Mohon tunggu...
Ulfa Khairina
Ulfa Khairina Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Somewhere to learn something. Explore the world by writing. Visit my homepage www.oliverial.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kampus Baru, Semangat Baru?

25 September 2019   10:43 Diperbarui: 25 September 2019   12:26 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita pindah ke Alpen semester ini." Pernyataan ini bukan sekali dua kali mampir di telinga saya. Bahkan sudah kebal saking seringnya. Tidak berminat lagi memastikan waktu yang tepat untuk pindah. Cukup sekali saya dibuat galau oleh isu simpang siur yang tidak kunjung terwujud ini.

Sampai suatu hari seorang teman mengirimkan pengumuman di grup. Semester baru yang harusnya sudah dimulai tiga minggu sebelumnya belum dimulai. Mahasiswa turun aksi. Demo menuntut pindah kampus. 

Oh, tidak!!

Demo lagi, demo lagi. Lagi-lagi demo.

Saya bukan orang yang anti demo. Tapi juga tidak sepenuhnya mendukung aksi mahasiswa kekinian. Jika tujuan demo itu jelas, mari silahkan. Kita berdemo. Saya mendukung penuh. Namun kebanyakan aksi berakhir anarkis, hilangnya etika dan tidak menghargai orang yang lebih tua. 

Dosen dimaki-maki, dibentak-bentak. Di sini saya merasa ilfil. Zaman saya suka turun ke jalan, etika tetap di depan. Memposisikan para dosen memang seperti orang tua. Jangankan membentak, rasanya di hari masuk kuliah pun kami sudah tidak berani melihat wajahnya. Malu. Kalau-kalau kami bersikap salah.

Dua hari setelah demo, bertepatan dengan World Clean Up Day, kami melaksanakan gotong royong di kampus baru. Di tengah hutan belantara. Memikirkan ke sana saja bulu roma sudah merinding. Tidak kebayang mengajar sampai jelang maghrib. Saya tidak yakin kelas dipenuhi oleh mahasiswa yang sebenarnya.

Nah, di sinilah masalahnya. Bukan soal misteri mahasiswa di kelas. Tapi lebih kepada mahasiswa itu sendiri. Mereka yang datang ke kampus tidak benar-benar ingin memiliki kampusnya. 

Sederhana saja bentuk untuk memiliki ini, misalnya dengan ikut bergotong royong membersihkan kampus. Membersigkan kaca jendela yang debunya bisa untuk menggantikan papan tulis. Bisa ditulisi. Sayangnya, mereka tidak melakukan itu. Di kampus, mereka melakukan campus touring.

Campus touring mengingatkan saya ketika pertama kali menjejakkan kaki di kampus baru saat kuliah. Orientasi mahasiswa yang notabene lebih banyak bentak-bentak oleh senior di kampus, di kampus seberang sana berbeda. 

Kami dibekali dengan benar-benar mengenalkan kampus kepada mahasiswa. Ya, saya jalan-jalan di kampus. Foto di sudut kampus 'baru' yang akan membakar semangat kuliah. Apalagi kampus di luaran sana juga berpotensi sebagai destinasi wisata, pariwisata edukasi.

Kampus STAIN Meulaboh yang berlokasi di Gampa memang tidak semegah kampus Alpen alias Alue Peunyareng. Namun keindahannya berasa syahdu kepada mereka yang tidak terbiasa dengan kampus wah. Semangat di awal. Namun tidak sesemangat ketika berada di ruang kelas untuk kuliah. Haruskah jarak mengikis semangat di kampus baru?

Entahlah, saya rasa mereka yang turun aksi tahu jawabannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun