Mohon tunggu...
Reza AS
Reza AS Mohon Tunggu... Wiraswasta - Founder Jamaah Angon Roso (Jongos)

Belajar Berfikir Titik-Titik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bapak yang (Menyebalkan) Selalu Minta Diidak-idak

3 Oktober 2022   10:47 Diperbarui: 3 Oktober 2022   11:08 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lee..."
"Dalem bapak!" Sahutku saat bapak memanggilku dari dalam rumah.
"Bapak badane pegal-pegal, coba idak-idak sebentar le"
"Njeh pak!", Sigap aku berlari kedalam rumah, menunaikan tugas dari bapak yang minta di idak-idak badannya, sekedar untuk sedikit meredakan rasa pegal setelah lelah bekarja seharian.

Tapi benarkah aku seberbakti dan sesigap itu? Selintas ingatan sontak melayang dalam fikiranku. Atas kenangan-kenangan tahun sembilan puluhan. Saat rumah-rumah penduduk desaku hanya diterangi lampu teplok minyak tanah seadanya.

Sudah menjadi rutinitas, setiap habis maghrib, setelah mengaji Turutan Juz 'Amma di Mushola samping rumah, pasti bapak minta di idak-idak. Padahal inginku ketika itu habis ngaji segera nonton tivi, yang listriknya masih pake aki dan diseterek seminggu sekali.

Di Jawa, sudah umum para bapak minta di idak-idak anaknya, yakni memijit pakai kaki, berjalan pelan-pelan disepanjang punggung dan pinggang bapak hingga telapak kaki. Jadi bukan hanya akus aja, teman-temanku pun juga pasti memiliki rutinitas yang serupa.

Aku masih ingat betul, ketika itu mengidak-idak bapak adalah rutinitas yang setengah aku benci. Meskipun tetap saja kulakukan, tapi penuh dengan gerutuan dalam hati. Tentu saja juga sambil membatin, "Ayolah segera selesai, sebentar saja jangan lama-lama".

Sampai tahun 2000an, saat aku sudah mulai kuliah di kota lain, rutinitas mengidak-idak bapak jadi jarang kulakukan. Paling hanya pada saat liburan pas aku pulang kerumah saja, yang belum tentu sebulan sekali, juga masih tetap dengan gerutuan yang sama, mungkin malah lebih parah lagi.
Dalam batinku, "Huft... Sudah sebesar ini masih juga disuruh idak-idak!".

Hingga beberapa tahun kemudian, saat aku kuliah semester 6, bapak berpulang dipanggil Yang Maha Kuasa. Sejak saat itulah entah kenapa kegiatan rutin mengidak-idak bapak adalah kegiatan yang paling aku rindukan, sampai sekarang saat aku sudah punya istri dan anak dua. Kenangan mengidak-idak bapak begitu tertancap dalam sanubariku.

Baca juga: Sedekah Sunyi

Terkadang bahkan dengan sedikit meneteskan air mata disertai sesak didada, sungguh aku sangat rindu suara bapak yang memanggilku, "Lee .... Idak-idak bapak sebentar saja".

"Ah, bapak... Sekarang jangankan hanya sebentar, meskipun seharian berulang kali engkau suruh aku, engkau panggil aku dengan permintaan khas mu itu, aku akan langsung berlari, melakukan perintahmu dengan riang gembira dan bahagia, ikhlas sepenuh hati, tanpa gerutuan lagi."
Kang Condro yang duduk dihadapanku, hanya mendengar tanpa berkomentar. Meresapi ceritaku sambil sesekali manggut-manggut. Entah apa yang dipikirkannya.

"Begitulah kang, baru akhir-akhir kemudian aku benar-benar bisa merasakan, dan memahami betapa hal-hal kecil, remeh temeh, terkadang justru sangat membahagiakan orang tua kita. Meskipun itu cuma sekedar idak-idak bapakmu, atau memijit punggung dan kaki ibumu."

"Njeh mbah", sahut Kang Condro yang sehari-hari memang setia menemaniku nyruput kopi tubruk sambil menghisap nikmatnya Djisamsu Premium kesukaanku.
"Apakah Mbah Ketro menyesal", lanjut Kang Condro bertanya sambil menyeruput kopinya.
"Iya, benar-benar sesal yang mungkin dibawa mati".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun