Aku menerima berkas yang berisi tiga lembar kertas dari tangan Anqi yang tersenyum manis. Kemudian kembali ia sibuk dengan deretan map bertumpuk milik penerima beasiswa dan sedang mendaftarkan ulang hari ini. Aku menatap lembar-lembar kertas itu dengan seksama, berharap ada kesalahan dan bisa kembali di waktu itu juga. Aku harus ke fakultas hari ini juga. Harus. Maria, juniorku dari kampus di Aceh juga harus mendaftar ulang besok. Aku sudah berjanji dan merasa berkewajiban untuk mengantarkannya ke Baoding, salah satu kota di provinsi Hebei. Katanya satu jam perjalanan dari Beijing dengan kereta api lambat. Kalau sampai gagal mengantarnya ke sana, aku yang paling merasa bersalah.
Syukurlah, semua lengkap dan aku tak sabar untuk mengetuk ruang A103 di TV School. Di perjalanan, aku bertemu Ryan, kekasih teman sekamarku dari Amerika. Dia memudahkan langkahku untuk bertemu kepala jurusan. Setelah mengetuk dua kali, aku masuk dengan sambutan ramah lelaki muda, tampan dan bertubuh atletis.
Aku menebak, seharusnya lelaki ini yang bernama Zhou Kui, teman sekamarku sering menyebut-nyebut namanya. Katanya dia orang yang cukup baik,menolong dan cerdas. Aku juga berharap begitu. Di pertemuan dan obrolan santai kami, kami sudah mulai mengobrol akrab. Ya, beliau cukup ramah. Satu hal lagi, bahasa Inggris beliau cukup bagus untuk dipahami. Jauh dari bayanganku tentang bahasa Inggris orang Tiongkok yang kumur-kumur. Kami sempat mengobrol tentang kelas bahasa mandirin yang aku ambil selama setahun atau dua semester di kampus ini. Professor ini mengatakan, tidak buruk.
Kami membahas beberapa hal, termasuk keberadaan orang Indonesia di kampus ini. Khususnya di jurusan International Journalism & Communication. Aku adalah mahasiswa Indonesia pertama yang datang untuk menuntut ilmu di jurusan ini. Katanya, ada banyak proyek menanti. Dan aku hanya berharap, semoga apa yang mereka katakan benar.Â
"Kita bisa melakukan proyek penelitian untuk beberapa bidang. Tentu saja, kami akan melibatkan kamu" ujar professor ini semangat. Tentu saja, aku juga girang dengan segala bentuk ekspresi yang tak mampu aku ungkapkan dengan kata.
Dan hari itu adalah hari yang paling membahagiakan di bulan September 2014. Aku sudah terdaftar di sebagai mahasiswa master dan diajak bergabung dalam proyek. Sebenarnya aku juga tidak mengerti, proyek apa yang dimaksudkan oleh si bapak ini. Makna proyek itu terlalu luas, bahkan cenderung dinilai hanya pantas untuk digunakan oleh anak teknik saja. Ya, mungkin saja. Tapi kami juga menggunakannya sekarang. Buktinya, si bapak ini menyebut kata proyek berulang kali.
Kebahagiaan ini kuceritakan pada Maria, gege dan semua orang yang aku temui. Bahkan Jhennya yang mendengarku menatap dengan wajah heran dan datar. Seolah seorang Olivia sedang bercerita lucu yang tak seorang pun tertawa. Satu kata yang dia ucapkan, "So, do you think project is a good oppurtunity?" Aku hanya menatapnya tanpa berkedip. Lalu diam. Sekarang mengerti apa itu proyek. Project.
AKU menghabiskan waktu malamdi stasiun kereta api Baoding. Aku ketinggalan kereta dan harus mengambil kereta pertama dari Baoding ke Beijing. Sialnya para penumpang dari kota lain sudah menempati kursi yang aku miliki. Aku ngantuk, lelah dan benar-benar tidak bisa membuka mata lagi. Beijing menyambut di pagi hari, jam 4.30 pagi dan subway ke kampus baru dibuka pada jam enam pagi. Dalam lelahnya mata, bayanganku hanya kamar, ranjang dan selimut.
Jam 10 pagi ada orientasi anak baru. Dimana setiap mahasiswa baru dari berbagai negara akan datang dan saling memperkenalkan diri. Sementara aku tak bisa membuka mata ketika jam 10.30 sudah mengingatkan dengan suara alarm. Aku putuskan tidak datang ke ruang rapat, ditambah lagi aku tidak tahu di mana lokasinya berada.
Aku mengabari Prof. Kui tentang ketidakhadiranku. Entahlah, mungkin dia sedikit kecewa atau apapun namanya. Tapi aku yakin dia sangat bahagia dengan keberadaan lebih dari 20 mahasiswa di ruangan itu. Tiap orang memperkenalkan diri dari perwakilan negara yang berbeda. Sementara aku tersesat di antara kantuk yang tersisa.
Aku kembali ke kamar, duduk di dekat pintu dan menyalakan internetku. Jaringan CUC di kamarku sedikit payah. Kami memiliki routers, tapi tidak bekerja dengan baik. Ryan, aku ataupun Dene tidak mengerti bagaimana mengganti password. Akhirnya aku menyerah menggunakan routers. Untuk internet di ponsel, aku memilih duduk dekat-dekat pintu dan mendapat jaringan penuh. Aku lakukan setiap hari selama setahun sudah. Khususnya jika melakukan telepon melalui internet seperti Skype, video call via wechat dan aplikasi lainnya.