Mohon tunggu...
Ulan Hernawan
Ulan Hernawan Mohon Tunggu... Guru - I'm a teacher, a softball player..

Mari berbagi ilmu. Ayo, menginspirasi!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tantangan Pendidikan Kewarganegaraan di Era Milenial

14 September 2017   19:34 Diperbarui: 15 September 2017   08:38 15437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: mahasiswabicara.id

Pernahkah anda mengikuti pelajaran Pendidikan  Kewarganegaraan atau Pancasila saat sekolah? Bila belum, maka perlu  dipertanyakan kualitas sekolah anda terdahulu. Karena, setiap sekolah  baik negeri maupun swasta di Indonesia diharuskan menerapkan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di lingkungan institusinya. 

Saat ini, negara sedang berkoar-koar tentang pembentukan karakter dan penerapan rasa nasionalisme yang lebih nyata di setiap lini kehidupan masyarakat, khususnya di bidang pendidikan. Lebih utama lagi dalam bidang Pendidikan Kewarganegaraan. 

Tantangan mengajar Pendidikan Kewarganegaraan di era milenial saat ini butuh usaha keras. Justru tantangan tersebut bukan datang dari materi atau kurikulum pendidikan kewarganegaraan itu sendiri. Melainkan dari kualitas sumber daya manusia yang kompeten, yaitu guru.

Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk  peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta  tanah air. 

Selanjutnya, Pendidikan Kewarganegaraan di lingkup sekolah  juga mengembangkan misi sebagai pendidikan bela negara, pendidikan  multikultural, pendidikan lingkungan hidup, pendidikan hukum, dan pendidikan anti korupsi. 

Nah, dari berbagai misi tersebut timbul pertanyaan bagaimanakah pengajar masa kini, terutama guru Pendidikan Kewarganegaraan, bersinergi dan  beradaptasi seiring perkembangan globalisasi dan teknologi? 

Bila anda pengajar yang "konvensional", maka materi yang anda sampaikan ke anak didik juga akan konvensional. Hasil yang  diperoleh adalah anak didik dengan rasa nasionalisme yang konvensional  pula. Dalam artian, anak didik hanya mampu mendengarkan ceramah dan akan  segera melupakannya saat mereka sudah keluar kelas atau berganti mata  pelajaran. Ibarat seperti angin lalu bagi mereka. Inilah sebabnya, banyak anak didik yang menyepelekan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bila masih mengajar dengan gaya ajar yang lama dan monoton. 

Ingat, dunia selalu bergerak. Ojek yang dulu hanya bisa  mangkal, sekarang serba online dan serba bisa. Dulu beli tiket kereta dan pesawat antri panjang (on the spot), sekarang sudah praktis hanya  sekali sentuh dan bisa order jauh hari. Semua serba digital, maju, online, update dan mengikuti kebutuhan masyarakat milenial. Begitu pula  seharusnya gaya ajar Pendidikan Kewarganegaraan, lebih modern, canggih,  update dan online. 

Di jaman yang serba digital ini, akan lebih mudah mengajarkan ilmu dan materi pendidikan kewarganegaraan dengan sarana internet. Segala sumber, contoh-contoh kasus, infografis, link, kejadian  nyata, atau bahkan sekedar tayangan mendidik dan menarik akan membuat  anak didik lebih menghayati. 

Tiga Komponen Pendidikan Kewarganegaraan

Bagaimana mengajarkan anti korupsi bila anak didik kita  tidak tahu wujud tentang KPK dan kasus-kasus korupsi yang ada? Bagaimana  anda mengajarkan bela negara apabila anak didik tak memahami budaya, letak geografis dan lembaga negara Indonesia secara nyata? Bagaimana anda  mengajarkan baik dan buruknya media sosial, apabila anda tidak paham dan tidak memiliki akses media sosial (facebook, line, twitter, dsb)?

Padahal ada tiga komponen utama Pendidikan Kewarganegaraan,  yaitu pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skills), dan sikap kewarganegaraan (civic  disposition). 

Di era milenial ini, ketiga komponen tersebut akan lebih  mudah dicerna dan diresapi anak didik dengan contoh nyata dan realis.  Tidak sekedar ceramah yang membosankan dan bikin kantuk.

Logikanya, anak didik milenial yang memiliki lebih banyak  pengetahuan dan sikap kewarganegaraan akan menjadi warga negara yang  percaya diri (civic competence). Kemudian warga negara yang memiliki  pengetahuan dan keterampilan kewarganegaraan akan menjadi warga negara milenial  yang mampu (civic competence). Selanjutnya, warga negara milenial yang memiliki  sikap dan keterampilan akan menjadi warga negara milenial yang komitmen (civic  commitment). 

Dan  pada akhirnya, warga negara milenial yang memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan kewarganegaraan akan menjadi warga negara milenial yang  cerdas dan baik ( smart and good citizenship). Itulah tujuan akhir mengajar  Pendidikan Kewarganegaraan di era milenial, bila didukung juga oleh  "smart and good teacher". Ubah gaya ajar konvensional anda, menjadi gaya ajar "modern and milenial". Ingat, Pancasila is a living ideology.

Baca juga : Dilema Pengajar, Diantara Bisnis Dan Pendidikan , Guru Itu Bukan "Pengemis" , Etika Guru Dan Politiknya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun