Mungkinkah bila kubertanya
Pada bintang-bintang
Dan bila kumulai merasa
Bahasa kesunyian…
Nyanyian itu melintas di telingaku. Tiga orang pengamen cilik mengerumuni sebuah sedan berwarna hitam. Kamera Canon EOS 1000D milik kakakku segera mengambil momen itu. Hem, lumayan untuk amatiran sepertiku.
Senin ini sengaja kutinggalkan kuliahku, toh hanya diisi dengan praktikum menggambar morfologi dedaunan. Praktikum yang membosankan buatku sebab di darahku sama sekali tidak mengalir bakat menggoreskan pensil untuk membentuk sebuah model apa pun.Keahlianku hanya membuat garis lurus. Maka sempurnalah alasanku menitipkan laporan praktikumku pada temanku, dengan syarat laporan itu sudah penuh sketsa dedaunan saat tiba di tanganku.
Berbekal sebuah kamera pinjaman, kuarahkan laju motorku ke bawah flyover yang baru beres dibangun dua tahun silam. Targetku ingin mengambil gambar anak-anak yang bandelnya sama denganku, bolos sekolah, atau mungkin sama sekali tidak sampai ke sekolah. Sekedar survey kecil-kecilan apakah ada pengaruh antara hari dan tingkat kebolosan anak sekolah, sebuah ide ngawur dari otakku yang jenuh dengan aktivitas perkuliahan.
Usai numpang parkir di halaman gedung KPPN, mataku pun sigap memperhatikan situasi sekitar flyover. Kamera yang tergantung di dada mungkin membuat orang-orang sekitar berpikir kalau aku itu seorang wartawan, padahal aku hanya seorang mahasiswa semester lima yang sedang kram otak dan butuh menjauh sedikit dari aroma buku. Jeprat-jepret sana-sini pun mulai kulakukan. Sebagai pemanasan, dimulai denganlampu lalu lintas yang sedang menyala merah, kemudian beralih ke penjual koran yang menawarkan dagangannya dari mobil ke mobil, ada juga penjual makanan atau mainan anak-anak, hingga akhirnya kameraku mulai spesifik mencari targetku.
Target pertama adalah sekumpulan siswa berseragam putih abu-abu yang asyik nongkrong di warung kecil pinggir jalan padahal jam pulang sekolah masih empat jam lagi. Bukan hanya nongkrong, batang rokok pun terselip di antara jemari mereka. Sementara tawa tak henti hadir dari bibir mereka, entah obrolan apa yang begitu asyik mereka bicarakan. Mungkin saja mereka membahas konser Justin Bieber yang masih menyisakan kehebohan, kemenangan Arsenal atau bahkan ciuman Kate-William, yang jelas wajah riang mereka terpatrikan abadi oleh lensa kameraku.
Target kedua pasangan yang sedang berboncengan di atas motor. Kebetulan nyala lampu lalu lintas sedang merah, sehingga pose tubuh mereka yang saling merapat mudah terabadikan. Di sekolah mereka yang entah SMA apa, teman-teman sekelasnya pastilah sedang terkantuk-kantuk mendengarkan ceramah sang guru atau tekun mengerjakan latihan matematika dan sains yang begitu menguras otak. Di sini, di bawah flyover mataku mengamati bagaimana aura cinta monyet berputar di sekeliling mereka.
Selanjutnya jepretan kameraku beralih ke kumpulan pengamen cilik yang sibuk menghitung penghasilan mereka setelah menjual suara manakala lampu lalu lintas menghentikan laju kendaraan. Begitu kontradiktif dengan mereka yang tadi menjadi modelku. Satu sibuk menghabiskan waktu percuma tanpa mempedulikan keringat orang tua mereka yang menjelma dalam lembar-lembar pembayaran SPP, satu lagi sibuk mengumpulkan recehan demi recehan agar bisa bertahan hidup. Hati lelakiku nyeri tiba-tiba, menemukan sosokku ada bersama kumpulan putih abu-abu itu. Bolos kuliah demi jeprat-jepret yang di kepala orang tuaku pastilah tak ada hubungannya sama sekali dengan mata kuliahku.
Mulutku tiba-tiba asam, sebatang rokok kuharapkan bisa menetralisirnya, kakiku pun mengarah ke warung rokok sasaran kameraku tadi.
“Ga sekolah, dek?” tanyaku basa-basi usai membakar sebatang rokok dan menjepitnya diantara dua bibirku.
“Ga, kak.” Jawab salah satu dari mereka.
“Libur?”
“Tidak.”
“Trus?”
“Malas.”
“Heh? Kok?”
“Iya lah, kak. Sumpek di sekolahan. Ketemu guru yang hobinya ceramah. Banyak tugas pula. Tiada hari tanpa tugas, kepala mau pecah. Mending nongkrong kaya gini, hepi-hepi. Ya nggak, fren?”
“Yoi…”sahut kawannya serempak.
“Memangnya kalian sekarang kelas berapa?" kali ini kuputuskan duduk bersama mereka. Otot kakiku mulai lelah berdiri sedari tadi.
“Kelas dua.”
“Sebentar lagi semesteran, kan? Trus kelas tiga. Ujian nasional. Ga takut ga lulus nantinya kalo keseringan bolos?”
“Ga bakal ga lulus, Kak. Pasti lulus.”
“Kok bisa? Pemalas dan tukang bolos kaya kalian bisa lulus?”
“Buktinya kaya gitu. Kakak kelas kita aja yang nakalnya amit-amit bahkan pernah berantem sama guru, bisa lulus. Apalagi kita yang cuma bolos sesekali.”
“Sekolah kita bakal malu lah kalo ada siswanya yang ga lulus. Bisa kurang siswa yang masuk, makanya yakin saja kita pasti lulus..hehehe…”
Ada godam yang membentur di dadaku. Dulu waktu aku seusia mereka, kenakalanku boleh dibilang sedikit amit-amit. Dari bolos sampai menggoda guru perempuan yang cantik. Tapi memiliki keyakinan lulus seratus persen seperti mereka, tidak pernah terlintas sekalipun sebab tak ada maaf bagi siswa yang memang tidak pantas lulus. Maka perubahan pola belajar pun kulakukan saat menginjak kelas tiga, dan hasilnya aku lulus dengan nilai cukup memuaskan. Namun kini? Ah, kepalaku mulai jengah mendengarkan cekikikan tawa mereka. Kali ini kakiku kubawa mendekati seorang pengamen cilik yang sibuk menekuri buku lusuh di hadapannya.
“Ngapain, Dek?”
“Baca, Kak. Sebentar kan mau ujian.”
“Lho? Kamu sekolah ya? Kelas berapa?”
“Iya.Kelas lima, Kak.” Jawab anak itu sambil memamerkan giginya yang kekuningan.
“Sekolahnya masuk jam berapa?”
“Jam satu. Makanya kalo pagi ngamen dulu di sini. Ngumpulin uang buat beliin adik seragam. Kan tahun ini masuk kelas satu.”
“Bukannya sekolah sekarang gratis, Dek?”
“Hehe..iya, Kak. Tapi seragam sekolah ga gratis, harus beli sendiri.”
“….”
“Eh, kakak wartawan ya? Punya kamera di dada.”
“Bukan. Saya cuma iseng moto-moto. Kenapa? Mau jadi wartawan ya?”
“Iya. Sepertinya jadi wartawan hebat, bisa kemana-mana gratis.” Ucapnya dengan mata berbinar.
“Iya, tapi bisa mati juga kalo dikirim ke tempat yang sedang perang.” Ingatanku melayang ke kakakku, sang pemilik kamera, yang harus kehilangan kaki kirinya saat ditugaskan meliput kerusuhan di Poso.
“Eh..kok kamu ga ngamen lagi?” tanyaku setelah tiga kali lampu merah tapi ia tetap tak beranjak dari duduknya.
“Gantian sama teman, Kak. Tuh di sana…” telunjuknya mengarah ke seorang anak yang badannya lebih besar darinya.
“Dia tahu kalo saya mau ujian, makanya disuruh belajar. Dia itu tetangga saya, anaknya pintar, tapi tidak bisa nerusin ke SMP.”
“Kenapa?”
“Katanya biaya masuknya mahal. Satu juta lebih.”
Hela nafasku berat mendengar kalimat itu. Satu juta, nominal yang menghalangi seorang anak yang pintar meneruskan sekolahnya, meraih mimpinya, dan memaksanya menjadi pengamen. Satu juta, nominal yang sedikit oleh mereka, anak-anak gedongan yang doyan main ke mall-mall. Bahkan mungkin alas kaki mereka saja ada yang mendekati jumlah itu. Satu juta, nominal yang rela mereka keluarkan demi menonton konser pemuda seusia mereka, larut dalam euforia tak bermakna.
Dari jauh terdengar anak itu memamerkan suaranya yang mungkin saja kalah oleh kaca hitam mobil di hadapannya.
Biarlah ku bertanya
Pada bintang-bintang
Tentang arti kita
Dalam mimpi yang sempurna
Yah, mungkin saja lirik lagu itu mewakili perasaannya yang menanyakan arti dirinya dan teman-temannya yang lain. Tentang mereka yang memiliki mimpi sempurna untuk mengecap pendidikan setara dengan anak-anak yang lain. Mimpi mereka yang terpaksa menyerpih menjadi tak sempurna.
======================
>> Selamat Hari Pendidikan Nasional
>> Belajar lagi menulis cerpen setelah sekian lama istirahat. Kalau acak kadut, harap maklum… ^_^
>> Tulisan dalam rangka memperingati Hardiknas bisa juga dibaca di sini
>> Image source
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H