mengarah pada pemulihan diri dan kedamaian batin. Namun, mengapa kadang-kadang hal-hal yang menyakitkan tetap menghantuimu meskipun kamu sudah memberi maaf?Â
Ini adalah pertanyaan yang mengungkapkan kompleksitas emosi dan ingatan manusia. Lagian memaafkan dan melupakan itu jangan jadikan satu paket dong, kebiasaan nih maunya hemat mulu!
Gimana ya? Bukankah harusnya bersyukur bila aku sudah maafkan? Mengapa kau menuntut untuk dilupakan? Aku bisa menatap matamu, berbicara sopan bisakah dianggap bagian dari melupakan? meski aku tak bisa lagi seperti dulu menyapamu?
Begitu kira-kira aku menjawab bila ada yang menanyakan sikapku ketika berubah menghadapi seseorang. Memaafkan saja bukan proses mudah, butuh pergulatan batin untuk bisa tak benci melihat wajahnya, butuh ketenangan untuk tak mengumpat bila sedang bicara dengannya, namun mengapa harus menuntut untuk melupakan dan menganggap tak ada?
Aku mungkin termasuk tipe easy going, kerap masih bisa tersenyum manis kepada orang yang sudah menjahatiku. Namun ada kalanya aku memang tak mau berurusan lagi dengannya, cukup sudah!Â
Apakah salah bila aku mengendalikan diriku demikian? Mengapa ketakmampuan melupakanku menambah persoalan dalam hidupnya? Justru bila sudah dimaafkan maka perbaiki diri, tunjukkan keseriusan bahwa layak dimaafkan dan layak diterima kembali.
Mengapa Sulit Dilupakan?
Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa memaafkan bukan berarti melupakan sepenuhnya. Ingatan tentang pengkhianatan, kekecewaan, atau penderitaan sering kali meninggalkan bekas yang dalam di pikiran dan hati kita.Â
Meskipun kita mampu memahami alasan seseorang atau memahami bahwa mereka telah berubah, ingatan akan pengalaman negatif tetap mengikuti.