Mohon tunggu...
ulfi shofiya fadhila
ulfi shofiya fadhila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Teknik Kelautan 2021, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Terumbu Karang sebagai Kunci Pengembangan Ekonomi Pesisir

9 November 2023   07:05 Diperbarui: 9 November 2023   07:16 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Mongabay, 2023

Oleh : Akmal Nagib, Jhosua Hutagaol, Shidiq Ramdhani, Syafiq Fadli, Ulfi Shofiya, Nazwa Salsabilla

Mahasiswa Teknik Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Indonesia seringkali dicap sebagai negara soon-to-be superpower yang berasal dari Asia Tenggara. Posisinya yang strategis di khatulistiwa di antara dua samudra dan dua benua berkontribusi dengan melimpahnya sumber daya alam yang ada. Belum lagi, Indonesia memiliki kekuatan ekonomi serta politis yang kuat di kalangan negara-negara ASEAN, dilatarbelakangi oleh jumlah populasinya yang terbanyak keempat di dunia dan faktanya Indonesia memiliki lebih dari 17 ribu pulau.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia merupakan tuan rumah bagi berbagai macam flora dan fauna kelautan, salah satunya ialah terumbu karang. Namun sayang sekali, realita kepariwisataan seputar terumbu karang Indonesia ini sangatlah memprihatinkan. Lebih dari 33,8% dari luasan terumbu karang Indonesia dikategorikan mengalami kerusakan-- 'poor' menurut Direktorat Jenderal pengelolaan Ruang Laut (RPL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Lantas, faktor apa saja yang menyebabkan kerusakan terumbu karang di Indonesia?

Kerusakan Tanpa Sebab?

Tidak perlu dioperasikan lagi, perubahan iklim yang menaikkan suhu menjadi makin panas tiap tahunnya tentu memiliki kontribusinya dalam membuat beberapa terumbu karang tidak dihinggapi oleh flora serta fauna laut dan punahnya beberapa spesies. Akan tetapi, apabila kita lebih melihat ke sektor sosial, terjadi banyak sekali pembuangan sampah plastik yang mengancam ekosistem laut. Selain itu, apabila kita merujuk ke penambangan nikel yang akhir-akhir ini sedang booming, diawali dengan kunjungan Elon Musk ke Indonesia dalam kontribusinya memasok suplai logam mulia untuk kebutuhan mobil listrik--banyak terjadi pembuangan limbah kimia yang menyebabkan masyarakat pesisir sulit mendapatkan ikan seperti halnya di desa Hakatutobu. Biru lautan menjadi merah akibat lumpur hasil limbah tambang.

Kasus illegal fishing memakai pukat harimau, ataupun jala sweeping dasar laut juga menyebabkan kerusakan dari terumbu karang. Sejak 2008, kasus pemakaian jaring ikan yang diperuntukkan untuk penangkapan ikan di laut dalam seringkali menyapu, apalagi menggores terumbu karang. Tidak hanya itu juga, terdapat pula kasus Caledonian Sky - sebuah kapal pesiar mewah dari Kepulauan Fiji yang membawa turis berlabuh dekat dengan Raja Ampat. Kapal yang memiliki Draft (Kedalaman kapal yang terendam air) 4,5 m itu menabrak dan merusak terumbu karang seluas 1600 m2. Kapal itu pun kandas akibat kelalaian kapten kapal yang tidak memperhatikan pasang-surut yang nyaris menyentuh draft kapal, yakni di perairan berkedalaman 5 m pada saat itu. 

Dari sini, kita dapat melihat bahwa permasalahan dapat disebabkan oleh banyak sektor, dan stakeholder yang terlibat dalam upaya konservasi ini tidak sedikit. Mulai dari pihak pemerintah, masyarakat, dan swasta pun turut memiliki andil dalam permasalahan ini. Ditambah juga, adapun aktor internasional untuk konservasi daerah ini untuk mempererat hubungan  dan memecahkan masalah regional di Coral Triangle.

Coral Triangle

Dalam pemberdayaan terumbu karang, terdapat suatu daerah arbitrary yang disebut oleh Coral Triangle. Daerah ini mencakupi lebih dari 76% spesies koral di dunia, yang terpusat di Indonesia, Malaysia Kepulauan Solomon, Filipina, dan Papua Nugini. Negara-negara ini membentuk aliansi multilateral yang disebut dengan Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF). Salah satu bentuk keluaran dari CTI-CFF ini ialah implementasi dari Regional Plan of Action (RPOA) 2.0 dan implementasi Regional Conservation Trust Fund (RCTF) untuk mendorong jaringan regional dari daerah pesisir terlindungi khususnya di Coral Triangle. RPOA tersebut memiliki Five Year Goal dan Ten Year Goal yang berbunyi:

RPOA 2.0 - Five Year GOAL

  • By 2025, coastal communities and coastal and marine ecosystems are enabled to cope with the impacts of climate change, natural and anthropogenic threats, in the Coral Triangle region, due to measurable increased regional collaboration between the CT6 and our partners, for the implementation of the RPOA 2.0 facilitated through a strong and effective CTI-CFF.

RPOA 2.0 - Ten Year GOAL

  • By 2030, coastal communities and coastal and marine ecosystems in the CT region are more resilient/able to adapt to impacts of climate change, natural and anthropogenic threats, by improving food security, sustainable fisheries and coastal livelihoods.

Harapannya, dengan ada forum CTI-CFF ini, perkembangan industri maritim di sektor konservasi, pariwisata, dan perikanan akan mengalami pertumbuhan secara inklusif dan kolektif, demi memaslahatkan lingkungan yang ideal sesuai dengan tujuan dan program yang diterapkan.

Harapan Melihat Kedepan.

Saat kita melihat kedepan, UNEP memprediksi bahwa 90% dari seluruh spesies terumbu karang akan punah pada tahun 2050 akibat pemanasan global, belum lagi akibat dari aktivitas manusia. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme integrasi dan kolaborasi antara pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat sekitar. Misalnya, dalam sektor Public-Private-Partnerships untuk mendorong privatisasi pariwisata yang taat dengan ekosistem sesuai dengan regulasi pemerintah, dan bantuan promosi serta insentif pemerintah ke pihak swasta yang taat peraturan serta melaksanakan Corporate-Social-Responsibility yang dapat dikuantifikasikan dan bermakna. 

Kapasitas pemerintah pun perlu ditingkatkan untuk memastikan aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan nelayan domestik maupun internasional tercatat dan termonitor. Tentunya, hal ini akan membutuhkan investasi pada infrastruktur pesisir yang banyak. Namun, demi mewujudkan SDA maritim Indonesia yang lebih baik untuk kedepannya, bukankah investasi ini akan memberikan RoI (Return of Investment)  yang sangat bermakna? Oleh karena itu, program yang sudah dijalankan oleh KKP yang berikatan dengan pemberdayaan masyarakat pesisir untuk melakukan plastic cleanup haruslah di intensifikasikan. Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah juga perlu diperhatikan. Program seperti yang dijalankan oleh pemerintah Jawa Timur, dalam merestorasi seluas lebih dari 24 ha terumbu karang dalam kurun waktu 2019--2022 perlu diapresiasi dan dicontoh pemerintah daerah lainnya.

Upaya monitoring serta kolaborasi internasional dengan negara yang memiliki wilayah perairan bersinggungan dengan Indonesia seperti pada forum ASEAN maupun CTI-CFF juga perlu dipertahankan, dan disebarluaskan keberadaannya dengan sosialisasi yang tepat kepada masyarakat sekitar, misalnya dengan pemberian perlengkapan tangkap ikan yang disertifikasi dan aman untuk dipakai, serta pengetatan daerah penangkapan haruslah diterapkan demi pelestarian pariwisata maritim terumbu karang Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun