Mohon tunggu...
Ulfa Arifah
Ulfa Arifah Mohon Tunggu... Guru - Konselor SMP

Halo. saya suka membaca dan menulis. Mari berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Luka Psikologis: Aku Ingin Sembuh

3 September 2023   22:40 Diperbarui: 3 September 2023   22:43 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sumber: Thester.com

Pernahkah Anda merasakan penolakan, kesepian atau kegagalan? Penolakan oleh kelompok sosial ataupun oleh orang-orang yang seharusnya menerima anak apa adanya.  Kesepian karena ditinggalkan orang yang penting bagi kehidupannya. Kegagalan karena perasaan tidak bisa membahagiakan orang yang disayanginya, karena tidak bisa memenuhi keinginan mereka, atau pun karena peristiwa pelecehan oleh orang yang selama ini dipercaya. Hal-hal demikian bisa mengakibatkan rasa sakit yang mendalam, mengakibatkan anak dan remaja tidak mampu berpikir secara rasional dan melakukan tindakan di luar nalar. Luka batin ini lebih sulit disembuhkan dibandingkan luka badan.

Luka batin adalah adanya tekanan yang sangat berat yang diberikan secara terus menerus pada lapisan batin terdalam seseorang (Hardjowono, 2005). Luka ini menjadi suatu akibat dari batin seseorang yang tertekan oleh pengalaman tertentu, bahkan oleh adanya pengalaman traumatik (Bock, 2011).

Luka secara psikologis ini akan lebih membekas jika dialami oleh anak-anak dan remaja. Fase kanak-kanak masih sangat membutuhkan bimbingan dan kasih sayang dari orang dewasa di sekelilingnya. Jiwanya yang masih labil -- belum mampu mencari jalan keluar dan belum bisa membedakan mana yang pantas dan tidak pantas dilakukan-- dan fungsi otaknya yang belum sempurna membuat anak tidak tahu apa yang harus dilakukan. Terlebih jika anak mengalami tiga hal menyakitkan sekaligus. Kesepian karena kehilangan orang yang disayangi, lalu mengalami penolakan dan kekerasan dari orang-orang baru, atau orang-orang yang selama ini menyayangi, kemudian dia merasa bersalah karena menganggap dirinya gagal. Gagal karena tidak berhasil melakukan sesuatu, karena tidak berhasil menyenangkan orang lain, atau karena telah menyakiti orang lain.

Penolakan dapat mengakibatkan seseorang menjadi rendah diri, memiliki konsep diri negatif, dan berperilaku menyimpang. Rasa sakit karena penolakan di masa kanak-kanak juga bisa mengakibatkan trauma di masa remaja hingga dewasa. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Markus (dalam John dan Oliver, 1997) bahwa konsep diri mempengaruhi perilaku dalam berbagai cara. Bagi remaja, yang notabene sudah bisa membedakan baik buruk, luka psikologis bahkan bisa menyebabkan depresi ringan hingga berat.

Contoh Kasus

Begitu banyak kasus penyimpangan perilaku remaja atau kelainan, yang diakibatkan luka atau trauma masa kecil yang tidak segera disembuhkan.  Orang dewasa di sekitarnya, terutama kedua orang tua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam hal ini.

Ada beberapa contoh kasus : ada seorang anak usia SD yang masih mengompol atau BAB di kelas karena tidak berani minta ijin kepada guru ke kamar kecil. Dan itu terjadi berkali-kali, sehingga anak tersebut terkucilkan dari teman-temannya (mengalami penolakan). Dia juga tidak memiliki ketrampilan komunikasi yang baik dan suka menyendiri. Ternyata setelah mendapatkan bantuan konseling, anak tersebut memiliki kisah suram pada masa kanak-kanaknya. Ayahnya selalu memarahi dan membentaknya saat dia merengek karena sesuatu. Bukan itu saja, ada tindakan ekstrim lain dari ayahnya. Saat dia menangis menjerit-jerit sang ayah bukannya menenangkan layaknya orang dewasa kepada anak kecil yang ia sayangi, tetapi malah mulut anak tersebut dijejali dengan garam. Anak menjadi kaget dan langsung diam. Setelah peristiwa itu anak tersebut tidak berani mengungkapkan apapun yang ada dibenak dan perasaannya. Rasa takut jika membuat ayahnya marah dan takut terluka hatinya membuat anak memilih untuk diam, menelan semua rasa yang dia alami.

Anak tersebut sudah terluka oleh kesepian dan kehilangan sang ibu karena harus berpisah dengan ayahnya (anak tidak boleh ikut ibunya), dan ia harus menghadapai sang ayah yang tindak tanduknya sering di luar batas kewajaran dan diluar tuntunan agama. Apapun masalah orang tua, seharusnya tidak berimbas pada kebahagiaan anak yang selama ini dinanti kehadirannya.

Kasus kedua : seorang remaja yang suka melakukan self-harm dengan cara menyayat lengannya. Dia melakukan hal itu bertujuan untuk mengalihkan rasa sakit di seluruh tubuhnya akibat dari trauma psikologis. Pemicunya adalah ketika ia mendapatkan perlakuan kasar dari orang lain, baik secara sikap, verbal maupun tindakan. Trauma tersebut berawal dari perlakuan kasar ibunya yang sering ia terima saat masih anak-anak. Perpisahan dengan ayahnya membuat sang ibu menderita depresi, dan ahirnya melampiaskan kekesalan hidup pada buah hatinya. Namun sebelum berpisah, sang ibu juga  juga kerap kali mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya.

Atau kasus ketiga, yang nampaknya sepele : seorang anak inklusi yang beberapa kali pindah sekolah karena tempat tinggalnya harus berpindah-pindah mengikuti tempat kerja ayahnya. Dia mengalami kelelahan yang amat sangat dalam beradaptasi. Setiap terjadi perpindahan tempat kerja ayahnya, maka dia harus segera beradaptasi dengan tempat tinggal baru, guru baru, teman baru, dan mata pelajaran baru. Padahal tidak semua orang baru bisa menerima dia apa adanya. Jika terjadi penolakan, maka kemungkinan besar akan terjadi kasus pembulian. Anak tersebut akan jadi sasaran empuk korban pembulian. Anak akan menjadi semakin depresi. Dia kelak bisa menjadi pelaku pembulian, atau menjadi anak yang rendah diri, bahkan melakukan bunuh diri. Semua akan menjadi semakin buruk apabila hubungan kedua orang tua kurang harmonis.

Apa yang Sebaiknya dilakukan?

Anak adalah pengamat yang paling baik. Setiap kejadian dalam lingkungannya akan terekam dengan jelas dan akhirnya menjadi dasar atau pertimbangan mereka dalam berpikir dan bertingkah laku. Anak memiliki karakter yang mudah menelan informasi apapun yang dilihat dan didengar. Hal ini disebabkan karena otak anak masih relatif bersih, belum banyak terkontaminasi dunia luar. Anak-anak juga belum sempurna membedakan baik buruk karena keterbatasan akal dan pengetahuan.

Itulah mengapa lingkungan orang dewasa, terutama kedua orang tuanya berkewajiban memberikan informasi yang berkualitas. Informasi yang baik dan benar. Hal itu seharusnya mulai dilakukan sejak anak masih dalam kandungan. Terlebih jika anak sudah lahir. Membekali mereka dengan semua yang berguna, akan menjadi bekal bagi mereka dalam mengarungi kehidupan yang pelik ini. Apa yang seharusnya orang tua lakukan untuk anak akan menjadi bekal sehingga mereka bisa survive dan berguna bagi kehidupan sesama. Karena, inti dari kehidupan itu sendiri adalah kemanusiaan. Bagaimana kita membentuk anak menjadi pantas disebut manusia dan berahir dengan menjadi bermanfaat bagi manusia. Pendidikan agama berperan penting dalam membentengi anak dan remaja, terutama ketika mereka hendak melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan nila-nilai agama dan kebenaran universal.

Bagaimana apabila anak sudah terlanjur terluka ? Anak yang sudah sakit psikisnya dan terganggu kehidupan efektifnya, anak demikian sebenarnya memiliki keinginan yang untuk sembuh, namun ia tidak mengetahui caranya. Hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, sehingga membuat anak semakin depresi. Anak-anak tersebut sangat membutuhkan bantuan yang bersifat segera.

Oleh karena itu, jika orang dewasa mendapatkan kasus seperti ini, maka sebaiknya mereka segera bertindak. Membawa anak tersebut ke psikolog atau psikiater adalah pilihan yang tepat. Di sana, anak akan diberikan konseling bersama orang tuanya. Anak juga akan diberikan terapi sesuai tingkat kesulitannya. Bahkan dibutuhkan obat-obatan tertentu jika anak tersebut sudah terlanjur mengalami depresi tingkat tinggi. Selain itu, masih ada banyak alternatif yang bisa diusahakan. Semua yang bisa dilakukan harus dilakukan, sebelum semuanya terlambat.

Orang tua terutama ibu juga sangat perlu meminta bantuan kepada Dzat Yang Maha Mengobati. Karena segala usaha manusia, pada akhirnya Tuhan yang menentukan. Dengan usaha maksimal dari semua pihak, yaitu orang tua, guru, dan lingkungan masyarakat, semoga anak-anak yang terluka bisa segera sembuh, dan menjadi manusia yang berguna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun