Mohon tunggu...
Ulfah Rahman
Ulfah Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Islam Anak Usia Dini

whoever steps then he will arrive... slowly but surely!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Berkenalan dengan Perjalanan Darud Da'wah wal Irsyad

5 Februari 2022   02:32 Diperbarui: 5 Februari 2022   02:39 3368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah kenal dengan DDI belum? Sebelum membahas perjalanan DDI, yuk kita mengenal DDI terlebih dahulu...

DDI adalah singkatan dari Darud Da'wah wal Irsyad, dimana organisasi ini bergerak di bidang pendidikan dan dakwah. DDI didirikan oleh Anregurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle,  Anregurutta H. Daud Ismail, dan Anregurutta M. Abd. Pabbaja.

Sebelum menjadi DDI seperti yang kita kenal sekarang ini, DDI mempunyai perjalanan yang cukup panjang loh...

Pertama kita bahas mulai dari Anregurutta H. M. As'ad, yaitu guru dari Anregurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle sebagai pendiri dan ketua umum pertama dari DDI.

Gurutta H. M. As'ad dari Perkumpulan Tabligh ke MAI Sengkang

Salah seorang Ulama yang sangat besar peranannya dalam pengembangan pendidikan Islam di Sulawesi Selatan adalah Haji Muhammad As'ad bin Haji Abdur Rasyid Al-Bugisy. Beliau berasal dari Wajo namun kakek dan orang tuanya adalah Ulama Bugis yang bermukim di Mekkah dan Haji Muhammad As'ad sendiri dilahirkan di Mekkah pada tanggal 12 Rabiustsani 1326 Hijriyah atau tahun 1907 Miladiyah. Tahun 1928, ketika berusia 21 tahun Haji Muhammad As'ad kembali ke tanah leluhurnya di negeri Wajo. Setiba di Sulawesi Selatan beliau melihat berbagai praktik-praktik dalam masyarakat yang sangat bertentangan dengan akidah Islam, seperti penyembahan berhala dan pemberian sesajen kepada benda-benda yang dikeramatkan. Maka, langkah awal yang dilakukannya untuk memerangi kemungkaran itu adalah membentuk perkumpulan tablig yang beranggotakan murid-muridnya sendiri. Beliau sendiri sebagai ketuanya dan langsung memimpin jalannya jamaah tablig tersebut.

Berkat ketekunan, ketegasan, dan kegigihannya dalam waktu yang relatif singkat masyarakat meninggalkan perilakuperilaku khurafat, syirik, dan kemungkaran lainnya. Salah satu contoh adalah faham tentang bolehnya memfidyah salat. Suatu ketika Anregurutta H. M. As'ad diundang menghadiri pemakaman salah seorang kerabat Arung Matowa Wajo (Raja Wajo) Haji Andi Maddukkelleng. Saat itu beliau ditawari agar berkenan menerima fidyahnya orang yang meninggal dunia dan semasa hidup meninggalkan salat. Tawaran itu ditolaknya dan beliau menyampaikan bahwa salat itu tidak boleh difidyah. Padahal fidyah itu berupa emas dan uang tunai yang jumlahnya cukup banyak. Serta masih banyak kisah-kisah tentang ketegasan beliau dalam mengajarkan agama islam. Karena sikap tegasnya itu, faham yang sudah melekat pada masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya di Wajo, akhirnya ditinggalkan masyarakat.

Disamping itu, Haji Muhammad As'ad aktif memberikan pengajian dengan sistem halakah di rumahnya atau di mesjid. Titik berat materi pelajarannya adalah pada masalah akidah dan syariah. Semakin lama pengajiannya itu didatangi oleh santri dari berbagai daerah sehingga sistem halakah dianggap tidak cocok lagi. Karena itu, pada bulan Mei 1930 beliau membuka sistem pendidikan formal dalam bentuk madrasah atau sekolah disamping Mesjid Jami Sengkang yang diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI). Dua tahun kemudian dibangunlah gedung sekolah permanen di samping kiri dan kanan Masjid Jami Sengkang, atas bantuan pemerintah kerajaan Wajo bersama tokoh agama dan tokoh masyarakat.

Dari lembaga pendidikan ini lahirlah sejumlah Ulama, diantaranya: H. Abdurrahman Ambo Dalle, Haji Daud Ismail, Haji Hobe, Haji Muhammad Yunus Maratan, Haji Muhammad Abduh Pabbajah, Haji Muhammad Amberi Said, Haji Junaid Sulaiman, Haji Muhammad Yusuf Hamzah, Haji Abdul Muin Yusuf, Haji Muhammad Amin Nashir, Haji Marzuki Hasan, dan lain-lain. Para lepasan MAI Sengkang ini kemudian mendirikan pesantren di berbagai daerah. Diantaranya AG. H. Abdurrahman Ambo Dalle mendirikan MAI Mangkoso lalu bersama AG. H. Daud Ismail dan AG. H. M. Abduh Pabbajah mendirikan DDI (Darud Da'wah wal Irsyad). 

Anregurutta Haji Muhammad As'ad wafat pada hari Senin 12 Rabiul Akhir 1372 H atau 29 Desember 1952. setelah menderita sakit selama tujuh hari. Untuk menggantikannya memimpin MAI Sengkang, tampillah Anregurutta Haji Daud Ismail, salah seorang murid seniornya. Untuk mengabadikan nama beliau, dalam musyawarah MAI pada tanggal 25 Sya'ban 1372 H atau 9 Mei 1953 disepakati untuk mengganti nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang menjadi Madrasah As'adiyah (MA). Dalam perkembangannya, Madrasah As'adiyah menjadi organisasi yang membina madrasah dan pondok pesantren yang berpusat di kota Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo.

Sebenarnya, perkembangan As'adiyah sedikit lambat bila dibandingkan dengan usianya. Hal itu tampaknya tidak terlepas dari kebijakan sentralisasi yang diterapkan Anregurutta H. M. As'ad. Semasa hidup, Anregurutta As'ad tidak mengizinkan didirikan madrasah di tempat lain sebagai cabang dari madrasahnya. Beliau mengkhawatirkan kalau banyak cabang lalu tidak mampu mengontrolnya akan mengakibatkan rusaknya mutu madrasah yang dipimpinnya. Karena itu, semasa hidup Anregurutta tidak ada cabang yang dibuka. Pembukaan cabang dilakukan pasca kepemimpinan Anregurutta Haji Muhammad As'ad.

Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle dari Sengkang ke Mangkoso

Diantara murid-murid angkatan pertama Anregurutta H. M. As'ad adalah Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle termasuk murid yang menonjol dan cepat menarik perhatian gurunya. Ia menggabungkan diri pada pengajian yang diasuh oleh Anregurutta H. M. As'ad segera setelah terbukanya pengajian itu. Setelah menguji kecerdasannya, Anregurutta H. M. As'ad mengakui kalau ilmu muridnya itu sudah setaraf dengan gurunya. Sejak itu ia diangkat sebagai asisten. Bahkan ketika Anregurutta H. M. As'ad mendirikan Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI), ia diserahi tugas memimpin madrasah itu.

Popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasi) dengan cepat menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah. Salah seorang yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI Sengkang adalah H. M. Yusuf Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di Mangkoso. la mengupayakan agar di tempatnya didirikan lembaga pendidikan yang sama dengan MAI Sengkang dan meminta Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle untuk pindah ke Mangkoso.

Ketika itu di Sulawesi Selatan sudah ada beberapa tempat yang merupakan pusat pendidikan agama Islam dan banyak melahirkan Ulama. Tempat-tempat tersebut adalah Pulau Salemo di Pangkep, Campalagian di Polmas, dan di Sengkang. Namun, Salemo dan Campalagian hanya berupa pengajian halakah (mangaji tudang) dengan sistem tradisional, sedangkan MAI Sengkang telah menerapkan sistem modern (madrasi/klasikal) disamping tetap mempertahankan pengajian halakah. Itulah yang membuat MAI Sengkang memiliki kelebihan dibandingkan lembaga pendidikan yang lain.

Kerajaan Soppeng Riaja dan Kelahiran MAI Mangkoso

Sebelum masuknya Islam, di wilayah Soppeng Riaja berdiri beberapa kerajaan kecil, seperti Balusu, Ajakkang, Kiru-Kiru, dan Siddo, yang kesemuanya bernaung di bawah Kerajaan Ajatappareng dan diawasi oleh Kerajaan Lili Nepo. Pada akhir abad XVI, Kerajaan Gowa menyerang dan menaklukkan Kerajaan Ajattappareng (termasuk kerajaankerajaan kecil tersebut di atas). Penyerangan ini dimaksudkan, disamping perluasan wilayah kekuasaan juga dalar rangka penyebaran agama Islam.

Sekitar pertengahan abad ke XVII, ketika Raja Bone Arung Palakka berhasil mengalahkan Raja Gowa, kesempatan ini dimanfaatkan oleh Kerajaan Soppeng (sekutu Kerajaan Bone) untuk membebaskan Kerajaan-Kerajaan Balusu, Ajakkang, Kiru-Kiru, dan Siddo dari kekuasaan Kerajaan Gowa dan memasukkannya ke wilayah kekuasaan Soppeng. Wilayah ini kemudian diberi nama Soppeng Riaja yang artinya Soppeng bagian Barat.

Pada tahun 1905, Belanda menyerang kerajaan di seluruh Sulawesi Selatan, diantaranya Bone dan Soppeng (termasuk Soppeng Riaja). Di Soppeng Riaja perlawanan menentang Belanda dipimpin oleh Muhammad Saleh Baso Balusu (Raja Kerajaan Lili Balusu).

Setelah Soppeng Riaja ditaklukkan oleh Belanda pada tahun 1905, yang diangkat menjadi Arung Soppeng Riaja adalah Andi Tobo Petta Coa, dengan pangkat Kepala Zelfbestuur (Kepala Swapraja). Selanjutnya Petta Coa digantikan oleh putranya, Andi Maddiawe Petta Lawallu, sebagai Raja Soppeng Riaja. Karena kondisi kesehatannya, tahun 1932 Petta Lawallu mengundurkan diri sebagai arung dan digantikan oleh adiknya, Muhammad Yusuf Andi Dagong dengan gelar Petta Soppeng.

Setelah tiga tahun berkuasa, Petta Soppeng mendirikan tiga buah masjid dalain wilayahnya. Salah satu dari ketiga masjid itu didirikan di Mangkoso, ibukota Kerajaan Soppeng Riaja. Namun, masjid tersebut tidak pernah diisi jamaah karena kurangnya kesadaran dan pemahaman rakyat terhadap agama Islam. Untuk mencari solusi atas kondisi itu, Arung Soppeng Riaja mengumpulkan para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan perangkat kerajaan lainnya dalam suatu musyawarah Tudang Sipulung di Saoraja Mangkoso pada bulan Desember 1938. Peserta pertemuan sepakat bahwa untuk menyemarakkan dan mengisi masjid harus didirikan lembaga pendidikan. Pilihan pun dijatuhkan kepada MAI Sengkang sebagai tempat meminta bantuan guru. Dan, guru yang akan diminta itu ialah Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle.

Maka, sesuai dengan hasil musyawarah, Petta Soppeng mengirim utusan yang dipimpin oleh H. Kittab, Kadhi Soppeng Riaja, untuk menemui Anregurutta H. M. As'ad di Sengkang. Utusan ini membawa permohonan agar Anregurutta H. M.  As'ad mengizinkan Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle untuk membuka dan memimpin MAI di Mangkoso. Awalnya permohonan itu ditolak karena Anregurutta H. M. As'ad tidak mengizinkan ada cabang madrasahnya. Sebelumnya, beberapa daerah sudah mengajukan permintaan yang sama tetapi ditolak oleh Anregurutta H. M. As'ad. Namun setelah melalui negoisasi yang panjang dan alot, akhirnya permohonan Arung dan masyarakat Soppeng Riaja dapat dikabulkan.

Hari Rabu tanggal 29 Syawal 1357 atau 21 Desember 1938 Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle hijrah dari Sengkang ke Mangkoso bersama anggota keluarga dan beberapa orang santri seniornya. Setiba di Mangkoso beliau langsung memulai pengajian dengan sistem Halakah (mangaji tudang) karena calon santri memang sudah menunggu. Semua fasilitas telah disiapkan oleh Petta Soppeng. Setelah pengajian berlangsung selama dua puluh hari, pada hari Rabu 20 Zulkaidah 1357 H atau 11 Januari 1939 Gurutta Haji Abdurrahman Ambo Dalle membuka madrasah dengan tingkatan Tahdiriyah, Ibtidaiyah, I'dadiyah, dan Tsanawiyah.

 

MAI dalam Masa Penjajahan                       

Dalam masa penjajahan Belanda, kegiatan MAI Mangkoso tidak pernah mengalami tekanan dari pemerintah.Hal itu karena pemerintah Kerajaan Soppeng Riaja adalah bagian dari struktur pemerintahan Belanda (Zelfbestuur, Under Afdeling Barru, Afdeling Pare-Pare). Segala aktivitas pesantren berada dalam perlindungan Arung Soppeng Riaja yang memang menjadi sponsor utama MAI Mangkoso.

Namun, tidak demikian halnya ketika berada di bawah penjajahan Jepang. Jepang mendarat di Makassar pada tanggal 9 Februari 1942. Tidak lama kemudian Jepang menduduki seluruh Sulawesi Selatan. Masuknya penjajah baru ini membuat proses belajar mengajar terganggu. Pemerintah Jepang mengawasi dengan ketat setiap sekolah serta melarang orang untuk berkumpul-kumpul karena aktivitas seperti itu dapat memancing tentara sekutu yang sedang mempersiapkan serangan balasan. Aktivitas seperti itu juga dikuatirkan dapat memobilisasi massa untuk mengadakan perlawanan terhadap penjajah Jepang.

Untuk menghadapi kondisi seperti itu, AG. H. Abdurrahman Ambo Dalle mengambil inisiatif agar pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas, dipindahkan ke mesiid dan rumah-rumah guru. Kaca daun pintu dan jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya tidak tembus ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan mengambil tempat belajar di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota kelompok. Sewaktu-waktu pada malam hari dilarang menggunakan lampu, terutama saat tentara Sekutu mulai melancarkan serangan balasan terhadap tentara Jepang. Dengan cara demikian, madrasah dan pesantren tetap berjalan. Bahkan dalam suasana seperti itu, MAI Mangkoso membuka lagi satu tingkatan, yaitu Alimiyah pada tahun 1944. Demikianlah keadaannya sampai Jepang menyerah pada Sekutu pada pertengahan tahun 1945.

           

MAI dalam Masa Westerling

Kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan cepat beritanya tersebar ke luar Jakarta dan Pulau Jawa, termasuk ke Sulawesi Selatan melalui radio, surat kabar, dan dari mulut ke mulut. Dua orang bangsawan, Andi Pangerang Petta Rani dan Andi Sultan Daeng Raja, sangat besar peranannya dalam menyebarkan berita kemerdekaan. Keduanya mengirimkan pesan-pesan pemberitahuan kepada raja-raja dan bangsawan berpengaruh di Sulawesi Selatan yang pada umumnya adalah keluarga dekatnya. Berita kemerdekaan itu disambut dengan berbagai sikap, tetapi pada umumnya rakyat memberi dukungan. Hal itu terlihat dari sikap mereka ketika menolak kehendak Belanda yang berusaha mengembalikan kekuasaan kolonialnya di Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan. Ketika Belanda yang membonceng pada tentara Sekutu (NICA) mulai melakukan tindakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya, rakyat Sulawesi Selatan mengorganisasikan diri melakukan perlawanan. Lahirlah berbagai lasykar perlawanan rakyat seperti Gapri (gabungan Pemberontak Rakyat Indonesia) 531 Mandar berpusat di Baruga-Majene dipimpin oleh H.M. Jud Pance dan isterinya Hj. Maemunah, BPRI Pare-Pare, Gerakan Muda Bajeng yang dipimpin oleh Ranggong Daeng Romo, Ganggawa Andi Tiammi, Andi Mattalatta, dan sebagainya.

Untuk menghadapi perlawanan rakyat tersebut, pasukan westerling meningkatkan aksi kekerasan. Terjadilah pembantaian dan pembunuhan di berbagai daerah terhadap rakyat yang dituduh ekstrimis dibawah komando Kapten Westerling. Peristiwa itu dikenal dalam sejarah sebagai Peristiwa Korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan.

Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI. Banyak santri atau guru-guru yang ditugaskan mengajar ke cabang-cabang MAI menjadi korban keganasan tentara westerling. Misalnya, M. Shaleh Bone dan Sofyan Toli-Toli, dua orang santri MAI Mangkoso yang dikirim oleh AG. H. Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengajar di cabang MAI Baruga di Kabupaten Majene, gugur dalam menjalankan tugasnya. Namun, situasi itu tidak menyurutkan semangat Anregurutta Haji Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengembangkan MAI.

DDI dan musyawarah alim Ulama se Sulawesi Selatan

Atas inisiatif beberapa Ulama, diantaranya Anregurutta H. Daud Ismail, Anregurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle dan Anre Gurutta M. Abd. Pabbajah dinbentuklah panitia pelaksana musyawarah alim ulama Ahlussunnah wal jama'ah Sulawesi Selatan yang terdiri dari Ketua A.G. H. M. Daud Ismail, Sekertaris A.G. H. Abd. Rahman Ambo Dalle dan beberapa anggota panitian lainnya. Musyawarah dilaksanakan pada hari Rabu Tanggal 5 Februari 1947 M atau 14 Rabiul Awal 1366 H sampai hari Jum'at Tanggal' 7 Februari 1947 M atau 16 Rabiul Awal 1366 H. yang dihadiri oleh sejumlah ulama (kadhi) dari berbagai daerah di sulawesi selatan. Hasil pertemuan itu adalah terbentuknya organisasi yang bergerak di bidang Pendidikan, Dakwah dan Sosial kemasyarakatan yang diberi nama Darud dakwah wal Irsyad (DDI) dengan Anregurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle sebagai Ketua Umumnya dengan salah satu pertimbangan karena beliau sudah memiliki jaringan ke daerah-daerah sebagai pimpinan MAI Mangkoso.

DDI dalam Masa Pemberontakan DI/TII

Pada masa kekuasaan gerombolan di Sulawesi Selatan, posisi Darud Dakwah wal Irsyad (DDI) sangat terjepit karena dari kalangan gerombolan terituma dari DI/TII secara ideologischuangannya bersifat wahabi. Darud Dakwah wal Irsyad yang menganut faham sunni dianggap sebagai organisasi yang tidak menampung perjuangannya. Karena itu, dalam garis perjuangan DI/TII yang dikenal dengan Piagam Makalua yang dicetuskan dalam musyawarah besar DI/TII di Makalua (suatu nama kampung di Gunung Latimojong) pada tahun 1955 ditetapkan pada Pasal 14 piagam Makalua ini bahwa: "organisasi kontra revolusioner seperti Darud Dakwah wal Irsyad (DDI), as'adiyah dan semacamnya harus dilumpuhkan / dilenyapkan (Bahar Mattaliu: 230) dan Pasal 13 Piagam itu juga mencantumkan bahwa Partai Politik kontra Revolusioner seperti Masyumi, NU dan PSII harus pula dilenyapkan.

Pada sisi lain sikap TNI, terutama yang datang dari Jawa karena kemiripan nama DDI dengan DI ditambah lagi keberadaan Anregurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle sebagai tokoh Darud Dakwah wal Irsyad di lingkungan DI/TII memperkuat dugaan itu tanpa mencoba mengetahui sebab musabab mengakibatkan Darud Dakwah wal Irsyad selalu dicurigai sebagai bagian dari DI/TII.

Mengenai keberadaan Anregurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle dalam kekuasaan DI/TII, menurut Bahar Mattaliu dalam bukunya "Pemberontakan Meniti Jalur Kanan" menyebutkan bahwa penculikan ulama dilakukan dengan maksud memperkuat posisi majelis Ulama yang dibentuk dalam rangka penerapan spar at Islam pasca Proklamasi integrasi dengan DI/TII Kartosuwiryo pd tahun 1953. penculikan terhadap Anregurutta H. Abd. Rahman Matemmang, menurut Bahar Mattaliu atas perintahnya.

Sedangkan penyergapar terhadap Anregurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle sewaktu dalam perjalanan d. daerah Belangbelang-Maros pada Tanggal 18 juli 1955, dilakukan oleh sekelompok pasukan DI/TII dibawah pimpinan Nurdin Pisok yang berada dalam garis komando Bahar Mattaliu sebagai komandan Divisi 40.000 DI/TII yang membawahi daerah Sulawesi Selatan. Dan setelah beberapa saat lamanya bersama beliau, atas permintaan Kahar Muzakkar beliau (Gurutta) diserahkan kepadanya.

Keberadaan Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle dalam kekuasaan DI/TII membuat banyak madrasah DDI mengalami kevakuman. Apalagi banyak guru-guru yang dikirim mengajar ke daerah-daerah pegunungan menjadi korban, entah diculik oleh pasukan DI/TII atau dibunuh oleh pasukan TNI karena dicurigai sebagai anggota DI/TII. Misalnya, M. Jafar, salah seorang guru DDI yang ditugaskan mengajar di desa Galung, salah satu kawasan pegunungan di Kec. Barru, dibunuh karena dituduh sebagai anggota DI/TII. Demikian pula di Baerah, daerah pegunungan yang yang terletak sekitar lima kilometer sebelah timur Takkalasi, sembilan orang warga DDI ditembak karena dicurigai sebagai penyokong DI/TII. Memang, pemerintah sempat mencurigai beberapa anggota organisasi Islam seperti Muhammadiyah, PSII, dan DDI telah memberikan dukungan, baik diamdiam maupun terang-terangan terhadap gerakan DI/TII di daerahnya. Kecurigaan tersebut berimbas pada kegiatan madrasah-madrasah DDI. Meskipun demikian, secara organisasi DDI tetap berjalan dengan tampilnya AG.H. M. Abduh Pabbajah sebagai Ketua Umum DDI menggantikan Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle.

Kondisi seperti itu berlangsung selama hampir delapan tahun sampai Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle berhasil  keluar dari hutan pada tahun 1963, saat Kodam XIV Hasanuddin di bawah Panglima Kolonel Andi Yusuf Amir melancarkan Operasi Kilat. Saat berada kembali di tengahtengah warga DDI, Anregurutta segera melakukan konsolidasi organisasi dengan mengadakan musyawarah pendidikan Pengurus Besar DDI di Mangkoso dan mendirikan Perguruan Tinggi DDI yang diberi nama Universitas Islam DDI dengan Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle sebagai Rektornya.

Struktur dan Perkembangan DDI dari Masa ke Masa

 Beberapa bulan setelah pertemuan Watang Soppeng, diadakan konferensi guru-guru MAI pada bulan Sya'ban 1366 H (Juli 1947) bertempat di Saoraja Mangkoso. Pertemuan itu membicarakan pengintegrasian MAI Mangkoso beserta seluruh cabang-cabangnya ke dalam organisasi DDI. Mangkoso ditetapkan sebagai pusat organisasi dengan pertimbangan bahwa Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle selaku Ketua DDI berkedudukan di Mangkoso. Selain itu, MAI Mangkoso sudah memiliki hubungan komunikasi dengan cabang-cabang di daerah sehingga memudahkan sosialisasi penggunaan DDI sebagai pengganti MAI.

Untuk mengesahkan susunan pengurus DDI hasil pertemuan Watang Soppeng, diadakan Muktamar pertama di Mangkoso pada tahun 1948. Muktamar ini sekaligus menggantikan tradisi pertemuan rutin tahunan guru-guru MAI sebelumnya. Muktamar kedua dilaksanakan tahun 1949, dibuka di Mangkoso dan dilanjutkan di Pare-Pare yang dirangkaikan dengan pembukaan/peresmian penggunaan Kantor Pusat Pengurus Besar DDI di sebelah selatan Masjid Raya Pare-Pare.

Sejak itu mulai ditata administrasi organisasi. Sebelumnya, pada periode MAI hubungan antara pusat dan cabang lebih bersifat personal daripada bersifat administrasi organisasi. Semua guru yang ditugaskan mengajar pada cabangcabang MAI di daerah adalah santri-santri MAI Mangkoso yang bertugas secara periodik. Karena itu, jalinan komunikasi yangmenonjol adalah komunikasi antara murid dan guru.

Penataan itu, misalnya, dengan membuat mekanisme dan persyaratan untuk membuka cabang MAI/DDI di suatu daerah. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah:

  • Atas permufakatan sekalian rakyat dalam negeri
  • Disetujui oleh pegawai syara' dalam negeri
  • Disetujui dan dikuatkan serta ditunjang oleh pemerintah dalam negeri

Setelah setuju ketiga pihak diatas, wajib pula menyiapkan:

  • Murid yang hendak diberi pengajaran
  • Rumah sekolah tempat mengajar dengan segala alatalat keperluannya, seperti bangku-bangku (tempat duduk), meja tulis dan lain-lain kepeluan-keperluannya.
  • Nafkah (ongkos) guru yang mengajar serta ongkosongkos pergi pulangnya dari kantor pusat.

Sesudah syarat-syarat di atas disiapkan, pengurus pembentukan MAI/DDI harus memasukkan surat permohonan (atas nama dari ketiga pihak tersebut di atas) kepada ketua darud da'wah wal irsyad/mai mangkoso.

 

Pola Penyebaran DDI

Apabila kita mencermati pola penyebaran DDI ke berbagai daerah di Indonesia bahkan sampai ke Malaysia, ternyata sangat terkait dengan migrasi (diaspora) orang-orang Bugis ke daerah-daerah tersebut.

Menurut Prof. Dr.Abu Hamid,Guru Besar Antropologiadaya Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Hasanuddin Makassar, migrasi atau perantauan besar-besaran orang Bugis terjadi dalam tiga gelombang. Gelombang pertama pada abad ke 17 ketika terjadi peperangan antara kerajaan Gowa dan Bone yang berujung pada lahirnya perjanjian Bungaya. Gelombang kedua pada abad ke-19 ketika Belanda memaksakan untuk memperbarui perjanjian Bungaya yang ternyata ditolak oleh Raja Bone. Sedangkan gelombang ketiga terjadi antara tahun 1950 dan 1965 akibat pemberontakan DI/TII.

Secara kultural, orang Bugis memang memiliki jiwa perantau (passompe), ditambah kekacauan yang terjadi di kampung halamannya, mendorong mereka untuk meninggalkan negerinya guna mencari kehidupan yang lebih baik. Meskipun migrasi orang-orang Bugis umumnya karena motif ekonomi, namun mereka membawa serta tradisi dan kehidupan beragama mereka. Itulah sebabnya ketika mereka sampai di tempat tujuan, sambil membuka tanah untuk pertanian atau berdagang di pasar, tidak lupa mereka mendirikan mesjid secara bergotong royong. Setelah mesjid berdiri, mereka mengadakan pengajian dan mendirikan madrasah buat anak-anak mereka. Imam dan ustaznya diambil dari anggota rombongan perantau-perantau tersebut, atau sengaja didatangkan dari kampung halamannya bila kehidupan di rantau sudah dianggap cukup mapan Apabila menghendaki lembaga pendidikan yang lebih bail, biasanya mereka mengirimkan anaknya ke Sulawesi Selatan untuk belajar agama pada pesantren (angngajiang) yang dianggapnya cukup baik.

Dinamika DDI Pasca Wafatnya AG. H. Abdurrahman Ambo Dalle

Tanggal 29 November 1996 Darud Da'wah Wal Irsyad (DDI) mengalami peristiwa yang cukup mempengaruhi dinamika perkembangan organisasi. Anregurutta H Abdurrahman Ambo Dalle, Pendiri Utama DDI dan sentral figur, wafat setelah mengalami sakit karena usia tua. Menjelang wafatnya, (1993-1996) DDI sempat mengalami kegoncangan internal yang menyebabkan berada dalam status quo karena berkembangnya pandangan bahwa DDI hanya sebatas usia al Mukarram, dan pandangan lain berpendapat bahwa DDI sudah menjadi milik umat yang harus dipertahankan dan dikembangkanterus sebagai oleh generasi muda DDI sebagai suatu amanah.

Hal ini terjadi karena selama hidupnya, sejak berdirinya MAI mangkoso hingga lahirnya DDI, beliau sebagai tokoh sentral dan figure pengikat warga DDI. Kata dan sikapnya dijadikan rujukan dalam mengelola organisasi sampai ke tingkat yang paling rendah. Tidak mengherankan, karena sosok Anregurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle sudah begitu lekat dengan DDI, sesuai semboyan al Mukarram: "semua milik saya adalah milik DDI dan milik DDI bukanlah milik saya", sehingga semua pengelola madrasah dan pengurus DDI mulai dari tingkat Pengurus Besar hingga pengurus Ranting bersikap "Sami'na wa Ata'na" pun menjadi salah satu jati diri warga DDI.

Namun, pasca wafatnya AG.H. Abdurrahman Ambo Dalle belum ditemukan figur yang menyamai kharisma dan kapabilitas beliau dalam berbagai aspek. Ulama-Ulama DDI yangmerupakan baris kedua dari AG.H. Abdurrahman Ambo Dalle tinggal satu-dua orang. Itu pun usia dengan usia yang sudah sepuh sehingga kemampuan menjalankan organisasi pada level pengurus harian sangat terbatas. Menyadari fenomena itu, muncul keinginan dari kaum muda DDI untuk menata kembali organisasi dengan mencari format yang tepat. Di satu sisi DDI menjadi organisasi yang modern, namun di sisi lain tetap menampakkan jati diri DDI sebagai organisasi yang dibangun dan didirikan oleh kaum Ulama.

Perjalanan DDI tentu tidak hanya sampai pada wafatnya Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle, meski perjalanan panjang sudah dilewati , namun perjalanan panjang lainnya akan tetap menanti untuk menantang generasi-generasi DDI selanjutnya untuk berjuang menghadapi perkembangan zaman di era milenial ini.

Adapun tujuan dari DDI yang tercantum dalam Anggaran Dasar Darud Da'wah wal Irsyad, Bab II, pasal 6 disebutkan:

"Organisasi ini didirikan dengan tujuan terbinanya individu muslim, beriman dan bertaqwa, berakhlakul karimah yang mengabdi dan mengamalkan usahanya fisabilillah, menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, demi terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhohi oleh Allah SWT."

Pasal tersebut memberikan penjelasan bahwa tujuan yang ingin diwujudkan Darud Da'wah wal Irsyad (DDI) tidak lain adalah untuk terciptanya individu muslim yang memiliki komitmen kuat pada penegakan dan peningkatan keimanan kepada Allah SWT ., yang direfleksikan dalam sikap dan tindakan kepatuhan pada ajaran Islam yang dibawah oleh Nabi Muhammad SAW ., yaitu ajaran yang bersifat multi dimensional, universal, abadi dan fithri. Dikatakan multi dimensional karena ajarannya mencakup dimensi-dimensi yang menyangkut hubungan manusia dengan Khaliq-Nya (hablu minallah) dan hubungan manusia dengan dirinya, dengan sesamanya, maupun dengan makhluk lainnya (hablu minannas). Tujuan atau visi ini terangkum dalam motto yang dianut oleh DDI, yakni: IMAN, ILMU dan AMAL SHALEH.

Untuk mewujudkan visi tersebut, Darud Da'wah wal Irsyad, sebagaimana yang disebutkan dalam Anggaran dasar DDI Bab IV, pasal 8 menatapkan misi yang akan dilakukan sebagai hasil "dialog" antara tuntutan kebutuhan dari luar dan keinginan dari dalam DDI, meliputi:

  • Menyelenggarakan pendidikan dalam rangka mengembangkan kualitas masyarakat secara umum, serta memperdalam kajian/penelitian tentang ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya menurut tuntunan ajaran Islam.
  • Mengusahakan terlaksananya ajaran Islam dalam masyarakat berdasarkan amar ma'ruf nahy munkar serta meningkatkan ukhuwah Islamiyah.
  • Membina dan membimbing masyarakat ke aran perbaikan dan pemanfaatan potensi sumberdaya sehingga dapat didayagunakan secara efektif dan efesian sesuai dengan tuntunan Islam.
  • Menyelenggarakan komunikasi dan kerjasama dalam meningkatkan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah.
  • Menyelenggarakan kegiatan dan usaha-usaha ekonomi sesuai dengan tuntunan Islam dan sejalan dengan aturan dan perundang-undangan yang berlaku.
  • Lain-lain kegiatan yang halal untuk dapat menunjang terwujudnya tujuan organisasi dalam arti yang seluasluasnya.

Cukup panjang bukan perjalanan DDI ini... namun dari sekian yang tertulis dalam artikel ini tentu masih banyak kisah-kisah perjalanan DDI lainnya yang belum kita ulik. Semoga kita bisa mendapat hikmah dari artikel ini yaa... Terima Kasih!

sumber: buku ke-DDI-an Sejarah dan pandangan atas isu-isu kontemporer

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun