Sedih banget ketika mengetahui salah satu "teman" yang suka menulis kemarin sempat mengalami hal tak menyenangkan. Mungkin kalian sudah baca juga kisahnya atau videonya 'kan? Dipukuli dan disiksa hanya karena perbedaan pilihan.
Menjadi buzzer di era sosial media begini menurutku bukan sesuatu yang hina, buzzer adalah sebuah pilihan pekerjaan yang bisa diambil atau tidak. Aku sendiri beberapa kali menjadi buzzer untuk beragam campaign. Kenapa mau jadi buzzer?
Uang bukan satu-satunya tujuan. Toh jadi buzzer itu enggak langsung bikin kaya kok. Ngebuzzernya hari ini, bayarannya bisa sebulan kemudian. Besarnya bayaran juga enggak seperti yang kalian pikirkan.
Mungkin dalam video dua menit sekian detik itu kalian langsung komen: "Duh! Cuman dibayar 3 juta terus kita bonyok-bonyok?" Tapi buat kami yang menjadi buzzer ukurannya bukan 3 jutanya, bukan nominalnya.
Aku bekerja di salah satu perusahaan. Dan kebetulan suka ngeblog, dan selalu ikutan ngebuzzer karena merasa bahwa aku mungkin bisa membawa sebuah kesuksesan untuk sebuah perusahaan atau instansi yang ingin mensosialisasikan sebuah program atau produk terbarunya. Tujuanku, lewat cuitan atau statusku, ada orang-orang yang akan mengubah cara pikirnya. Ada orang yang bisa mengetahui apa yang tak diketahuinya selama ini.
Aku pribadi membuat batasan dalam mengambil job sebagai buzzer. Biasanya aku mengambil job buzzer terhadap hal-hal yang aku ketahui. Misal lagi ada campaign produk susu anak, maka aku akan ambil brand yang memang aku gunakan, atau ada campaign sosial aku akan pilih tema yang memang aku suka, artinya aku enggak pernah mengambil job yang berseberangan denganku hanya karena nominalnya.
Kenapa mau jadi buzzer politik? Tahun 2014 tawaran menjadi buzzer politik juga ada, tapi saat itu aku menolak dengan alasan bahwa dalam politik itu enggak ada lawan dan kawan. Hanya ada kepentingan di sana.
Jadi aku enggak mau ketika sudah koar-koar ngejelekin si A, eh ternyata kepentingan politik menjadikannya kawan. Gimana coba mempertanggungjawabkannya?
Paling tidak aku bisa memberikan pandangan lain bagi lingkunganku. Mungkin yang membenci akan tetap membenci namun paling tidak dia membaca ada opini lain which is dikemudian hari mungkin bisa diaminkannya. Sesimpel itu saja dasar aku menjadi buzzer politik kemarin.
Bila suatu saat Pejabat A mengeluarkan statement "Saya tidak tahu ada buzzer", bisa jadi itu adalah benar. Karena aku mengambil job buzzer dari sebuah agency, dan agency ini bekerja untuk seseorang/instansi dan seseorang itu bisa siapa saja yang mendukung Pejabat A dan aku tak tahu siapa dia. Yang aku tahu aku bekerja dengan agency. Cukup sampai di sana.
Ketika sudah menjadi buzzer, maka kita akan berada dalam satu grup obrolan, jobdesc dibagikan, segala materi dibagikan. Bahkan beberapa hal ada yang membuatku merasa "Wow! Begini ya politik itu?"Â
Wow ternyata Si Anu memihak Si Ono ya. Wow aku bisa dapat akses nomor-nomor orang-orang ngetop, wow ada emailnya juga, wow ada aibnya juga. Semua bahan silakan diolah sendiri, lalu di mana posisimu?
Bekerjalah sesuai jobdesc, jangan sampai terjebak! Sebuah marketplace bisa oleng karena CEO-nya terjebak dengan ego pribadinya. Sebuah media bisa keok karena tak bisa mengendalikan egonya, enggak sabaran. Sebagai orang yang sudah pegang data, tentukanlah arahmu.
Prinsipku aku bekerja sesuai jobdesc yang ditawarkan, lihat juga nominalnya, dan menurutku jadi buzzer itu enggak usah terlalu royal lah meski kita cinta mati terhadap hal yang dikampanyekan, apapun itu!
Jobdesc-nya adalah mengangkat citra positif, so do it! Meski ada bahan negatif maka olahlah menjadi positif. Jangan mengumbar negatif karena negatif kali positif tetap negatif. Aku selalu mampu membuat status yang kata orang lumayan adem, kalau mau bikin panas ya bisa toh punya bahannya, akurat pula!
Tapi apakah keberpihakan harus membuat kita membenci? No! Apalagi politik, kawan jadi musuh, musuh jadi kawan sudah biasakan, maka pintar-pintarlah ambil posisi. Terkadang yang aku lihat buzzer terlalu loyal karena memang merasa dia tahu banyak, sampai lupa menahan egonya.
Disuruh bikin status satu eh statusnya jadi berjilid-jilid karena memang ada bahan dan mungkin komen yang ramai membuatnya lupa.
Lagian ketika kita mengerjakan di luar jobdesc enggak ada bayaran lebih, namun ego pribadi membuat kita lupa bahwa untuk membawa kebenaran tak harus menebarkan kebencian. Selama ini aku berpikir bagaimana untuk menyampaikan hal sepositif mungkin, reaksinya tetap toh ada yang negatif.
So enggak usah takut jadi buzzer selama lu kerja sesuai jobdesc, bisa menahan ego pribadi maka semua akan baik-baik saja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H