Mohon tunggu...
Ulan Hernawan
Ulan Hernawan Mohon Tunggu... Guru - I'm a teacher, a softball player..

Mari berbagi ilmu. Ayo, menginspirasi!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nilai Budaya Lokal (Jawa) yang Sering Diabaikan "Netizen" dalam Media Sosial

7 November 2017   09:22 Diperbarui: 8 November 2017   09:20 5780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[Ilustrasi gambar : dream.co.id]

Di era global ini sedang terjadi proses "penyesuaian diri" pada kehidupan masyarakat luas dalam kaitannya dengan upaya menghadapi masa depan. Masyarakat (Jawa) yang telah memiliki budaya tinggi dan menjadi sumber bagi upaya menghadapi hidup tempo dulu (konvensional), kini mulai mengalami perubahan dengan masuknya budaya modern (online).

Tantangannya bagi generasi milenial saat ini adalah memadukan nilai-nilai kearifan zaman dahulu ditengah arus modernitas sosio-kultural. Perkembangan teknologi dan media sosial adalah tangga menuju masa depan yang lebih arif dan bijaksana. Namun, "penyesuaian diri" ini ternyata jauh lebih berat dan bebas.

Intinya menurut saya, nilai-nilai kearifan budaya lokal vs kebebasan berekspresi dalam media sosial, perlu lebih diperhatikan.

Apabila anda orang (Jawa), atau memahami kultur masyarakat Jawa, maka setidaknya pernah mendengar nilai kearifan budaya Jawa seperti; becik ketitik ala ketara, jer basuki mawa bea, mikul dhuwur mendem jero, dsb. Itu adalah beberapa contoh nilai kearifan masyarakat Jawa yang ditanamkan sejak dini dan harus dipahami makna dan implementasinya.

Zaman sekarang, banyak orang Jawa (tidak menggeneralisasi semua) mulai melupakan, melanggar bahkan enggan belajar nilai-nilai tersebut. Terutama implementasinya dalam media sosial (facebook, whatsapp, line, twitter, instagram dan lain-lain). Padahal fungsi media sosial itu sama, hidup bermasyarakat di kehidupan nyata dan dunia maya adalah bersosialisasi. Tapi sekarang bukannya bersosialisasi yang positif, melainkan komentar-komentar pedas yang tak sesuai nilai-nilai masyarakat Jawa.

Berikut beberapa contoh nilai-nilai kearifan budaya Jawa yang terkadang diabaikan masyarakat media sosial atau warganet bahasa kerennya (netizen):

Ajining Dhiri Ana Lathi, Ajining Raga Ana Busana
Masyarakat Jawa sangat menekankan pentingnya etika atau sopan santun dalam pergaulan. Baik penampilan perilaku berupa kata-kata atau ucapan (lathi), dan tampilan fisik berupa pakaian yang dikenakannya (busana). Intinya secara harfiah harga diri terletak pada ucapan dan harga badan pada pakaiannya.

"Ajining dhiri ana lathi"
Di media sosial menjaga ucapan sebaiknya tidak asal bicara. Orang Jawa memiliki ajaran bila mengatakan sesuatu hendaknya didasari alasan atau dasar yang kuat dan akurat. Seperti ungkapan "omongan nganggo waton, aja waton ngomong" (bicaralah dengan dasar, jangan asal bicara). Juga, masyarakat perlu menghindakan diri dari omongan "mencla-mencle" (plin-plan), karena akan mengurangi harga diri sendiri.

Orang yang "esuk dhele sore tempe" (pagi kedelai sore tempe) atau "lunyu ilate" (licin lidahnya) pasti kehilangan harga dirinya sendiri. Apalagi seorang pemimpin yang memiliki amanah oleh rakyat.

Sedangkan, "ajining raga ana busana", memiliki makna bahwa generasi milenial dianjurkan untuk hidup "samadya" (sedang-sedang saja, sewajarnya) tidak berlebihan. Harus sesuai dengan posisi dan kondisi, pendek kata harus mengetahui "empan papan" (situasi dan tempat). Dan bukan tidak asal berpakaian atau "waton bisa tuku" (asal mampu beli).

Ironisnya di media sosial sering kali kaum perempuan "keliru" atau "ora trep" (tidak tepat) dalam berbusana, yang tujuannya hanya mengharapkan "like & comment" dari penggemar atau orang lain. Padahal, pakaian yang tidak pantas akan menimbulkan penilaian negatif pada si pemakai yang dapat mengurangi harga diri atau kehormatan si pemakai.

Ana Catur Mungkur
Arti lugasnya adalah "ada pembicaraan membelakangi". Secara kiasan ungkapan tersebut dimaksudkan agar seseorang menghindarkan diri dari pembicaraan yang menyangkut keburukan atau kelemahan pihak lain. "Catur", artinya "ngrasani eleking liyan" (membicarakan keburukan orang lain) dengan tujuan menjatuhkan atau menghina orang tersebut.

Tindakan mempergunjingkan orang lain atau "ngrasani" (membicarakan) kelemahan dan sisi negatif orang lain dan jarang membicarakan sudut kebaikannya karena memang ingin menjatuhkan orang tersebut dapat menimbulkan sakit hati orang yang "dirasani"(dibicarakan). Contoh nyata seperti kasus "meme Setya Novanto", yang akhirnya berujung "sakit hati" si korban dan pelaporan ke pihak berwenang adalah salah satu dari sekian banyak contoh dalam media sosial saat ini.

Seseorang lazimnya lebih senang mencela orang lain. Enggan dan tidak mau mengerti kesalahan sendiri. Tindakan inilah yang memicu perselisihan. Inilah yang harus dicegah bagi generasi milenial yang serba pragmatis dan online. Jangan sampai menjadi "generasi sang penggunjing", ibarat gajah di pelupuk mata tidak tampak, semut di seberang lautan tampak. Artinya tidak mampu melihat kesalahan sendiri yang besar itu.

Ana catur mungkur, "mungkur" berarti menghindarkan diri. Secara utuh berarti kita perlu menghindarkan diri dari pembicaraan yang hanya membicarakan keburukan orang lain dan mempermasalahkan kelemahan orang lain. Sebab pembicaraan tersebut lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Dalam media sosial diharapkan komentar yang baik, kritik yang membangun dan didasari dasar yang kuat.

Adigang, Adigung, Adiguna
Ungkapan ini berisi nasihat agar seseorang tidak berwatak angkuh atau sombong seperti watak binatang yang tersirat dalam ungkapan ini. "Adigang" adalah gambaran watak kijang yang menyombongkan kecepatan larinya. "Adigung" merupakan watak kesombongan binatang gajah yang karena besar tubuhnya selalu merasa menang dibanding hewan lainnya. Dan, "Adiguna" sebagai gambaran watak ular yang menyombongkan dirinya karena memiliki bisa/racun yang ganas dan mematikan.

Padahal masyarakat Jawa sangat mementingkan watak "andhap asor" atau "lemah manah" (rendah hati), maka netizen yang baik seharusnya mampu mengukur dirinya sendiri tanpa menyombongkan kelebihannya. Apalagi merendahkan kekurangan lainnya.

Ungkapan ini pun merupakan pesan kepada siapapun yang memiliki kelebihan (kekuatan, kedudukan, kekuasaan) agar tidak sewenang-wenang terhadap orang kecil.

Seorang sarjana pantas menyadari bahwa ilmunya belum sempurna. Seorang magister semakin menyadari bahwa masih banyak hal yang belum diketahui. Seorang doktor semakin merasa kecil karena lautan ilmu terlalu luas sementara ia hanya memahami sebagian kecil saja. Perlu sikap "aja dumeh" (jangan sok) untuk mengendalikan perilaku menyombongkan diri.

Apabila dalam kehidupan nyata ketika seseorang berperilaku atau berucap sombong dan berlebihan, maka hanya tercatat di ingatan seseorang. Namun, tren masa kini terkait media sosial, maka kesombongan seseorang tercatat secara nyata dalam bentuk komentar dan tulisan, gambar maupun video yang dapat diputar atau ditayangkan kembali berulang-ulang. Bahkan disimpan dan di-share", sehingga menjadi viral. Tidak hanya lokal, tapi sudah internasional.

Itulah beberapa sebagian kecil dari ajaran budaya Jawa yang sering kali diabaikan oleh netizen. Masih banyak nilai-nilai arif lainnya yang dapat dikaitkan dengan perkembangan teknologi dan pergaulan masa kini. Dan juga, disini saya ingin menjelaskan bahwa bukan berarti nilai ajaran budaya Jawa hanya untuk orang Jawa semata. Semua suku bangsa memiliki ajaran budaya daerah masing-masing, mungkin dengan istilah dan kemasan yang berbeda, tapi dengan makna yang sama.

Semoga warganet dan generasi milenial mampu memahami dan mengingat kembali etika yang baik dalam bermedia sosial.

Ulan Hernawan

Referensi :
Pardi Suratno dan Henniy Astiyanto, Gusti Ora Sare: 65 Mutiara Nilai Kearifan Budaya Jawa, Yogyakarta: Adi Wacana, 2005, cetakan ke-2.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun