Modal yudisium sudah cukup hemat. Aku dipinjami kamera oleh Nova. Budget untuk menyewa kamera selamat. Belum lagi untuk make up sudah ditangani oleh Jane Make Over alias Desi Jane Nadhifa, adik kosan yang memiliki tangan seni berkekuatan magis dalam melukis wajah. Budget untuk merias wajah selamat sekian ratus ribu.
Desi menawarkan semua properti wajah miliknya. Mulai dari make up yang tidak abal-abal, bulu mata anti badai, dan soft lens jika aku mau. Aku menolak memakai benda ini, selain takut aku juga tidak mau mengubah penampilanku seperti hantu. Netra palsu di mataku tidak jauh beda dengan mata kuntilanak.
Untungnya lagi, aku mendapatkan duit segepok dari arisan seminggu yang lalu. Aku langsung membeli bahan untuk kebaya, mengirimnya ke kampung untuk dijahit oleh ine, dan berburu heels  di pasaraya. Aku tidak memakai heels genit ke pesta teman-temanku, jadi kubeli yang murahan saja untuk sekali dua kali pakai.
Abaikan soal arisan itu hutang. Kali ini aku sangat terbantu dengan adanya cicilan berkelompok dengan dalih membantu sesama ini. Bisa aku rasakan tatapan iri teman-teman yang menginginkan giliran pertama menggenggam segepok uang arisan itu.
Kutolak ajakan makan bakso teman-teman yang mengambil manfaat dari kumpul-kumpul uang. Kali ini aku sedikit kejam memperlakukan pertemanan yang selalu beujung asas manfaat.
Malam ini aku tidak bisa tidur. Serius!
Aku sedang memikirkan bagaimana keluar rumah dengan make up nampol di wajah seperti tikus kecebur cat. Aku juga tidak bisa membayangkan bagaimana kalau make up yang sudah susah payah dioles ke wajahku menghijau hasil oksidasi. Berbagai pikiran benar-benar membuatku tidak bisa tidur.
Jam alarm di atas lemari pakaian sudah menunjukkan pukul empat pagi. Aku belum juga tertidur. Aku paksakan tidur, tapi yang terdengar malah langkah seseorang berjalan dari kamar Desi ke teras depan. Kemudian suara jempol menari di atas tuts ponsel seperti orang sedang chating.
"Kenapa sekarang, sih?" tanyaku pada diri sendiri. Aku sudah sering mendengarnya. Sesehantu yang duduk di teras memang bersebelahan dinding dengan kamarku.
Kami sering menggosipkannya. Mungkin dia Kak Sushmita yang tidak tenang karena meninggal kecelakaan. Dia sering pulang ke kosan karena merasa di sinilah dunianya. Itu hanya obrolan di antara kami para anak kos tanpa sepengetahuan Desi. Ya, karena Sushmita adalah kakak kandung Desi.
Bukan aku saja yang mendengarnya. Sewaktu Lia masih ngekos di sini, dia paling sering melihat, mendengar, dan merasakan kehadiran Kak Sushmita. Kata Lia, terkadang Kak Sushmita memasak mie instan di dapur yang letaknya tepat di bawah tangga. Terkadang dia sedang mandi dengan sabun cair Lux beraroma mawar. Paling sering duduk di teras sambil chatting. Itu memang hobinya.