Mohon tunggu...
Ulfa Khairina
Ulfa Khairina Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Somewhere to learn something. Explore the world by writing. Visit my homepage www.oliverial.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Terinspirasi Ngewarkop dari Pelajar Beijing

12 Februari 2020   11:07 Diperbarui: 12 Februari 2020   11:17 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Coffee Shop di Tiongkok bukan saja tempat bersosialisasi. Coffee shop bisa menjadi tenpat bekerja mengumpulkan inspirasi.

Mahasiswa lokal sudah mengantri sebelum perpustakaan buka. Mereka sudah berbaris di depan pintu perpustakaan. Kemudian langsung mereservasi meja dengan meletakkan laptop, air minum, dan buku di sana. Lalu mereka kembali ke kelas untuk kuliah dan kembali ketika kuliah usai.

Begitu seterusnya setiap hari. Lalu bagaimana dengan tipikal saya selaku mahasiswa yang mempersiapkan diri di pagi hari dengan mandi, dandan, ngampus pada jam sepuluh pagi? Mendapatkan sebuah kursi di perpustakaan adalah keberuntungan.

Satu lagi, perpustakaan sepi bagaikan kuburan. Jadi, saya dan teman-teman pun tidak berani berkutik di perpustakaan. Bisik-bisik saja bisa mengganggu ketentraman orang lain belajar. Jadi, jangan heran jika mahasiswa lokal memilih coffee shop untuk berdikusi.

Perlahan saya mengikuti kebiasaan ini. Bukan untuk gaya-gayaan atau mengikuti anak-anak lokal biar terlihat sama. Tidak sama sekali. Alasan pertama, saya harus menghindar dari kamar untuk belajar. Alasan kedua, saya sering tidak mendapatkan tempat di perpustakaan.

Kebiasaan ini kemudian berlanjut ketika kembali ke Aceh. Di Aceh, bukan karena perpustakaannya penuh dengan mahasiswa belajar. Perpustakaan di Aceh lumayan parah. Perpustakaan dijadikan sebagai tempat bergosip. Para pengunjung tidak segan berbicara dengan suara keras dan tertawa ngakak tanpa peduli beberapa orang yang memang serius belajar. Bahkan para pustakawannya juga ikut bersuara keras.

Anehnya, beberapa warung kopi lebih senyap dibandingkan perpustakaan. Perlahan, kebiasaan yang saya rencanakan untuk tinggalkan setelah menikah ini muncul lagi. Kebiasaaan itu terjadi sampai sekarang. Ketika saya hendak bekerja dan tidak ada internet, sementara kuota minim. Mau bekerja di rumah bisa rebutan laptop dengan anak. Akhirnya warung kopi menjadi pilihan.

Alasannya sama. Warung kopi lebih senyap dari perpustakaan. Ditemani segelas kopi, saya bisa melakukan apa saja di sini. Mau kerja, main game, sampai terkantuk-kantuk dengan modal tidak sampai Rp 20 ribu saja. Bisa jadi juga kurang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun