Thalassemia merupakan salah satu kelainan darah bawaan yang banyak diderita oleh masyarakat di dunia Thalassemia dapat menyebabkan komplikasi seperti gangguan pertumbuhan dan perkembangan, kerusakan tulang, dan penyakit jantung.Â
Selain itu, mengobati talasemia dengan transfusi darah berisiko menyebabkan penumpukan zat besi di tubuh pasien. Indonesia merupakan salah satu negara dalam sabuk thalassemia dunia, atau negara dengan sejumlah besar pembawa karakteristik thalassemia.Â
Saat ini terdapat lebih dari 10.531 penderita talasemia di Indonesia, dan diperkirakan 2.500 bayi baru lahir lahir dengan talasemia setiap tahunnya. Cut Arianie, MHKes mengatakan pembiayaan kesehatan untuk pengobatan thalassemia menempati urutan kelima di antara penyakit tidak menular, di belakang penyakit jantung, kanker, ginjal dan stroke.Â
Biaya yang dikeluarkan pada tahun 2014 sebesar Rp 225 miliar dan pada tahun 2015 sebesar Rp 452 miliar. 496 miliar rupiah pada 2016, 532 1 miliar pada 2017 dan 397 miliar pada September 2018. Hal inilah yang menjadi tantangan pemerintah Indonesia untuk mengurangi jumlah penderita thalassemia.Â
Thalassemia tidak dapat disembuhkan dan membutuhkan transfusi darah seumur hidup, tetapi dapat dicegah dengan mencegah pembawa thalassemia menikah. Sifat atau tidak, karena pembawa sifat thalassemia sama sekali tidak menunjukkan gejala dan dapat bekerja seperti orang sehat.Â
Untuk anak penderita thalassemia mayor, diperkirakan pemerintah harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 400 juta per tahun. Biaya ini belum termasuk biaya pemantauan rutin fungsi organ dan penanganan komplikasi. Sedangkan biaya skrining thalassemia hanya Rp 400.000. Oleh karena itu, kita harus memperkuat skrining thalassemia di Indonesia.Â
Selain mahal, tantangan lain dari penyakit thalassemia adalah masih banyak ditemukannya pembawa sifat thalassemia, yaitu orang yang secara genetik membawa sifat thalasemia tersebut dan tidak menunjukkan gejala tapi bisa menurunkan penyakit thalasemia tersebut kepada anak anaknya.Â
Hal ini tentunya membutuhkan upaya dari semua pihak untuk meningkatkan kesadaran dan deteksi dini/screening untuk mencegah penurunan thalassemia mayor. Skrining paling baik dilakukan sebelum memiliki keturunan, dengan mengambil riwayat keluarga thalassemia dan memeriksakan darah sedini mungkin untuk mengetahui apakah ada pembawa thalassemia.Â
Dengan demikian, perkawinan antar sesama operator dapat dihindari. Hal ini harus dikomunikasikan kepada masyarakat melalui berbagai media komunikasi informasi dan edukasi (KIE).Â
Dokter Anak, dr RSCM. Menurut Teny Tjitra Sari, Sp.A.(K), hingga saat ini pengobatan thalasemia di Indonesia masih bersifat suportif dan belum pada tahap kuratif. Perawatan suportif yang diberikan pada penderita thalassemia ditujukan untuk mengatasi gejala. Transfusi darah seumur hidup rutin, pemberian chelator besi, dan dukungan psikososial adalah andalan pengobatan untuk pasien dengan thalassemia.
pengidap thalasemia sangat memerlukan pengobatan yang optimal, sehingga biaya yang dikeluarkan pun cukup banyak. Kementerian Kesehatan mencontohkan, biaya pembiayaan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) pengobatan talasemia 2014-2018 melebihi Rp 2 triliun. Saat ini skrining thalassemia hanya dilakukan di Puskesmas di kota-kota besar dan relatif mahal, berkisar antara Rp 400.000 -- Rp 500.000.Â