Musim gugur yang saya hadapi snagat dingin. Dingin sekali. Bahkan setiap minggu saya terus keluar demi membeli pakaian-pakaian yang lebih tebal untuk menghalau dingin. Mulai dari berbahan wool, jaket musim dingin sampai kaos kaki dan Long john seperti saran-saran orang untuk musim dingin.
Sudah memakai baju tebal dengan bulu-bulu di dalam, memakai jaket, kemudian memakai jaket down yang biasa digunakan untuk musim dingin. Rasa sejuk yang menusuk tulang tidak juga pergi. Bahkan ketika angin bertiup, ada rasa sakit di dalam kepala diikuti aliran darah dari hidung.
Oh, inikah autumn?!
Saya tidak membenci musim gugur. Di hari-hari selanjutnya, musim gugur terlihat semakin memamerkan pesonanya. Ketika proses dedaunan mulai menguning, angin bertiup dan menjatuhkan daun-daun kuning, Â saat itulah keindahan musim gugur semakin nyata. Semakin indah.
Saat dedaunan kuning jatuh menutupi jalan, beberapa dahan masih ditutupi dedaunan kuning pula. Saya merasa seperti melewati permadani kuning, empuk dan indah sekali. Tidak ada musim yang lebih indah selain musim gugur.
Bukan saya tidak menyukai musim semi. Udara musim semi sama sejuknya seperti musim gugur. Perbedaannya, ketika musim semi tidak ada dedaunan kuning, hanya bunga yang mekar indah dimana-mana. Hal ini biasa saja bagi saya. Karena saya besar di daratan tinggi yang temperaturnya antara 13 derjat celcius sampai 25 derjat celcius. Suhu yang sama ketika musim semi di Tiongkok.
Suasana musim gugur selalu menjadi favorit saya. Saya pernah membuat impian, kelak suatu hari bisa merasakan musim semi di Kanada. Melihat daun-daun mapple yang berjatuhan. Menikmati aroma dedaunan yang jatuh ditiup angin di pinggiran sungai.
Ya, musim gugur. Musim yang selalu menyisakan begitu banyak cerita bagi saya. Musim gugur sekarang, tahun depan, selalu dan selalu musim gugur. Setiap musim gugur, selalu punya cerita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H