Jember - Bahasa adalah alat komunikasi yang mencerminkan kehidupan masyarakat yang terus berkembang seiring berjalannya waktu. Tidak hanya sekedar alat komunikasi, bahasa juga berfungsi untuk mendefinisikan identitas seseorang sekaligus kelompok sosialnya. Di era digital ini, pesatnya perkembangan teknologi membuat perubahan pola komunikasi mengalami perubahan yang signifikan, terutama di kalangan generasi-Z dan Alpha. Hal tersebut memengaruhi cara mereka menggunakan bahasa, baik secara lisan maupun tulisan. Salah satunya pada penggunaan variasi bahasa baru di kalangan Generasi Z dan Generasi Alpha ini menjadi ciri khas yang unik dan hanya dapat dipahami oleh mereka, sehingga masih memerlukan pembelajaran secara khusus untuk memaknainya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi memegang peranan besar dalam membentuk pola bahasa generasi muda. Platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube menjadi ruang utama yang memuat konten-konten viral dengan menyisipkan istilah baru yang kemudian diadopsi secara luas oleh generasi muda. Namun, faktanya juga tak sedikit anak muda yang terbilang ikut-ikutan (fomo) dengan istilah-istilah baru tersebut tanpa mengetahui maknanya.Â
Oleh sebab itu, mahasiswa Universitas Jember menggelar penelitian mengenai variasi bahasa generasi-z dan alpha pada mahasiswa Universitas Jember di Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, serta Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan. Kegiatan ini berlangsung secara 3 tahap. Pertama dilaksanakan pada hari Selasa, 12 November 2024 di Fakultas Ilmu Budaya. Hasil observasi pada generasi Alpha, istilah-istilah ini terkadang mengalami adaptasi lebih kreatif atau bahkan penyederhanaan. "Variasi bahasa baru yang menurutku aneh itu kata skibidi, sigma, apalah itu nggak paham aku, tapi ini lagi viral" ujar Maufida mahasiswa baru program studi Sastra Indonesia.Â
Bahasa yang umumnya lahir pada generasi-Z (1997-2012), dipengaruhi oleh tren global, teknologi, dan budaya populer dari Barat. Contohnya adalah penggunaan istilah "healing" yang bermakna penyembuhan atau istirahat, "bestie" sebagai panggilan untuk teman dekat, hingga istilah "gas" yang berarti dukungan penuh, menjadi bagian dari keseharian Generasi Z.Â
Tahap kedua wawancara diselenggarakan di kantin Fakultas Ekonomi dan Pembangunan pada Jumat, (15/11/2024). Radit, seorang mahasiswa baru program studi Pendidikan Ekonomi mengatakan bahwa variasi bahasa yang viral saat ini adalah singkatan-singkatan, terdapat beragam kata aneh seperti anjir, bjir, dan sekawan lainnya. "Kita kan mulai terbiasa dengan bahasa seperti itu. Kalau kepada sesama teman memang biasa saja, tetapi ketika berbicara kepada dosen atau orang tua, tidak sepantasnya bahasa itu digunakan yah... Tak jarang juga sekarang anak muda gagap bahasa formal," lanjutnya.
Mahasiswa cenderung menggunakan bahasa yang lebih formal saat berkomunikasi dalam kegiatan akademik, seperti dalam diskusi kelas, tugas, atau presentasi. Namun, dalam interaksi sehari-hari, bahasa yang sering kali lebih santai dan dipengaruhi oleh kelompok sosial mereka. Tidak Jarang juga beberapa mahasiswa masih mengikutsertakan logat dan bahasa kedaerahannya. Bukti penggunaan bahasa sangat mencerminkan identitas budaya setiap daerah. Bahasa yang baik lebih menekankan pada kesesuaian dengan standar bahasa yang diakui secara umum, sehingga pesan yang disampaikan dapat dipahami oleh lebih banyak orang tanpa hambatan komunikasi.
 Namun, hal ini tidak berarti bahwa logat atau kekhasan kedaerahan tidak memiliki nilai. Dalam komunikasi sehari-hari, keberagaman bahasa daerah justru menjadi kekayaan budaya yang dapat memperkaya percakapan. Dalam beberapa konteks, menggunakan bahasa daerah dengan baik dapat memperkuat ikatan sosial dan identitas budaya, asalkan tetap memperhatikan kesopanan dan konteks situasi komunikasi.
"Saya mengenal kata mewing sudah dulu sejak awal viral-viralnya, dari tik tok" ucap Rahmat Hidayah (13 tahun), yang merupakan remaja wilayah Jalan Jawa 7, Kelurahan Sumbersari, Jember. "Saya tidak tau apa itu Gen-Alpha" sambungnya ketika ditanyai tentang apakah mereka mengenal Gen Alpha.
Fenomena ini menunjukkan bahwa bahasa tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga media ekspresi dan kreativitas seseorang. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa penggunaan variasi bahasa tersebut juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi generasi muda Indonesia, salah satunya anak muda yang gagap menggunakan bahasa formal ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Oleh sebab itu, diperlukan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan pelestarian bahasa Indonesia sebagai identitas nasional.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI