Mohon tunggu...
Ulfah Nurul Azizah
Ulfah Nurul Azizah Mohon Tunggu... -

Untuk Lebih Faham Arti Hidup

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menengok Peran Perempuan di Panggung Politik Indonesia

24 Juni 2014   02:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:26 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1403528091227355648

[caption id="attachment_330539" align="aligncenter" width="415" caption="Istimewa/Perempuan dan Politik"][/caption]

Sejarah tentang representasi perempuan dalam parlemen di Indonesia merupakan sebuah proses panjang, tentang perjuangan perempuan di wilayah publik. Sebelum reformasi bergulir, perempuan dan politik merupakan hal yang tidak ada kaitannya dalam dunia politik di Indonesia.

Hal ini mendasar yang menyebabkan kurangnya keterwakilan perempuan di parlemen adalah karena adanya  serangkaian hambatan yang membatasi kemajuan mereka. Adalah budaya masyarakat Indonesia yang umumnya menganut prinsip patrilineal yang menjadikan peran perempuan hanya dibatasi pada urusan rumah tangga, sedangkan politik yang digambarkan dengan kekuasaan selalu dikaitkan dengan urusan laki-laki, perempuan dianggap tabuh berada pada wilayah tersebut. Akhirnya kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang cenderung bias kearah membatasi peran perempuan wanita pada urusan rumah tangga.

Di Indonesia, yang menjadi ingatan kaum wanita yang telah berjuang untuk mengangkat derajat kaum wanita adalah Ibu R.A Kartini (1879-1904), seorang tokoh yang menyadari bahwa seharusnya tidak ada perbedaan pendidikan antara laki-laki dan wanita. Perjuanganya berhasil dan jasa-jasanya tetap dikenang bangsa Indonesia hingga sekarang ini. Menurut Bachtiar (1979:58) memang Kartini sebagai lambang perjuangan kaum wanita namun dalam kenyataan sejarah di Indonesia pernah ada wanita yang memimpin negara (negara dalam arti wilayah yang sekarang disebut dengan provinsi setelah Indonesia Merdeka) yakni Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatudddin Johan Berdaulat dari Aceh yang memerintah Aceh menggantikan suaminya pada tahun 1641 dan Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan yang menggantikan kakeknya pada tahun 1856 untuk menjadi kepala negara di Kerajaan Tanette atau Datu Tanette. Keduan tokoh ini jarang disebut dalam sejarah.

Berangkat dari dukungan sejarah serta keinginan untuk ikut berpartisipasi dalam meningkatkan kesempatanbagi perempuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan, termasuk dalam politik, maka digelarlah Kongres WanitaIndonesia pertama pada tahun 1928 merupakan tonggak sejarah bagi wanitaIndonesia dalam upaya memperluas peran publik mereka, khususnya dalampolitik. Dalam forum ini organisasi-organisasi perempuan dari berbagaikelompok etnis, agama dan bahasa dipersatukan.

Hingga pada akhirnya, setelah reformasi bergulir, perhatian terhadap representasi perempuan dalam parlemen semakin mendapat perhatian. Puncaknya ketika adanya regulasi yang mengharuskankuota 30% kaum perempuan dalam parlemen. Hasil penelitian Women Research Institute (WRI,2010) justru menunjukkan bahwa representasi perempuan legislatif di beberapa kabupaten/kota mengalami peningkatan. Begitu pula halnya di DPR-RI. Jumlah perempuan Anggota DPR-RI periode 2009-2014 mengalami peningkatan. Dari jumlah Anggota DPR-RI pada periode sebelumnya yang hanya sebesar 11,8% menjadi 18% (101 orang dari 560 Anggota DPR-RI). Jumlah ini merupakan pencapaian tertinggi representasi perempuan di parlemen sejak DPR Sementara(Konstituante) pada periode tahun 1950-1955. Meskipun demikian, persentase perwakilan perempuan di DPR-RI dari berbagai partai politik, jumlahnya bervariasi.

Representasi perempuan terendah yaitu dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebesar 5,3% dan keterwakilan tertinggi dari Partai Demokrat sebesar 24,3%.Peningkatan jumlah representasi perempuan tersebut masih jauh dari angka 30% sebagai angka minimum kritis (critical minority) kuota perempuan. (Dina Martiany, 2011:3).

Hasil penelitian Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia, Persentase perempuan paling banyak (42,55%) berada di Komisi IX yang menangani urusan tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan, kesehatan dan agensi makanan serta obat-obatan. Selanjutnya, sebanyak 26% di komisi X (pendidikan nasional, pemuda dan olahraga, pariwisata, kesenian dan budaya, serta perpustakaan nasional. Sebanyak, 25,45% berada di Komisi Dalam Negeri, Otda, Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi, Pemilu, Pertanahan & Reformasi Agraria. Komisi VIII DPR-RI yang memperoleh peringkat keempat yaitu sebanyak 22,92%, dengan bidang tugas mencakup Agama, Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dina Martiany, 2011:5).

Hal ini menunjukkan bidang tugas yang diminati oleh perempuan atau dianggap pantas oleh partai untuk diisi oleh kader perempuannya, mayoritas adalah komisi yang terkait isu sosial, pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan dan pemberdayaan perempuan. Merupakan isu yang khas perempuan karena dianggap lebih dekat dengan kehidupan dan perjuangan perempuan. Meskipun demikian, persebaran perempuan terlihat mulai luas ke area kerja lain, seperti politik dalam negeri dan otonomi daerah. Selain itu, masih menjadi tantangan yang harus ditingkatkan adalah peranan perempuan di dalam komisi. Perempuan dituntut dapat memberikan dampak yang signifikan bagi perjuangan kepentingan perempuan melalui komisi.

Output lain yang menggambarkan indikator adanya representasi gender di parlemen adalah dengan lahirnya kebijakan atau undang-undang yang memiliki sensitivitas dan perlindungan terhadap perempuan. Bagaimana seharusnya perempuan parlemen dapat terlibat aktif dan memberikan perspektif gender di dalam proses pembentukkan dan pembahasan suatu Rancangan Undang-Undang (RUU). Sangat dibutuhkan perspektif gender yang kuat, kemampuan substantif terhadap suatu isu, dan kemampuan lobby, untuk dapat mempengaruhi suatu proses penyusunan RUU.

Melihat serangkaian kiprah perempuan dalam aktivitas parlemen akhir-akhir ini, maka, tujuan representasi perempuan dalam parlemen, yaitu untuk memberikan dampak yang signifikan dalam proses politik di dalamnya yang terkait berbagai bidang bukan hanya bidang pemberdayaan perempuan telah tercapai. Catatan mendasar yang perlu mendapatperhatian adalah memenuhi kuota 30% dalam parlemen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun