Ketika tiba waktunya Saya presentasi, Saya berusaha tegar di depan kelas. Teman-teman sekelas ada yang cuek, ada yang kagum. Perhatian yang diberikan oleh teman-teman sekelas juga menjadi penentu penilaian. Saya mulai tidak tenang ketika masuk ke sesi penjelasan Banda Aceh. Apalagi saat gambar masjid Raya, beberapa teman yang sama sekali tidak beragama langsung merebahkan kepala di atas meja.
Tiba-tiba saja seorang mahasiswa Turki yang seorang Muslim berteriak, “Teman-teman inilah yang namanya masjid. Kalian harus tahu, masjid ini dulu istana”
Semua menatap malas dan kembali memperhatikan gambar demi gambar yang terlewat di slide. Beberapa orang berkomentar dengan bahasa nasional negara masing-masing-masing. Strategi terakhir Saya memutar tayangan tsunami Aceh. Perhatian mahasiswa tercuri. Mereka tercengang, melongo. Kelas menjadi milik Saya.
Berbagai macam pertanyaan diajukan pada Saya. Semua tentang tsunami. Karena tidak siap dengan kondisi ini, saya mencampurkan antara bahasa mandarin dan Inggris. Waktu 15 menit yang diberikan tidak cukup, tanpa kesepakatan saya sudah menyita sebanyak 36 menit presentasi.
Tsunami tidak melanda Aceh saja. Thailand dan Srilanka juga mendapat dampak dari tsunami ini. Sehingga mereka yang berasal dari dua negara ini juga ikut membantu Saya menjelaskan tentang tsunami.
Usai kelas, seperti biasa Saya tidak keluar dari kelas. Banyak yang datang ke bangku saya secara pribadi. Mereka bertanya segala hal tentang tsunami. Mulai dari kapan terjadi, berapa jumlah korban sampai apakah ada dari pihak keluarga yang menjadi korban.
Dari sini Saya baru tahu, ternyata tidak banyak generasi muda yang mengetahui soal tsunami. Padahal tsunami Aceh adalah bencana internasional yang tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Aceh saja.
Biasanya kalau orang bertanya asal Saya di Indonesia, Saya akan menjawab “Banda Aceh. Kota yang terkena tsunami” orang akan mengangguk-angguk mengerti. Ternyata tidak semua.
Seperti di awal kedatangan Saya di Beijing. Seorang perempuan asal India bernama Manisha bertanya ramah. Saat menyebut Banda Aceh, wajahnya langsung menegang dan berkata, “Oh my god! Tsunami? Kau tahu Aku tidak berani ke laut gara-gara tsunami Aceh yang berdampak juga di negara lain. Do you know? I love swimming. I love beach! Tapi setelah itu Aku tidak ke laut bertahun-tahun lamanya.”
Manisha tidak terkena dampak tsunami secara langsung. Dia hanya melihat kejadian itu di TV. Dan ini memberi efek trauma juga buat dia.*