Pergerakan Nasional adalah masa di mana berubahnya bentuk perjuangan bangsa Indonesia dari yang awalnya hanya bersifat kedaerahan menjadi bersifat nasional. Masa ini dilatar belakangi dengan adanya kebijakan politik etis yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap rakyat pribumi dengan tujuan untuk mencetak tenaga kerja pribumi yang diupah murah. Namun kebijakan tersebut mengakibatkan munculnya para kaum intelektual atau kaum terpelajar yang memiliki kesadaran akan nasionalisme. Kesadaran akan nasionalisme inilah yang membuat para kaum terpelajar mendirikan organisasi-organisasi untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai suatu bangsa yang merdeka. Organisasi pertama yang didirikan setelah adanya kebijakan politik etis adalah Budi Utomo. Organisasi yang diketuai oleh dr. Soetomo ini didirikan pada 20 Mei 1908 oleh para pelajar STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen) dengan tujuan untuk memajukan pendidikan terutama bagi kalangan pemuda. Budi Utomo bukanlah satu-satunya organisasi yang muncul pada masa pergerakan nasional. Sarekat Islam, Indische Partij, Muhammadiyah, Jong Soematra Bond, Jong Java, dan masih banyak lainnya merupakan organisasi yang bergerak di berbagai bidang seperti pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi.
Di tengah dominasi organisasi laki-laki, muncul pula suara perempuan yang menuntut hak dan kesetaraannya. Salah satu organisasi perempuan yang bersejarah adalah Putri Mardika, pelopor gerakan perempuan pertama di Indonesia yang berjuang dalam mempertahankan hak-haknya pada bidang pendidikan, perkawinan, dan poligami. Lahirnya Budi Utomo menandai adanya kebangkitan nasional, dan Putri Mardika hadir sebagai bukti nyata bahwa perempuan di Indonesia tak tertinggal dalam arus perubahan pada masa itu. Organisasi Putri Mardika didirikan pada tahun 1912 di Batavia oleh R.A. Theresia Saburudin, R.K. Rukmini dan R.A. Sutinah Joyopranoto (Djoened dan Susanto, 1993).
Putri Mardika hadir sebagai simbol pergerakan perempuan pada masa pergerakan nasional dan menjadi pelopor dalam menjunjung pentingnya pendidikan dan kesetaraan gender. Pada masa di mana peran wanita sangat dibatasi, organisasi ini berani tampil ke depan untuk memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan perempuan. Mereka menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan, yang merupakan dasar utama untuk mencapai kesetaraan gender. Organisasi ini memfasilitasi beasiswa pendidikan untuk para perempuan yang kurang mampu dalam segi ekonomi agar para perempuan terhindar dari buta huruf. Disebutkan pada tahun 1915 dan 1916, Putri Mardika membiayai sekitar tujuh orang anak, tahun 1917 dan 1918 terdapat sembilan orang anak, dan pada tahun 1919 berkurangnya jumlah tanggungan Putri Mardika menjadi enam orang anak karena ada yang melanjutkan ke sekolah lain dengan gratis dan ada yang memilih berhenti dan menikah. Pendanaan Putri Mardika untuk pendidikan pada saat itu cukup banyak, mulai dari hasil donasi juga memang para anggota Putri Mardika disebutkan berasal dari kaum bangsawan.
Selain dengan memberikan beasiswa pendidikan, Putri Mardika juga menerbitkan sebuah surat kabar dengan nama surat kabar Putri Mardika yang berfungsi sebagai media untuk memberikan pendidikan dan pengajaran, serta menjadi wadah bagi anggotanya untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan kegelisahan mereka. Dengan mewajibkan setiap anggota menulis artikel, Putri Mardika mendorong anggota-anggotanya untuk berkontribusi dalam mencari solusi dan memberikan informasi yang bermanfaat, isi surat kabar tersebut mencakup pengajaran dalam mengurus rumah tangga, informasi tentang pendidikan, dan kegiatan organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kemandirian perempuan. Surat kabar Putri Mardika juga berisi tulisan laki-laki yang mendukung kesetaraan gender, hal ini bertujuan agar orang lain tahu bahwa ada sebagian laki-laki yang menginginkan keadaan perempuan semakin maju dan bebas dari tindasan.
Surat kabar ini dibagi menjadi beberapa rubrik, yaitu “Warta Redaksi” yang menampilkan berita tentang kegiatan yang dilakukan oleh Organisasi Putri Mardika. Kemudian “Warta Administrasi” yang menampilkan masalah-masalah administrasi seperti tagihan kepada para pelanggan yang menunggak biaya langganan Surat Kabar Putri Mardika. “Rubrik Pemandangan” berfokus pada tulisan-tulisan yang mendukung gerakan emansipasi wanita serta melawan praktik poligami dan perkawinan anak. Rubrik “Surat Terboeka” berisi undangan dari redaksi untuk para anggota Putri Mardika tentang kegiatan yang akan dilaksanakan. Rubrik “Correspondent” memuat pertanyaan-pertanyaan dari para pelanggan yang kemudian dijawab oleh pihak redaksi. “Daftar Anggota” yang isinya menampilkan tentang anggota-anggota baru yang masuk ke Organisasi Putri Mardika maupun yang keluar dari organisasi tersebut. Terakhir, rubrik “Verslag” yang berisi tentang laporan mengenai kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Organisasi Putri Mardika. Selain itu, dalam rubrik ini juga menceritakan tentang perdebatan antara pihak yang berpikiran kolot dengan pihak yang berpikiran maju.
Dalam perkembangannya, Surat Kabar Putri Mardika mengalami beberapa pergantian bahasa dalam penyajiannya seperti pada tahun 1914, surat kabar ini menggunakan bahasa Melayu kemudian pada tahun 1915 berganti menjadi bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Setelah itu, pada tahun 1916 surat ini menggunakan bahasa Sunda dan Jawa, kemudian pada tahun 1917 berganti kembali menggunakan bahasa Belanda. Namun, pada tahun 1919 Putri Mardika sempat berhenti menerbitkan surat kabar dikarenakan masalah biaya, akan tetapi hal itu bisa teratasi atas bantuan salah seorang anggota Putri Mardika bernama R. R. Satariah yang memberikan dana untuk menerbitkan Surat Kabar Putri Mardika. Dan pada tahun 1920 Putri Mardika hanya menerbitkan surat kabar sekali dan diberi nama “Edisi Extra Nomor 1920” yang menjadi surat kabar terakhir Putri Mardika. Setelah itu Organisasi Putri Mardika tidak menerbitkan surat kabar lagi dikarenakan keterbatasan biaya.
Fokus utama surat kabar ini adalah mengangkat beberapa isu dalam memperjuangkan kesetaraan perempuan seperti adat istiadat, dalam surat kabar ini mengatakan bahwa orang tua melakukan adat istiadat yang salah dengan memingit anak perempuannya dan menikahkannya pada usia yang masih belia dengan laki-laki yang sama sekali tidak dikenal oleh sang anak. Dalam surat kabar ini juga membuat tulisan seseorang yang bernama Tioeng yang berjudul “Perempoean Boemipoetra” di dalam tulisannya ia mengutip salah satu ayat Al-Qur’an yang berbunyi “Hunna libasun lakum wa antum libasullahun” yang artinya “kamu kaum laki-laki ingatlah, bahwa wanita adalah pakaianmu dan kamupun adalah pakaian wanita”. Dengan ayat itu ia berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama, maka tidak pantaslah seorang perempuan mengalami penghinaan oleh kaum laki-laki.
Adapun tulisan yang dimuat Surat Kabar Putri Mardika mengenai isu tentang pendidikan dan pengajaran adalah tulisan yang berjudul “Maksoed Oetama” karya S. Djojopranoto yang merupakan Wakil Presiden Organisasi Putri Mardika. Dalam tulisannya ia mengatakan bahwa tujuan utama didirikannya Putri Mardika adalah untuk memajukan kaum perempuan dengan memberikannya pengajaran dan kepandaian sehingga dengan itu, para perempuan dapat perannya dengan baik, entah itu dalam rumah tangga ataupun untuk bangsa dan negara.
Isu tentang kedudukan perempuan dalam perkawinan juga diangkat dalam surat kabar Putri Mardika. Salah satu tulisan yang dimuat adalah karya Tjipto Rahardjo dengan judul “Perihal Pemandangan Laki Istri”. Dalam tulisannya, ia mengatakan bahwa kedudukan perempuan dalam pernikahan sama dengan kedudukan laki-laki oleh karena itu, laki-laki harus menghargai dan menghormati perempuan dikarenakan perannya yang sangat penting dalam keluarga seperti mendidik anak-anaknya. Dalam tulisannya pun, Tjipto Rahardjo menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan, karena bagaimana perempuan bisa melakukan perannya dengan baik jika ia sendiri tidak terdidik.
Selain bertujuan memajukan perempuan melalui surat kabar dan beasiswa, jelas bahwa Putri Mardika memiliki tujuan untuk mensejahterakan perempuan dengan berbagai upaya dalam meminimalisir kawin paksa, meminimalisir pernikahan dini, menentang tradisi poligami, dan memberikan dana pensiun bagi para janda dengan memotong gaji para pegawai pemerintah.
Kemudian organisasi Putri Mardika juga memperkuat relasi dengan perhimpunan lain. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan Putri Mardika aktif melakukan propaganda terutama di Jawa sehingga dapat menimbulkan kerja sama dengan perhimpunan lain, contohnya adalah kerja sama antara Putri Mardika dengan para nyonya Belanda untuk membentuk suatu kongres perempuan, hal ini tentu saja sebagai bentuk usaha untuk memperkenalkan Putri Mardika ke seluruh Indonesia.