Popularitas mereka mencuri perhatian industri hiburan Indonesia juga. F4 tidak hanya ada di Taiwan dengan Meteor Garden. Indonesia mendatangkan bintang-bintang segar dan populer di masa itu dalam sinetron Siapa Takut Jatuh Cinta yang dibintangi oleh Leony Vitria Hartanti, Roger Danuarta, Jonathan Frizzy, Steve Emmanuel, dan Indra L. Brugman.
Drama-drama lain pun menyusul. Begitu seterusnya. Ada yang hanya bertahan di negara asalnya. Ada pula yang terang-terangan dibuat versi Indonesianya. Sebut saja One Littre of Tear (Jepang) yang muncul versi Indonesianya dengan judul Buku Harian Nayla. Sinetron ini dibintangi oleh Chelsea Olivia dan Glenn Alienski.
Berbagai fase dunia hiburan Asia saling menginspirasi untuk memberi hiburan pada masyarakat masing-masing. Namun, penonton yang budiman lupa satu hal. Drama yang ditonton hakikatnya bukan saja berfungsi sebagai hiburan.
Drama pun memiliki fungsi mendidik, mengedukasi, dan menjadi kontrol sosial. Belakangan drama yang muncul di pertelevisian dan beredar di aplikasi hiburan Indonesia justru lebih banyak menghiburnya dibandingkan fungsi lainnya.
Nah, apakah kita juga akan terus terlarut dengan buaian drama romansa negeri seberang?
Jika penonton terus menerus dalam lingkup memposisikan drama sebagai hiburan dan mengabaikan nilai lain, jangan heran jika generasi ke generasi semakin kecau. Penonton sebagai penyumbang kekacauan dalam menciptakan nilai dasar dalam masyarakat.Â
Keuntungan besar bukan saja masalah. Ia juga sumber petaka yang akan terus diwariskan dari generasi ke generasi untuk menciptakan masalah.
Jadi, bisa dipastikan pengkhianat media massa saat ini adalah penonton. Bukan karena memilih drama asing, tapi memilih drama hanya sebagai fungsi hiburan saja. Hiburan diciptakan sesuai dengan permintaan massa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H