Mohon tunggu...
Uleng Tepu
Uleng Tepu Mohon Tunggu... -

Terdiam

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sejumput Rindu Pada Hujan

12 Agustus 2011   14:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:51 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

/1/

Senja, pada sebuah taman. Hujan jatuh pada telapak tangan kita. Sela jemari kita rapatkan, seolah tak ikhlas serpihan jarum langit itu segera ditampah oleh bumi. Namun, tetap ada ruang tempatnya menyelinap, segera melepas kerinduan pada mula segala berasal. Ia jatuh, sebagian melenting, lalu rebah. Dua pasang bola mata kita menatap tanpa berkedip. Bahasa kita, diam. Ada yang pelan-pelan menyelinap pada lobus-lobus hati. Kita terpasung pada mesmerisme senja yang melankolik.

/2/

Embun belum berhenti jatuh sedari pagi, kala baris-baris kalimatmu terbaca lensaku yang minus dua. Di luaran, langit pun belum berhenti berbagi air mata. Siluetmu terbayang, dengan sebuah payung di tangan mengajakku bermain hujan. Marilah kita memetik kuntum-kuntum hujan, menyematkannya pada sela anak-anak rambut kita, hingga kepala kita penuh bunga hujan, menebar wangi langit.

/3/

Almanak tanggal satu-satu, mengantar pada penghujung Juli. Hujan mengemasi langkah pelan-pelan. Tak lagi riuh tariannya mengetuk seng-seng rumah. Tempiasnya tak lagi menyapa saat aku duduk di beranda. Ia jatuh begitu laun, seolah memberi waktu pada ingatan untuk mengumpulkan segala kenang. Telah kumasukkan ingatanku dalam keranjang, sebelum angin kemarau mencecerkannya sepanjang jalan lupa. Di beranda lain, engkaupun memilah kenangan yang kau miliki bersama hujan. Menatanya dalam buket-buket agar tak berserak. Suatu waktu, kita akan saling bertukar cerita tentang riuh di dada saat menyaksikan lambaian perpisahan anak-anak langit.

/4/

Aku tahu kau mencintai hujan. Maka kutitipkan rapalan do’a-do’a pada segala zat cair yang kujumpai. Kutahu, kesemuanya akan berputar-putar lama diantara gumpalan awan sebelum jatuh menemuimu di balik kaca jendela kamarmu. Saat kau pandangi alur-alur pada bening kaca jendelamu, seketika itu pula dedo’a yang kutitipkan kuharap mampu merengkuhmu. Menyampaikan kalam rindu dalam riciknya yang ritmis.

/5/

Pada desau angin kemarau yang pelan-pelan mengetuk, kusampirkan sekelumit rindu di pundaknya. Agar kelak saat ia beranjak, rindu itu disampaikannya pada angin basah penghujan saat mereka bertemu di persimpangan musim. Lalu kita kembali akan merapatkan jemari, kala hujan jatuh dalam rupa mahkota bunga.

.

.

.

Untuknya yang mencintai hujan

Gambar dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun