Mohon tunggu...
Ulfa Khairina
Ulfa Khairina Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Somewhere to learn something. Explore the world by writing. Visit my homepage www.oliverial.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

We Are the World [#1 Welcome to Our Group]

26 Juni 2016   07:24 Diperbarui: 26 Juni 2016   08:50 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku menerima berkas yang berisi tiga lembar kertas dari tangan Anqi yang tersenyum manis. Kemudian kembali ia sibuk dengan deretan map bertumpuk milik penerima beasiswa dan sedang mendaftarkan ulang hari ini. Aku menatap lembar-lembar kertas itu dengan seksama, berharap ada kesalahan dan bisa kembali di waktu itu juga. Aku harus ke fakultas hari ini juga. Harus. Maria, juniorku dari kampus di Aceh juga harus mendaftar ulang besok. Aku sudah berjanji dan merasa berkewajiban untuk mengantarkannya ke Baoding, salah satu kota di provinsi Hebei. Katanya satu jam perjalanan dari Beijing dengan kereta api lambat. Kalau sampai gagal mengantarnya ke sana, aku yang paling merasa bersalah.

Syukurlah, semua lengkap dan aku tak sabar untuk mengetuk ruang A103 di TV School. Di perjalanan, aku bertemu Ryan, kekasih teman sekamarku dari Amerika. Dia memudahkan langkahku untuk bertemu kepala jurusan. Setelah mengetuk dua kali, aku masuk dengan sambutan ramah lelaki muda, tampan dan bertubuh atletis.

Aku menebak, seharusnya lelaki ini yang bernama Zhou Kui, teman sekamarku sering menyebut-nyebut namanya. Katanya dia orang yang cukup baik,menolong dan cerdas. Aku juga berharap begitu. Di pertemuan dan obrolan santai kami, kami sudah mulai mengobrol akrab. Ya, beliau cukup ramah. Satu hal lagi, bahasa Inggris beliau cukup bagus untuk dipahami. Jauh dari bayanganku tentang bahasa Inggris orang Tiongkok yang kumur-kumur. Kami sempat mengobrol tentang kelas bahasa mandirin yang aku ambil selama setahun atau dua semester di kampus ini. Professor ini mengatakan, tidak buruk.

Kami membahas beberapa hal, termasuk keberadaan orang Indonesia di kampus ini. Khususnya di jurusan International Journalism & Communication. Aku adalah mahasiswa Indonesia pertama yang datang untuk menuntut ilmu di jurusan ini. Katanya, ada banyak proyek menanti. Dan aku hanya berharap, semoga apa yang mereka katakan benar. 

"Kita bisa melakukan proyek penelitian untuk beberapa bidang. Tentu saja, kami akan melibatkan kamu" ujar professor ini semangat. Tentu saja, aku juga girang dengan segala bentuk ekspresi yang tak mampu aku ungkapkan dengan kata.

Dan hari itu adalah hari yang paling membahagiakan di bulan September 2014. Aku sudah terdaftar di sebagai mahasiswa master dan diajak bergabung dalam proyek. Sebenarnya aku juga tidak mengerti, proyek apa yang dimaksudkan oleh si bapak ini. Makna proyek itu terlalu luas, bahkan cenderung dinilai hanya pantas untuk digunakan oleh anak teknik saja. Ya, mungkin saja. Tapi kami juga menggunakannya sekarang. Buktinya, si bapak ini menyebut kata proyek berulang kali.

Kebahagiaan ini kuceritakan pada Maria, gege dan semua orang yang aku temui. Bahkan Jhennya yang mendengarku menatap dengan wajah heran dan datar. Seolah seorang Olivia sedang bercerita lucu yang tak seorang pun tertawa. Satu kata yang dia ucapkan, "So, do you think project is a good oppurtunity?" Aku hanya menatapnya tanpa berkedip. Lalu diam. Sekarang mengerti apa itu proyek. Project.

AKU menghabiskan waktu malamdi stasiun kereta api Baoding. Aku ketinggalan kereta dan harus mengambil kereta pertama dari Baoding ke Beijing. Sialnya para penumpang dari kota lain sudah menempati kursi yang aku miliki. Aku ngantuk, lelah dan benar-benar tidak bisa membuka mata lagi. Beijing menyambut di pagi hari, jam 4.30 pagi dan subway ke kampus baru dibuka pada jam enam pagi. Dalam lelahnya mata, bayanganku hanya kamar, ranjang dan selimut.

Jam 10 pagi ada orientasi anak baru. Dimana setiap mahasiswa baru dari berbagai negara akan datang dan saling memperkenalkan diri. Sementara aku tak bisa membuka mata ketika jam 10.30 sudah mengingatkan dengan suara alarm. Aku putuskan tidak datang ke ruang rapat, ditambah lagi aku tidak tahu di mana lokasinya berada.

Aku mengabari Prof. Kui tentang ketidakhadiranku. Entahlah, mungkin dia sedikit kecewa atau apapun namanya. Tapi aku yakin dia sangat bahagia dengan keberadaan lebih dari 20 mahasiswa di ruangan itu. Tiap orang memperkenalkan diri dari perwakilan negara yang berbeda. Sementara aku tersesat di antara kantuk yang tersisa.

Aku kembali ke kamar, duduk di dekat pintu dan menyalakan internetku. Jaringan CUC di kamarku sedikit payah. Kami memiliki routers, tapi tidak bekerja dengan baik. Ryan, aku ataupun Dene tidak mengerti bagaimana mengganti password. Akhirnya aku menyerah menggunakan routers. Untuk internet di ponsel, aku memilih duduk dekat-dekat pintu dan mendapat jaringan penuh. Aku lakukan setiap hari selama setahun sudah. Khususnya jika melakukan telepon melalui internet seperti Skype, video call via wechat dan aplikasi lainnya.

Wechat. Ya, aplikasi ini sejenis whatApps dan Line. Warnanya juga sama-sama hijau. Fiturnya saja yang lebih menarik untuk privasi, karena tidak memberi tanda apa-apa soal pesan sudah dibaca atau belum. Semua orang yang sudah melangkah ke China untuk jangka menetap baik secara permanen atau sementara tentu memiliki aplikasi ini di ponselnya. Sejenis aplikasi wajib tanpa perintah untuk tiap warga. Di sisi lain, Line juga sudah diblokir bersama beberapa sosial media lain yang banyak digunakan.

Hal yang pertama aku buka adalah membuka dan membaca obrolan di grup IJC2014. Begitu banyaknya obrolan dan kosa kata baru yang aku dapatkan Mereka tampaknya menggunakan bahasa Inggris yang sangat buku sekali. Professor Kui mengepos banyak foto tentang orientasi hari ini. Tidak ada wajahku di sana. Aku juga tidak menyesal. Tidak peduli.

Beberapa menit kemudian, banyak permintaan teman yang masuk. Umumnya mereka menambah permintaan pertemanan dari grup chat. Di hari kedua semester baru, aku sudah berkenalan dengan Salim dari Sierra Leon, Saleh dari Palestina, Amanuel dari Eritrea, dan Arshad dari Pakistan. Beberapa perempuan juga menghubungiku, tapi bukan teman sekelasku. Kupikir, kehidupan master yang aku takutkan tidak menyenangkan tidak akan seburuk yang aku bayangkan.

MINGGU PERTAMA KULIAH dimulai pada hari Senin. Tapi kelasku dimulai pada hari Selasa. Kelas dimulai jam setengah dua siang. Waktu paling tidak produktif bagi otak,setidaknya begitu menurutku. Tapi tak mengapa. Mungkin ini salah satu cara terbaik untuk beradaptasi. Kelas pertama di bawah asuhan professor Kui di gedung nomor satu. 

Gedung ini terbilang unik, seperti khas-nya kampus-kampus di China, selalu ada pahatan tokoh di halamannya. Apakah itu konfusius, Mao Ze Dong atau penderi sekolah tersebut. Di depan gedung ini ada patung konfusius yang berdiri di bawah terik panas, hujan dan segala musim. Ada taman dengan pepohonan yang tinggi di sana. Tempat para mahasiswa dan orang tua menghabiskan waktu sekedar melepas lelah. Para warga sekitar yang menari di malam musim panas. Beraneka aktivitas lainnya.

Sepertinya aku merasa memulai kelas master adalah hal terberat dalam hidupku. Aku terlambat ke kelas dan harus naik tangga sebanyak empat lantai ke ruang kuliah. Bagi sebagian orang mengatakan, empat lantai tidaklah sulit. Tangga kampus di Tiongkok cukup berbeda. Empat lantai berasa delapan lantai. Karena datu lantai dibuat dua kali naik tangga. Hajab anak muda.

Diperjalanan aku bertemu Amani, lelaki asal Eritrea yang juga datang ke kelas terlambat. Ketika membuka pintu, professor Kui sedang berbicara. Aku dan Aani duduk di saf kursi yang sama. Lalu mendengar ceramah tentang Convergent Journalistic. Oh, Tuhan.... Apa yang beliau bicarakan. Aku benar-benar tidak mengerti. 

Tak bisa kubayangkan kalau saat ini aku kuliah di Inggris. Sepertinya aku akan mati tolol di sini.

BEL ISTIRAHAT BERDERING, diikuti oleh suara wanita dengan musik mengerikan seperti di film horor 'The Ring'. Aku  duduk tidak berpindah, berasa asing dengan suasana. Harusnya aku abaikan rasa kantuk dan datang ke kelas di hari rapat lalu. Jadi aku bisa berkenalan satu sama lain. Tidak terlihat pilon seperti ini. Kutarik napas dalam-dalam.

"Hi, I am Kao from USA. Who is your name again?" Sebuah sapaan ramah perempuan berwajah Asia, tidak benar-benar seperti tionghoa, tapi sulit dijelaskan dari negara mana.

Aku tersenyum,"Olivia"

"I am Deny" seorang perempuan cantik berambut lurus dengan gaya seperti perempuandi drama Korea datang mendekat. Dalam sekejap beberapa perempuan di kelas sudah mengelilingiku. "I am from Cambodia"

Dalam sehari, aku sudah mengenal beberapa orang di kelas. Bahkan orang-orang yang melakukan chatting denganku datang menyapa dan memperkenalkan diri. Wajah asli mereka dan di foto benar-benar berbeda. Luar biasa kekuatan aplikasi editing. Sungguh.

KELAS MULAI BERJALAN asyikdi minggu pertama. Meskipun kami mahasiswa master, tapi pertemanan kami seperti anak-anak S1. Pulang kampus selalu bergerombol. Sepanjang perjalanan dari kampus ke asrama dipenuhi canda tawa dan rayuan maut para lelaki Afrika tertahadap perempuan Asia. "My sweet Olivia, you are so beautiful" itulah serangan yang selalu diucapkan oleh Amani, lelaki kelahiran tahun 1980 asal Eritrea.

"Rizu, katakan sesuatu" kataku pada perempuan Afrika aal Cape Verde yang tidak benar-benar terlihat orang Afrika. Dia lebih seperti perempuan Timor berkulit terang.

"My english is not good" katanya singkat sambil tertawa pelan.

Aku tidak berkomentar apa-apa ketika yang lain mulai memberikannya masukan. Bagaimana denganku? Aku bahkan tidak pernah mengecap pendidikan di kursus bahasa Inggris. Bahasa Inggrisku bermodal dari pelajaran di kelas. Soal grammar? Jangan tanya. Hancur sudah. Tapi itulah alasan aku di sini, bukan? Untuk belajar.

"Olivia, jadi kau sudah pernah tinggal di Beijing sebelumnya?" Amani mengalihkan obrolan kembali tertuju padaku. Aku sudah pernah bercerita padanya soal ini. Sepertinya dia sangat tertarik untuk mendengar kisah Beijinger-ku.

"Ya, begitulah. Aku belajar bahasa mandarin di sini" dan mengalirlah ceritaku tentang kampus ini. Para pendengar setiaku dengan tenang mendengarkan. Inilah awal sebuah kisah aku masuk dalam grup bernama IJC2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun