Mohon tunggu...
Uleng Tepu
Uleng Tepu Mohon Tunggu... -

Terdiam

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[MPK] Kuntum-Kuntum Bening

11 Juni 2011   12:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:37 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

: Kepadamu yang setia memandangi jubah kelabu tempat sembunyiku…

Telah lama kuperhatikan dirimu yang senantiasa menanti hadirku.Pijar bola matamu saat melihat jubahku dari kejauhan adalah isyarat bagiku untuk segera menemuimu. Sekiranya kita mampu bertemu, tentu saja telah kubisikkan banyak kisah padamu. Namun kali ini biarkan sahabat sejatiku yang bercerita, berbisik pelan-pelan sambil mempermainkan anak-anak rambutmu. Ia banyak tahu tentangku, pun aku telah berbagi padanya.

***

Mulaku dalam rupa barisan kristal dari putih buih samudra yang menapaki tangga kapas-kapas udara biru. Meluluh bersama gemuruh, menjadi selendang bening yang menyapa sejuk gunung. Sebagian menghening telaga cermin pendar cakra keemasan, sebagian berkelompok bernyanyi dengan bebatuan menggulung selaksa oksigen menggapai kehidupan sejumlah tebaran akar. Akupun tak jemu bercengkrama dengan setiap lapis kedalaman lalu meruah ke celah-celah litosfer. Seluruhnya aku menjelma menjadi setiap bentuk yang kusinggahi, kujelajahi, lalu menyatu pada lingkar rantai nitrogen memeluk setiap nafas mahluk yang ada.

Kemudian pada tanah-tanah yang rekah serupa kelopak mawar kurebahkan diriku. Menyelusup, mencari sela di mana partikel-pertikelku bisa menyatu dan merekatkan kembali pelukan bebutir coklat yang berserak, lalu menguarkan aroma rindu yang mendamaikan hati. Aroma yang menjadi penanda orkestra para katak tak lama lagi dimulai.

Riang tawa dari hewan dua alam itu seolah penanda bahagia bersatunya bebutir tanah yang telah dipisah kerontang. Dan akupun turut meresapi bahagia itu, bahagia karena telah mempertemukan kembali yang tersekat serupa bertemunya dua hati yang terpasung jarak.

Kadang kala aku menyembunyikan rona senja dalam tarianku yang menyapa rimbun dedaun hijau. Bergelayut manja dan meluruhkan segala debu yang menyesakkan stomata mereka. Kemudian jatuh mengelopak dalam pelukan bumi yang selalu siap menerima serpihan tubuhku dengan penuh kasih.

Tahukah kau jikalau bergelantungan dari kelopak ke kelopak adalah permainan yang begitu kugemari. Menggelitik jemari mungil reranting yang menengadah. Berputar pada dahan dan cabang sebelum diam-diam menyelinap diantara bulu akar, menyusuri aliran-aliran pembuluh, membawa pati fotosintesis yang kelak akan menjadi buah ranum nan menggiurkan mata kanak-kanak.

Pendar kejora di mata bulat mereka adalah tabuhan riang bagiku saat aku harus terlepas dari helai-helai daun dalam rupa yang tak lagi nampak oleh mata. Melayang ringan.

Angin barat setia meniupku melanglang induk muara bersama bulan biru, melepas tirai menyapu bintang biduk. Kapal-kapal nelayan memeluk tepian dermaga, tiangnya berayun hingga berkelok kemayu. Lepas sudah ruahku pada penghujung hari menjelang baru, memeluk bukit dan gunung, menggenang bening sebuah telaga. Di saat itu, aku melihat anak menjangan mencari lepas dahaga, kaki kecilnya riang menari menghampiri. Tampak lembayung fajar sudah menanti dengan cerah harapan bagai gerak roda pedati.

Keriangan paling nyala kala anak-anak kecil menyambutku sembari bermain dengan daun pisang. Mereka membuat payung sambil tertawa-tawa, angin meniup seruling berlagu tentang suka cita.

Sekelompok hewan berteduh di lebat hijau, bulunya merengkuk memeluk hangat. Bias-bias cahaya yang mulai temaram sesekali memantul pada tapak pematang, kemuning padi bulirnya merebah mesra meliuk merenda asri. Burung branjangan kini terbang tinggi, menanda hari senja yang menepi.

Setelah bertukar rupa beribu kali dalam hambatan udara, kubiarkan diriku istirah pada kepala-kepala yang serupa ladang, lesap dalam pori-pori atau kembali terbang usai berselancar pada helai rambut yang beraneka warna. Tak jarang kudengarkan keluhan akan kepala mereka yang berdenyut usai bersentuhan denganku. Ada sebagian lain pula yang membiarkan sekujur tubuhnya kuyup oleh titik-titikku. Manusia-manusia itu membenciku dalam rindu atau merinduku dalam benci, entah.

Kesedihan pun kadang menyapaku saat menyadari butiran beningku telah bercampur unsur kimia yang membuat namaku bertambah kata, asam.Rasanya ingin menahan laju tubuhku agar tak menerpa rerumputan dan tetumbuhan, sebab aku bisa mendengar rintihan mereka yang menampah tubuhku. Namun, aku tak bisa menolak suratan. Saat aku harus jatuh maka jatuhlah aku. Jumlah butiranku yang berlindung dalam rahim langit sama sekali tak mampu melawan angka sembilan koma delapan yang ditetapkan Newton. Dibutuhkan atau dibenci pun, telah menjadi jalanku untuk menyapih bumi dengan kuntum-kuntum beningku. Dan aku tahu, dirimu adalah salah satu yang selalu merindukan hadirku.

***

Kepadamu yang setia menunggu hadirku dibalik jubah kelabu, telah kau dengarkan sebagian kisahku dari hembusan bayu. Maka tunggulah tibaku menerpa wajahmu, menyesapkan damai dalam hatimu.

>> Kolaborasi Granito ft. Uleng Tepu (Nomor 45)

>> Untuk membaca hasil karya peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain, silakan mengunjungi Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi

Image source : devianart.com

Music from here

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun