Keuangan dan Perbankan Islam telah muncul selama lebih dari empat puluh tahun belakangan ini. Lembaga keuangan Islam pertama tercatat pada tahun 1962 bernama Mit Ghamr Savings Bank di Mesir yang diprakasai salah satunya oleh Ahmad Elnaggar (Haniffa dan Hudaib, 2010). Industri ini selanjutnya berkembang dengan pesat selama beberapa dekade terakhir, meski berada pada bayang-bayang sistem perbankan konvensional yang memang jauh terlebih dahulu muncul di hampir setiap negara. Saat ini, diperkirakan jumlah asset yang diperoleh manajemen lembaga keuangan dan perbankan syariah melebihi US $ 1 trilyun (US$ 1.000 miliar), yang terkumpul di 400 lembaga keuangan dan perbankan syariah di seluruh dunia terutama di empat benua besar, Timur Tengah, Asia Tenggara, Eropa dan Amerika.
Asset sebesar itu tentu harus ditata dan dikelola serta dijamin keamanannya sesuai dengan prinsip-prinsip kepatuhan syariah agar tidak menjadi kerugian bagi stakeholders. Maka dari sinilah munculnya peran audit syariah. IFI tentu tidak ingin kesalahan dan kegagalan sistem konvensional terjadi pula pada IFI. IFI harus tunduk dan patuh terhadap prinsip-prinsip syariah dalam semua aspek operasi dan manajemen. Oleh karena itu, riba '(riba atau bunga) benar-benar dilarang. Hal tersebut adalah perintah Alquran. Hal ini juga melarang semua transaksi dan kontrak dengan unsur-unsur gharar (ketidakpastian) dan maysir (perjudian).
Artikel ini mencoba untuk mengungkapkan bahwa setiap IFI harus memiliki mekanisme perusahaan yang tepat dan sesuai dengan tata kelola perusahaan  dalam rangka untuk memastikan bahwa sistem, kebijakan dan prosedur telah benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Menurut Lewis (2005), tata kelola perusahaan Islam dapat dibagi menjadi tiga dimensi "oleh siapa", "untuk siapa" dan "dengan apa". Dalam Islam, hablu min Allah (transeden) adalah tujuan akhir dalam menjawab "untuk siapa". Maka dari itu, audit syariah untuk memastikan bahwa IFI sudah mempunyai sistem pengendalian intern yang baik dan efektif untuk mematuhi syari'at. Ruang lingkup audit syari'at ini dapat meliputi audit atas laporan keuangan, audit operasional, struktur dan audit teknologi informasi.
Kualifikasi auditor dan independensi merupakan empat isu utama sekaligus tantangan yang dihadapi oleh auditor syariah.
1. Â Â Â Â Independensi Auditor Syariah
Independen artinya tidak mudah dipengaruhi, netral, karena auditor melaksanakan pekerjaannya untuk pekerjaan umum. Auditor tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapa pun. Â Auditor juga harus bersikap mempertahankan objektivitas, agar tidak berbenturan dengan kepentingan lain, sehingga independensi merupakan landasan pokok bagi profesi akuntan publik. Sikap mental independensi, integritas dan objektivitas yang dipertahankan oleh akuntan publik akan meningkatkan kepercayaan pemakai laporan keuangan yang telah diaudit. Adanya independensi auditor syariah sangat diperlukan. Semakin berkembangnya industri keuangan syariah, sehingga membutuhkan lebih dari satu dewan Pengawas Syariah, membutuhkan aturan atau standar yang berbeda-beda. Hadirnya auditor syariah yang mandiri dan independen sangat dibutuhkan. Ketika Dewan Pengawas Syariah atau Advisory Committee of Experts (ACE), yang mengeluarkan fatwa, merumuskan pedoman syariah, kemudian mereka yang melaksanakannya, maka profesionalisme badan pengawas syariah akan dipertanyakan dan diragukan.
Tantangannya adalah auditor syariah tidak selalu patuh terhadap aturan standar audit yang ditetapkan oleh Dewan Pengawas Syariah. Integritas auditor syariah dipandang cukup oleh kalangan stakeholder pada lembaga keuangan Islam. Perkembangan lembaga keuangan syariah tidak dapat diwujudkan jika auditar syariah bukan merupakan sebuah lembaga yang sepenuhnya independen.
2.     Pemeriksa kepatuhan syari’ah (auditor) termasuk ke dalam lembaga al-Hisbah/  muhtasib.
Lembaga keuangan Islam harus dapat menjadi auditor internal sekaligus sebagai auditor syariah. Auditor lembaga syariah di samping menguasai audit internal, juga harus mampu menguasai pemeriksaan syariah. Mampu dalam bidang audit internal dan audit eksternal, selain mampu dalam bidang manajemen, juga mampu dalam bidang syariah. Lembaga yang mirip dengan auditor pada saat ini yang ada pada masa awal masyarakat Islam adalah al-Hisbah. Al-Hisbah merupakan lembaga ekonomi Islam yang pertama dibentuk dan mempunyai tugas dan wewenang untuk mengawasi dan memastikan masyarakat melakukan kegiatan ekonomi sesuai dengan perintah syariat. Muhtasib merupakan orang yang memiliki kualifikasi tertentu dalam syari'at dan ekonomi, yang mampumenyarankan dan memberikan pendapat mengenai hal-hal atau isu-isu tertentu yang bertentangan dengan syariat dan etika.
Pada lembaga keuangan syariah saat ini, agar peran Dewan Pengawas Syariah semakin optimal dan untuk dapat menghidupkan kembali fungsi dan peran lembaga pengawas al-Hisbah, maka DPS dapat mengoptimalkan perannya sebagai dewan pengawas sekaligus berfungsi sebagai muhtasib. Aplikasi peran dan fungsi al-Hisbah pada lembaga keuangan syariah adalah mengawasi dan memastikan kinerja di bidang keuangan, audit, atau manajemen. Selain itu lembaga ini berfungsi untuk mengawasi dan memastikan etika para pelaku ekonomi termasuk auditor syariah meliputi independensi, integritas, serta tanggung jawab.
Badan auditor syariah perlu dibentuk agar auditor syariah dapat bekerja secara mandiri dan independen. Maka lembaga dan badan yang paling tepat untuk menjalankan fungsi sebagai auditor syariah sekaligus yang mengawasi adalah lembaga al-Hisbah yang berada di bawah lembaga pengawas nasional saat ini, yaitu DSN/ DPS. Hal ini tentu saja tidak dapat diwujudkan tanpa adanya otoritas dari pemerintah.
3. Â Â Â Â Kurangnya Kompetensi Auditor Syariah
Lembaga keuangan syariah yang beroperasi pada skema yang berbeda dengan lembaga keuangan konvensional, membutuhkan jenis akuntansi dan auditing yang berbeda pula. Seorang auditor syariah harus memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan dengan auditor konvensional baik dalam bidang keagamaan dan auditing. Hingga saat ini, yang menjadi kekurangan dari para auditor dan akuntan syariah adalah kurangnya ilmu yang memadai baik di bidang akuntansi, auditing, manajemen maupun audit syariah. Seorang auditor syariah harus memiliki pengetahuan, baik dibidang akuntansi, auditing, ilmu manajemen dan juga syariah sekaligus agar dapat menjadi auditor yang mampu menguasai dan memahami audit pada lembaga keuangan Islam. Hal ini juga untuk memastikan bahwa keseluruhan operasional lembaga keuangan Islam sesuai dengan syariah.
Kompetensi audit membutuhkan baik pengetahuan dan keterampilan, yang merupakan produk dari pendidikan, pelatihan dan pengalaman. Dalam standar yang dikeluarkan oleh International Federation of Accountants (IFAC) pada International Standar Pendidikan (IES) terdapat delapan kompetensi persyaratan audit profesional, menguraikan bahwa auditor harus memiliki pendidikan formal (pengetahuan) yang relevan untuk mengaudit, keterampilan profesional dan mampu menerapkan nilai-nilai profesional, etika dan sikap untuk konteks dan organisasi yang berbeda. Dengan demikian, internal auditor yang melekat pada IFI tidak hanya harus memiliki keterampilan audit tetapi juga harus memiliki tambahan kualifikasi berupa pengetahuan Syariah khusus di Fiqh Muamalat.
4. Â Â Â Â Kurangnya Akuntabilitas (Tanggung Jawab) Auditor
Seorang auditor syariah dituntut harus lebih bertanggung jawab terhadap tugas dan wewenangnya, terutama auditor syariah harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah SWT. Selanjutnya, auditor syariah bertanggungjawab kepada para stakeholder, para pemegang saham, masyarakat dan umat. Audit syariah dapat dilakukan oleh auditor internal maupun auditor eksternal, asalkan mereka memenuhi kriteria terhadap pemahaman mengenai hukum syariat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H