Mohon tunggu...
Ulfa Khairina
Ulfa Khairina Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Somewhere to learn something. Explore the world by writing. Visit my homepage www.oliverial.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebungkus Nasi Gurih di Musim Corona

26 Maret 2020   16:07 Diperbarui: 26 Maret 2020   16:16 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada satu penjual nasi gurih di sudut rumah sakit yang katanya enak. Saya menuju ke sana dan memesan sebungkus nasi gurih dengan lauk rendang paru sapi seharga Rp 18 ribu. Di samping saya berdiri seorang ibu bertubuh tinggi kurus dengan wajah pucat. Dia tampak lelah. Bisa ditebak, ia jug menjaga kelurganya yang sedang dirawat di rumah sakit.

"Bu, boleh saya minta uang Rp 2 ribu," pintanya pada perempuan yang lebih tu fi samping kirinya. Saya melirik si ibu, dia bzru menerima kembalian dari penjual. Ada Rp 17 ribu uang di tangannya.

Si ibu memberikan pada si peminta tadi. Begitu menerima, ia langsung menyatukan dengan lembaran dua ribuan di tangannya sambil berucap hamdalah. Air matanya jatuh seketika, "Anak saya ingin sekali makan nasi gurih, tapi uang saya tidak cukup. Mungkin ini permintaan terakhirnya, makan nasi gurih."

Si ibu yang memberikan uang Rp 2 ribu mengambil kembali uang itu dan mengganti dengan uang Rp 5 ribu. Di saat yang samz, dua orang penjaja nasi gurih memberikan pesanan saya dan sang ibu. Saat saya menunggu kembalian, si ibu sudah pergi.

Saya berlari berusaha mengejar si ibu dengan rasa bersalah. Berbagai macam perasaan muncul. Tindakan yang menjauhkan diri dari rasa syukur. Ketidakpuasaan pada hiduo yang lebih layak. Harapan atas kesembuhan orang yang saya tinggal di kamar rawat. Berbagai macam pernyataan atas tidak adilnya hiduo.

Hanya beberapa menit, saya kehilangan jejak si ibu. Kelelahan saya memilih berjalan pelan melewati tiga orang satpam di dekat Instalasi Gawat Darurat (IGD). Mereka mengobrol soal virus dunia ini.

"Ada pasien baru lagi masuk semalam. Negeri kita semakin ngeri, ya. Bagaimana kita orang kecil ini bisa hidup jika sampat diberlakukan seperti di China. Tidak boleh keluar, tidak boleh masuk. Dikurung!" Kata satpam pertama.

Satpam kedua berkata, "Mau bagaimana. Orang seperti kita hanya mampu berdoa kepada Allah. Jauhilah virus itu dari kita. Kalau tidak kerja, jangankan Corona, kita duluan mati sebelum terinfeksi virus."

Hidup di rumah sakit tidak mudah. Untuk menjaga pasien yang merupakan keluarga kita pun, kita mesti memiliki modal. Tidak terbayangkan jika mereka yang mencqri nafkah hari ini untuk hari esok harus masuk ke rumah sakit. Perjuangan mereka terhenti dan harapan hilang seketika ketika ada keluarga yabg terjangkit. Itu bukan mau mereka. Namun,rida hidup bisa terhenti seketika karena bebrapa orang egois.

Mereka yang sudah dianjurkan berdiam di rumah demi menghindari virus, tapi mereka abai. Mereka yang berstatus ODP masih berkeliaran. Mereka yang menganggap hal serius ini sebagai candaan pemerintah dan rekayasa golongan tertentu.

Tolong! Apapun yang ada dalam pikiran kita. Ada orang-orang yang hidupnya kurang beru tung sedang berjuang untuk melawan virus dan menyambung hidup keluarganya sekaligus. Jangan abai, jangan egois. Sekali saja dalam hidup, pikirkan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun