Ruang Sidang Fak. Televisi-Beijing, 27 Mei 2016
Ayah, semalam aku tak bisa tidur. Jantungku berdegup kencang sejak kemarin. Ketika semua orang sibuk dengan latihan mempersiapkan presentasi sidang mereka, aku berjalan di Dawanglu hingga menjelang malam. Menikmati kerlipan kota Beijing yang bersolek dengan brand kelas atas. Aku menikmatinya. Aku tak ingin situasi kampus mempengaruhiku dalam menghadapi ujian.Â
Ingatkah, ayah? Ayah pernah bercerita, seorang teman yang pernah menjadi guru Bahasa Arab di aliyah dulu punya cara unik menghadapi ujian. Beliau tak belajar, beliau membaca buku cerita sampai hari ujian tiba. Ayah, aku melakukan hal yang sama. Mungkin ayah tak pernah tahu, aku berpura-pura belajar untuk menghindari teguran ayah terhadap kebiasaanku baca novel dan komik. Atau diam-diam menggambar di saat ujian. Aku selalu menyembunyikan novel atau majalah di balik buku pelajaran. Agar tidak ketahuan, tidak kena marah. Waktu berlalu, aku bukan siswa umur belasan yang diawasi saat belajar. Aku mahasiwa master yang sedang studi di luar negeri. Aku di sini, aku di antara para profesional muda, para orang-orang cerdas yang menjadi ambasador belahan bumi. Aku tak perlu takut pengawasan ayah. Aku tahu caranya belajar dengan caraku sendiri.Â
Ayah harus tahu, kota Beijing malam hari seperti mewakili para penghuninya. Sibuk dan menyebalkan disiang hari, lincah dan liar di malam hari. Dandananya elok berwarna-warni. Cerminan kelas atas yang senantiasa memamerkan kelihaian para desainer ternama dunia. Ayah, aku mendapatkan diriku di sini. Saat berjalan di antara para produk bermerek yang dipajang di etalase-etalase gemerlap. Suatu saat mungkin aku punya kesempatan melihat benda-benda yang terpajang atas namaku. Mungkin suatu saat.
Tahukah ayah? Gedung-gedung tinggi di Dawanglu seperti pohon pohon-pohon jeruk yang menjulang ke langit. Di siang hari tertutup polusi, di malam hari berkilau cahaya. Ya, aku berjalan dan menikmati segelas Gong Cha sambil bercerita dengan karibku asal Kamboja. Ayah, aku tak bisa menahan gejolak di dalam dada. Ingin rasanya berjalan menelusuri kota ini denganmu. Lalu ayah menjelaskan semuanya tanpa harus aku bertanya. Ya, ayah selalu melakukan itu ketika kita berjalan menyusuri kota Takengon saat aku kecil. Menunjuk segala hal yang tak kutahu dan tak ingin aku tahu.Â
Hari ini, aku mendapat giliran pertama untuk mempertahankan tesisku. Profesor Cao, ia adalah satu-satunya orang yang bisa membuatku tenang dalam segala situasi. Ia bukan saja seorang profesor yang cerdas, ia sahabat terbaik, motivator yang menyenangkan. Ayah sudah tahu bukan, ia selalu mengajakku minum kopi. Sejak mengenalnya, aku belajar minum kopi.
Ya, terdengar aneh. Aku besar di keluarga petani kopi, tapi tidak pernah bisa minum kopi. Bahkan tidak tahu caranya minum kopi. Apalagi membedakan kopi-kopi. Aneh, memang aneh. Ayah bilang, "Itu tidak aneh" dan satu-satunya waktu untuk meneguk kopi adalah ketika membuatkan segelas kopi untukmu. Aku masih ingat terakhir kali membuatkanmu kopi, sebulan sebelum kebarangkatan pertama ke Beijing. Saat itu ayah berkata, "Buatkan ayah kopi. Sedikit saja kopinya." Aku tahu, itu bukan kopi favorit ayah. Rasanya pun aneh. Satu sendok makan kopi bubuk hitam dengan gula satu setengah sendok makan di gelas kecil, diseduh dengan air mendidih. Itulah kopi favorit ayah. Tapi ayah memintaku membuatkankopi dengan cara berbeda. Setengah sendok teh kopi bubuk hitam dan satu sendok makan gula.
Sebegitu inginkah ayah menikmati kopi terakhir buatanku?
Pagi ini, aku bangun pagi dari dua jam tidur malam yang kupaksakan. Bantalku basah. Aku menangis semalaman. Bukan takut sidang tesis dalam bahasa Inggris. Aku merindukanmu sangat dalam, aku ingin nasehatmu sebelum maju ke meja sidang. Bahkan aku berbicara sendiri. Jika gadis Korea itu mendengar, melihat dan berada di kamar malam itu. Aku yakin dia berpikir aku mengalami depresi berat. Aku terus memanggilmu, "Ayah... ayah..."
Ya, aku sungguh cengeng saat dirimu diam-diam pergi. Aku seperti balita tiga tahun yang tak bisa lepas dari ayahnya.
Aku sama sekali tidak berlatih, tidak konsentrasi. Tidak bisa melakukan apapun. Senyuman dan acungan jempol profesor Cao dan Profesor Yu yang bertindak sebagai penguji tidak menenangkanku hatiku. Aku maju dengan santai ke depan kelas, mengucapkan selamat pagi, ucapan terimakasih atas kehadiran mereka dan mulai berbicara. Ayah,aku tidak tahu harus memulai dari mana. Aku harus berbicara dengan bahasa yang pilihan katanya saja membingungkan. Lagi, aku ingat kalimatmu, "Kamu yang tahu dimana kelemahanmu. Jangan tunjukkan itu, tutupi itu. Jika mereka menemukan kelemahanmu, jangan malu mengakui."