Awal kelahiran adik F, saya mendapat kabar bahagia. Cerita pendek yang saya ikut sertakan dalam sebuah lomba menulis cerpen mendapat juara enam alias harapan tiga. Katanya, lomba cerpen di Tulis. Me lumayan susah ditembus. Selain bergenre sastra, dewan jurinya juga tidak main-main. Mulai dari Faisal Oddang yang pernah menjuarai Sayembara Menulis Novel DKJ sampai bukunya yang sangat menarik minat pasar sastra.
Saya bukan tipikal yang ambisius dalam melakukan sesuatu. Termasuk kelompok yang tidak begitu oke. Katanya, sih, begitu. Setiap ada lomba yang saya ikuti rata-rata karena saya punya stok. Jika temanya cocok, akan saya daftarkan. Tidak ada istilah mempelajari karya pemenang sebelumnya, mengintip selera juri, dan lain-lain. Ikut ya ikut saja, let's it flow.
Tidak ada juga ekspektasi jika karya yang terpilih itu akan menjadi juara. Dua cerpen yang saya kirimkan, keduanya-duanya mendapatkan peringkat sepuluh besar. Cerpen berjudul Jarik Penutup Mayat saya tulis menjelang deadline karena insomnia menyerang. Waktu itu akan masuk rumah sakit untuk menjelani operasi secar. Sedangkan yang mendapat peringkat sembilan adalah cerpen yang belum selesai di laptop. Saya menyelesaikan cerpen berjudul Pencuri Setengah Kebun itu setelah yakin akan ikut lomba kali ini.
Informasi lomba saya dapat di sbeuah grup, sudah mepet deadline dan sepertinya si pengirim memang sengaja melakukan itu. Saya mengirim kedua cerpen hari terakhir. Tidak ada ekspektasi, hanya selembar sertifikat untuk dilampirkan di Laporan Beban Kerja Dosen (LKBD) saja yang menjadi harapan. Tidak disangka, setelah keluar dari rumah sakit saya dihibur dengan kabar gembira itu.
Lalu orang-orang bilang apa? Mereka kerap menghubung-hubungkan antara berkah kemenangan ini dengan kelahiran adik F. Katanya itu rezeki adik F yang bagus. Anak pembawa berkah dan rezeki untuk orangtuanya, terutama bagi saya sebagai umminya.
Padahal ini serta merta bukan terjadi dengan duduk manis di rumah. sebelumnya ada usaha yang sudah dilakukan. Sederhananya, kalau naskah itu tidak saya kirimkan tentu saja tidak akan terjadi apa-apa. Kebetulan deadline-nya juga bertepatan dengan kelahiran adik F.
Orang-orang tidak tahu bagaimana saya lebih produktif ketika mengandung abang A. Keberuntungan yang sama juga terjadi saat Abang A lahir. Saya baru keluar dari rumah sakit, kemudian suami membawa satu paket buku yang merupakan hadiah dari lomba. Bahkan beberapa karya saya dibukukan di awal kelahiran Abang A. Begitu juga dengan Adik F.
Setiap anak terlahir istimewa, dia membawa keberkahan dan keberuntungannya sendiri. Semuanya kembali ke usaha manusia dalam menggapainya. Tentu saja, apakah itu bertepatan ketika hamil Abang A atau Adik F. Kedua anak ini saya lewati dengan perjuangan dan tantangan tersendiri. Bukan Abang A atau Adik F yang sengaja menghadirkan dewi fortuna ke dalam kehidupan saya. Mereka adalah seindah-indah berkah yang saya dapatkan. Anugerah terindah yang saya miliki, kalau kata Sheila On 7 dalam salah satu lagunya.
Di luar sana mungkin kita sering mendengar orang tua berkomentar anak B pembawa sial, anak C lambang keberuntungan, anak D begini, dan seterusnya. Setiap anak itu istimewa, tidak perlu melabeli dan mengotakkan mereka dengan cara begitu. Pelakapan itu justru membuat para anak tumbuh dengan konsep yang dibawanya sejak kecil.
Jangan heran ketika anak yang dianggap selalu beruntung itu akan tumbuh sebagai anak yang sukses ketika besar. Itu karena dari kecil dia sudah ditanamkan kepercayaan diri dan konsep diri yang positif juga. Sebaliknya, anak yang dianggap gagal sedikit sekali yang bisa melawan lakap tersebut. Satu dua yang berhasil pun karena dia berani keluar dari zona buruk yang terlanjur ditanam dan bertemu dengan orang-orang yang tepat.