Perlukah Pendidikan Toleransi Dan Diskriminasi di Indonesia? [Sebuah Opini dan Ulasan]
Hati saya tergerak menulis materi tentang toleransi dan diskriminasi ini setelah melihat berita di sebuah media televisi tentang konflik rasisme dan diskriminasi di Amerika baru-baru ini.Â
Di tulisan ini, saya mengacu pada buku terbitan INSPIRASI.CO, dengan judul " Menjadi Indonesia Tanpa Diskriminasi". Penulis oleh Denny, J.A., Ph.D. Buku ini menarik, karena menyajikan data, teori dan solusi terhadap perkembangan diskriminasi dalam berbagai bidang di seluruh dunia dan di Indonesia. Buku yang terbit tahun 2014 ini sudah sepatutnya layak dibaca oleh semua pengajar di setiap lini pendidikan. Mengapa? Ini bisa dijadikan referensi untuk memahami apakah para pengajar di Indonesia sudah benar-benar memaknai toleransi dan diskriminasi itu sendiri di dalam kelas.Â
Apalagi dengan kondisi dalam negeri yang saat ini sarat dengan anti-toleran, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Maka, sudah sepatutnya tulisan tentang toleransi dan diskriminasi di "viral" kan supaya masyarakat paham dan menjadi pakem untuk berinteraksi di kehidupan berbangsa dan bernegara.
Saya tidak bisa menjelaskan keseluruhan isi buku, namun ada satu materi yang dapat menjelaskan penyebab diskriminasi [Bab 3, halaman 127]. Disini dijelaskan, ternyata kaitan antara "toleransi" dan "diskriminasi" sangatlah berhubungan. Bahkan kaitan antara "toleransi" dan "pendidikan" pun sangat erat dan berbanding lurus dengan kehidupan masyarakatnya.Â
Praktik diskriminasi yang terjadi akibat masyarakat tidak mempunyai toleransi terhadap orang yang memiliki latar belakang berbeda. Entah itu karena agama, ras, jenis kelamin, orientasi seksual, dan sebagainya. Padahal seharusnya masyarakat yang toleran adalah masyarakat yang tidak melakukan diskriminasi. Terkadang pun, kata "diskriminasi" kerap kali dilawankan dengan kata "toleransi".Â
Ada tiga penjelasan mengenai penyebab tinggi rendahnya toleransi di masyarakat. Secara sosiologis, psikologis, dan politik.Â
Dalam penjelasan sosiologis, dijelaskan toleransi atau diskriminasi bisa lahir karena latar belakang seseorang. Seseorang yang umurnya lebih muda, cenderung untuk emosional dan kurang bisa menerima kehadiran orang lain yang berbeda dari dirinya. Hal ini sudah sering saya temui di dalam kelas ketika mengajar level junior high school dan senior high school. Namun, sering dengan bertambah umur dan kedewasaan, seseorang bisa menerima orang lain dengan latar belakang yang berbeda.Â
Toleransi juga lahir akibat pendidikan. Seseorang yang berpendidikan tinggi, secara teoritis mempunyai toleransi lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan rendah. Hal ini karena lingkup pergaulan yang lebih luas dan beragam, oleh mereka yang jenjang sekolah lebih tinggi.Â
Dalam penjelasan psikologis, sikap diskriminatif atau toleransi dilatarbelakangi oleh kepribadian. Ada orang yang mempunyai kepribadian lebih "memperhatikan diri sendiri" (concern with self). Dan ada orang yang lebih "memperhatikan lingkungan" (concern with self in relation to one's environments). Menurut saya, seharusnya semua pengajar harus di sisi "lebih memperhatikan lingkungan". Karena itu adalah tugas pengajar untuk menciptakan ruang kelas yang tanpa diskriminasi. Bila pengajar tidak mampu, maka ia secara tidak sadar in-toleran terhadap lingkungannya. Inilah mengapa kepribadian individu (pengajar) juga harus diperhatikan.
Ketiga adalah penjelasan politik. Disini toleransi dipandang sebagai sikap politik yang mencerminkan pandangan, nilai dan kepercayaan seseorang. Salah satu aspek penting adalah ideology politik. Ibarat "konservatif versus liberal", "konvensional versusonline", atau "kiri versus kanan". Adanya perbedaan pandangan ideologi pun dapat menimbulkan ancaman politik. Seperti tragedi di Rwanda. Di Rwanda ada dua suku besar yang berebut kekuasaan (Suku Hutu dan Suku Tutsi).Â
Bila anda pernah menonton film "Hotel Rwanda" maka anda akan paham sekali konflik yang terjadi. Ketika kelompok Hutu berkuasa, warga dari suku Tutsi merasa terancam. Kondisi tersebut membuat warga di Rwanda selalu merasa terancam oleh suku lain yang berbeda. Akibatnya, warga Rwanda tidak toleran terhadap orang lain. Suku Hutu membenci Tutsi, dan sebaliknya orang Tutsi membenci Hutu. Nah di Indonesia, contohnya seperti Koalisi Merah Putih versus Koalisi Indonesia Hebat.
Dari penjelasan diatas, hanyalah secuil dari banyaknya teori dan contoh yang ada. Peran negara lah untuk hadir apabila adanya in-toleran dan diskriminasi yang datang berlebihan dari warganya. Negara yang telah menerapkan prinsip demokrasi, seharusnya ditandai oleh warganya yang mempunyai sikap toleransi yang tinggi pula.Â
Semua berawal dari pendidikan yang baik. Berawal juga dari pengajar yang baik pula. Pengajar yang toleran dan anti diskriminasi, akan menjadi role model bagi anak didiknya.Â
Namun, apabila ternyata tingkat toleransi dan diskriminasi terlalu tinggi (di Indonesia), maka sudah sepatutnya ada kurikulum yang mengajarkan pendidikan toleransi dan diskriminasi lebih dalam lagi di tingkat sekolah dan universitas.Â
Salam Toleransi.
Ulan Hernawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H