Oleh : Akmal Nagib, Jhosua Hutagaol, Shidiq Ramdhani, Syafiq Fadli, Ulfi Shofiya, Nazwa Salsabilla
Mahasiswa Teknik Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Indonesia seringkali dicap sebagai negara soon-to-be superpower yang berasal dari Asia Tenggara. Posisinya yang strategis di khatulistiwa di antara dua samudra dan dua benua berkontribusi dengan melimpahnya sumber daya alam yang ada. Belum lagi, Indonesia memiliki kekuatan ekonomi serta politis yang kuat di kalangan negara-negara ASEAN, dilatarbelakangi oleh jumlah populasinya yang terbanyak keempat di dunia dan faktanya Indonesia memiliki lebih dari 17 ribu pulau.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia merupakan tuan rumah bagi berbagai macam flora dan fauna kelautan, salah satunya ialah terumbu karang. Namun sayang sekali, realita kepariwisataan seputar terumbu karang Indonesia ini sangatlah memprihatinkan. Lebih dari 33,8% dari luasan terumbu karang Indonesia dikategorikan mengalami kerusakan-- 'poor' menurut Direktorat Jenderal pengelolaan Ruang Laut (RPL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Lantas, faktor apa saja yang menyebabkan kerusakan terumbu karang di Indonesia?
Kerusakan Tanpa Sebab?
Tidak perlu dioperasikan lagi, perubahan iklim yang menaikkan suhu menjadi makin panas tiap tahunnya tentu memiliki kontribusinya dalam membuat beberapa terumbu karang tidak dihinggapi oleh flora serta fauna laut dan punahnya beberapa spesies. Akan tetapi, apabila kita lebih melihat ke sektor sosial, terjadi banyak sekali pembuangan sampah plastik yang mengancam ekosistem laut. Selain itu, apabila kita merujuk ke penambangan nikel yang akhir-akhir ini sedang booming, diawali dengan kunjungan Elon Musk ke Indonesia dalam kontribusinya memasok suplai logam mulia untuk kebutuhan mobil listrik--banyak terjadi pembuangan limbah kimia yang menyebabkan masyarakat pesisir sulit mendapatkan ikan seperti halnya di desa Hakatutobu. Biru lautan menjadi merah akibat lumpur hasil limbah tambang.
Kasus illegal fishing memakai pukat harimau, ataupun jala sweeping dasar laut juga menyebabkan kerusakan dari terumbu karang. Sejak 2008, kasus pemakaian jaring ikan yang diperuntukkan untuk penangkapan ikan di laut dalam seringkali menyapu, apalagi menggores terumbu karang. Tidak hanya itu juga, terdapat pula kasus Caledonian Sky - sebuah kapal pesiar mewah dari Kepulauan Fiji yang membawa turis berlabuh dekat dengan Raja Ampat. Kapal yang memiliki Draft (Kedalaman kapal yang terendam air) 4,5 m itu menabrak dan merusak terumbu karang seluas 1600 m2. Kapal itu pun kandas akibat kelalaian kapten kapal yang tidak memperhatikan pasang-surut yang nyaris menyentuh draft kapal, yakni di perairan berkedalaman 5 m pada saat itu.Â
Dari sini, kita dapat melihat bahwa permasalahan dapat disebabkan oleh banyak sektor, dan stakeholder yang terlibat dalam upaya konservasi ini tidak sedikit. Mulai dari pihak pemerintah, masyarakat, dan swasta pun turut memiliki andil dalam permasalahan ini. Ditambah juga, adapun aktor internasional untuk konservasi daerah ini untuk mempererat hubungan  dan memecahkan masalah regional di Coral Triangle.
Coral Triangle
Dalam pemberdayaan terumbu karang, terdapat suatu daerah arbitrary yang disebut oleh Coral Triangle. Daerah ini mencakupi lebih dari 76% spesies koral di dunia, yang terpusat di Indonesia, Malaysia Kepulauan Solomon, Filipina, dan Papua Nugini. Negara-negara ini membentuk aliansi multilateral yang disebut dengan Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF). Salah satu bentuk keluaran dari CTI-CFF ini ialah implementasi dari Regional Plan of Action (RPOA) 2.0 dan implementasi Regional Conservation Trust Fund (RCTF) untuk mendorong jaringan regional dari daerah pesisir terlindungi khususnya di Coral Triangle. RPOA tersebut memiliki Five Year Goal dan Ten Year Goal yang berbunyi: