Mohon tunggu...
Ulfa Khairina
Ulfa Khairina Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Somewhere to learn something. Explore the world by writing. Visit my homepage www.oliverial.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebungkus Nasi Gurih di Musim Corona

26 Maret 2020   16:07 Diperbarui: 26 Maret 2020   16:16 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di awal Maret, hampir semua stasiun TV di Indonesia mengumumkan berita yang sama. Dua orang pasien positif Corona di Jakarta. Hari-hari berikutnya berlanjut dengan berita yang sama, penambahan angka Orang Dalam Pengawasan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) serta angka-angka positif Corona. Angka yang ditunjukkan berganda, meningkat drastis dalam beberapa hari. Bahkan Indonesia mendapat 'juara' meninggalkan negara pertama yang menjadi pionir virus ini, China.

Beberapa hari saat masyarakat Aceh hanya menonton di TV tentang dahsyatnya perkembangan virus ini, saya sudah berada di rumah sakit. Di sana pula sumber informasi tentang virus yang namanya diperkeren enjadi Corona Virus Desease Nineteen (Covid-19) ini bermula. Termasuk mendengar adanya pasien pertama di Rumah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh.

Belum ada perintah lockdown. Perawat di rumah sakit pun masih berkeliaran mengecek pasien tanpa masker dan latex. Saat itu saya geram. Apalagi selama beberapa hari kamu tinggal di kamar VIP yang bisa dikatakan cukup steril dibandingkan dengan kamar lain. Alih-alih merawat dan menunggui orang sakit, saya merasa seperti sedang staycation. Liburan di sebuah hotel dan menghabiskan waktu hanya menenangkan diri.

Staycation para pelancong menempatkan diri di hotel bintang tiga sampai lima dengan memanfaatkan fasilitas yang ada. Tidak ada bedanya berada di kamar rumah sakit ini, kami pun menikmati fasilitas yang mumpu'i meskipun tidak semewah hotel. 

Setidaknya kami bisa menonton TV One dan konferensi pers yang dijurubicarai oleh Achmad Yurianto tentang Covid-19. Ada sebuah sofa berwarna orens yang nyaman buat rebahan dalam segala suasana. Kamar mandi yang luas lengkap air panas dingin. Ada satu unit kulkas merek Sharp satu pintu dengan motif bunga sakura di pintunya. Wastafel berfungsi dengan baik.

Tidak hanya itu, para distributor makanan datang empat kali sehari. Dua kali mengantarkan makanan ringan pada jam sepuluh dan jam tiga sore. Dua kali mengantarkan nasi untuk pasien, pukul tujuh pagi, 12 siang, dan pukul enam sore. Mereka ramah dan sangat koperatif.

Perawat selalu datang mengecek tepat waktu meskipun sebagian besar tanpa senyul dan tidak menunjukkan keramahan. Pekerjaan mereka yang terlalu lelah dan penuh tekanan membuat susah menarik garis senyum.

Kami berada di ruang VIP selama 11 hari. Usai operasi suami saya, kami ditranfer ke ruang kelas dua, harusnya kami berada di kelas satu, bukan VIP atau kelas dua. Status kami di VIP hznya titipan. Di ruang yang baru pun titipan. Ruang yang seharusnya kami tempati penuh.

Beda kelas, beda pelayanan. Inilah yang saya rasakan. Mulai dari sikap perawat sampai makanan. Beberapa kali saya mengomel sendiri. Namun, semua omelan itu berubah menjadi intropeksi karena suatu pagi.

Seperti biasa, saya tidak bisa makan menu di rumah sakit. Sekalipun disajikan sangat elegan dan enak. Saya tidak bisa menyentuhnya. Meskipun makan di kamar, saya akan lelbeli makanan di luar rumah sakit. Baik menitip pada siapa saja keluarga yang datang sampai memesan melalui grab food.

Minggu pagi saya turun ke kantin rumah sakit sangat cepat. Sebelum jam tujuh. Belum ada gerai yang buka. Akhirnya saya keluar eumah sakit, mencari nasi gurih enak. Sekalipun pasien yang sedang saya jaga tidak ada yang menemani. Saya tinggalkan ponsel, lalu saya pergi.

Ada satu penjual nasi gurih di sudut rumah sakit yang katanya enak. Saya menuju ke sana dan memesan sebungkus nasi gurih dengan lauk rendang paru sapi seharga Rp 18 ribu. Di samping saya berdiri seorang ibu bertubuh tinggi kurus dengan wajah pucat. Dia tampak lelah. Bisa ditebak, ia jug menjaga kelurganya yang sedang dirawat di rumah sakit.

"Bu, boleh saya minta uang Rp 2 ribu," pintanya pada perempuan yang lebih tu fi samping kirinya. Saya melirik si ibu, dia bzru menerima kembalian dari penjual. Ada Rp 17 ribu uang di tangannya.

Si ibu memberikan pada si peminta tadi. Begitu menerima, ia langsung menyatukan dengan lembaran dua ribuan di tangannya sambil berucap hamdalah. Air matanya jatuh seketika, "Anak saya ingin sekali makan nasi gurih, tapi uang saya tidak cukup. Mungkin ini permintaan terakhirnya, makan nasi gurih."

Si ibu yang memberikan uang Rp 2 ribu mengambil kembali uang itu dan mengganti dengan uang Rp 5 ribu. Di saat yang samz, dua orang penjaja nasi gurih memberikan pesanan saya dan sang ibu. Saat saya menunggu kembalian, si ibu sudah pergi.

Saya berlari berusaha mengejar si ibu dengan rasa bersalah. Berbagai macam perasaan muncul. Tindakan yang menjauhkan diri dari rasa syukur. Ketidakpuasaan pada hiduo yang lebih layak. Harapan atas kesembuhan orang yang saya tinggal di kamar rawat. Berbagai macam pernyataan atas tidak adilnya hiduo.

Hanya beberapa menit, saya kehilangan jejak si ibu. Kelelahan saya memilih berjalan pelan melewati tiga orang satpam di dekat Instalasi Gawat Darurat (IGD). Mereka mengobrol soal virus dunia ini.

"Ada pasien baru lagi masuk semalam. Negeri kita semakin ngeri, ya. Bagaimana kita orang kecil ini bisa hidup jika sampat diberlakukan seperti di China. Tidak boleh keluar, tidak boleh masuk. Dikurung!" Kata satpam pertama.

Satpam kedua berkata, "Mau bagaimana. Orang seperti kita hanya mampu berdoa kepada Allah. Jauhilah virus itu dari kita. Kalau tidak kerja, jangankan Corona, kita duluan mati sebelum terinfeksi virus."

Hidup di rumah sakit tidak mudah. Untuk menjaga pasien yang merupakan keluarga kita pun, kita mesti memiliki modal. Tidak terbayangkan jika mereka yang mencqri nafkah hari ini untuk hari esok harus masuk ke rumah sakit. Perjuangan mereka terhenti dan harapan hilang seketika ketika ada keluarga yabg terjangkit. Itu bukan mau mereka. Namun,rida hidup bisa terhenti seketika karena bebrapa orang egois.

Mereka yang sudah dianjurkan berdiam di rumah demi menghindari virus, tapi mereka abai. Mereka yang berstatus ODP masih berkeliaran. Mereka yang menganggap hal serius ini sebagai candaan pemerintah dan rekayasa golongan tertentu.

Tolong! Apapun yang ada dalam pikiran kita. Ada orang-orang yang hidupnya kurang beru tung sedang berjuang untuk melawan virus dan menyambung hidup keluarganya sekaligus. Jangan abai, jangan egois. Sekali saja dalam hidup, pikirkan orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun