Mohon tunggu...
Ulfa Hidayati
Ulfa Hidayati Mohon Tunggu... -

Sesegar Nailofar, begitu juga dalam ingatanku.. Akan tetap segar...!!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Malaikat Kecil di Bumi (Taare Zamen Parr)

30 Agustus 2012   12:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:08 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak pernah mengira aku akan tersenyum kali ini sementara hati menahan satu gejolak dalam hati. Aku tersentuh melihat jemari tangan yang mungil, lengannya lemas tak berdaya, wajahnya menempel di dada nenek, dan matanya tertuju pada aku karena aku yang duduk berhadapan dengannya di sini. Angkutan umum yang telah mengukir satu sejarah padaku. Dia sedang dalam gendongan sang nenek yang tiap ada orang yang berkomentar tentangnya, nenek akan menciumnya. Ketika ia mendengar kritikan orang, ia akan tersenyum. Dia mengerti apa yang kami bicarakan, rupanya. Dan, ketika ku lap liur yang menetes dari bibir yang tak sempurna itu, ia menunduk dan tersenyum. Iya, dia sedang malu-malu padaku. Tantenya bilang, aku baik karena mau membersihkan liurnya dengan jariku sendiri tanpa alas. Aku bilang, karena aku kakaknya tante. Tante tentu saja tersenyum. Aku meringis, menahan haru.! “namanya siapa,tante?” “Putra, nak” “Wahh.. Putra, kamu mau kemana? (sambil mengelus-elus tangannya yang mungil)” “Hehehe.. Mau ke Maros Nakk. Jalan-jalan ke rumah keluarga” Kata Tantenya. “Tante, lihat. Dia tersenyum padaku” Kini aku menyentuh wajah suci nan bersihnya. Aku sepertinya jatuh hati padamu, Putra. “Dia malu tiap kali ada anak gadis yang berbicara tentangnya” Dia tahu, aku anak gadis yang kini sedang berbicara tentangnya pada tantenya. Tapi, aku bertanya-tanya, ada apa dengannya? Kenapa keadaanya seperti dia sedang menikmati buaian yang takkan pernah berkesudahan? Aku ingin bertanya tante, tapi aku tak tahu harus mulai dari mana. “Dia kenapa, Bu?” Tanya salah satu Penumpang. “Dia.. Dia seperti inilah yang Ibu liat. Dia tidak normal” Tantenya menjelaskannya dengan hati-hati meski ku tahu dia mencoba menyembunyikan rasa sakit di hatinya, melihat ponakan yang harusnya kini bermain riang dengan anak-anaknya. “Tidak, Bu. Dia normal kok. Dia hanya sedang menjalankan tugas dari Allah, tetap berbaring agar Allah bisa menjaganya dengan tanganNya sendiri” Aku menyerangi kata-kata berat tante tentang Putra. “Ya, benar Nak. Karena penyakit tulang yang dokter bilang itu, ia mengalami keadaan seperti ini. Hanya berbaring saja kalau di rumah, melihat para sepupu-sepupunya berlari di sekitarnya. Tersenyum ketika ada yang menjenguknya, ketika kami mencoba berbicara padanya. Tapi, itulah dia. Menghibas lalat yang mengganggu wajahnya saja ia tak mampu. Ia malah hanya tetap tersenyum menahan geli di wajah yang di gelitik lalat. Dia hanya bisa menunggui kami ketika punya waktu baru bisa bermain dengannya, nak. Ibunya hanya dirumah tanpa suami…” “Tanpa suami, tante?” Aku benar-benar tersentak kaget. Aku memotong pembicaraan tante pun dengan setengah sadar. “Iyya, nak. Tanpa suami. Sejak lahir, Putra sudah di tinggal sang ayah. Entah sekarang di mana. Mungkin dia sudah mati dan aku juga berharap ia sudah mati. Ayahnya lari dengan perempuan lain, meninggalkan istri dan anaknya dengan sejuta beban, sakit, derita yang harus mereka tanggung. Melihat keadaan Putra yang seperti ini, apalagi yang bisa kami harapkan. Jika tak ada iman, mungkin bunuh diri sudah di lakukan.” “Lantas, Putra biasanya makan apa tante?” “yahh.. Hanya bubur dan susu nak.. apalagi?” tante menitikkan air mata. Tapi, ada yang lebih membuatku merasa tak mampu lagi membendung air mataku. Putra, menangis. Dia menangis. Dia menitikkan air mata. Aku menghapus aliran air mata itu. Bersamaan dengan air mata ku yang mungkin sebentar lagi aku akan bisa membasahi separuh baju ku. “Dia tetap mendengar tante, dia sepertinya tahu apa yang kita bicarakan” “Ya, nakk. Dia mengerti setiap detail yang kita bicarakan. Ketika berbicara tentang dirinya, tentang kehidupannya, dia akan menangis seketika itu juga” “Ya Allah, maafkan kakak ya Putra. Maaf, karena sudah buat kamu nangis. Maaf karena kakak sudah buat kamu ingat masa yang harusnya kamu buang. Tapi, gak papa, Putra. Inilah awal persahabatan kita. Aku akan bisa semakin dekat denganmu dengan aku tahunya kehidupan kamu. Usia Putra sekarang berapa? (aku bertanya seolah-olah aku yakin Putra akan menjawabku. Aku berharap dia akan menjawabku walaupun MUSTAHIL karena dia tidak bisa berbicara. Aku yakin, dengan tatapannya sekarang padaku dia akan menjawabku. Aku yakin akan turun mukjizat dari Allah)” “17 Tahun, nak.” Tante menjawab pertanyaanku. Bukan Putra. Aku menghela nafas yang teresak-esak dan tertahan di tenggorokan. 17 Tahun? “Dia sudah jadi laki-laki dewasa, sudah kelas 3 SMA andaikan dia normal” “Tidak tante, sekarang dia juga sudah jadi laki-laki dewasa menurutku. Hmm, (kembali menatap Putra)… Kamu 17 Tahun, kakak sebentar lagi akan genap jadi 21 Tahun. Aku kakak kamu 4 Tahun, Putra. Kamu sekarang aku nobatkan jadi adik baru ku. Mau?” Putra tersenyum malu, dan kini ia menggerak-gerakkan kepalanya, dan menurut tantenya ia kegirangan. Aku kini kakakmu, Putra. Kamu adikku, kamu Sahabatku. Kamu mengajari ketidaksempurnaan yang mungkin kelak, kamu akan langsung berhadapan dengan Allah tanpa harus mengikuti ritual semua manusia di dunia. "Putra, kakak mau bilang sama kamu..kamu jauh lebih baik dari kakak.kamu lebih beruntung dari kakak..kamu tdk harus mengikuti dunia ini..kamu tahu Putra?Dunia ini kejam dekk..makanya kau tetaplah begini..biar aku,dan mereka saja yang tetap menyayangimu".. Kamu itu Istimewa, Putra.. Karena kamu, Suci. Karena kamu, Putih. Karena kamu, Putra. Dan kini, kamu menjadi Putra-ku..!!! Terima Kasih, Putra telah tersenyum padaku…!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun