Oleh : Ulamatuah Saragih
Siattar nabalau memang unik. Dari 269 daerah provinsi, kabupaten/kota tahun 2015 yang menyelenggarakan Pilkada, maka hingga kini hanya Kota Pematangsiantar satu-satunya yang belum memiliki “Kepala Daerah “ definitif. Artinya amanah UU Pilkada No. 8 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 2016 belum terlaksana. Begitu juga jika dimaknai dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka Pematangsiantar hingga kini belum memiliki Kepada Daerah. Kota berpenduduk 300 ribu jiwa lebih ini harus puas memiliki Hefriansyah SE MM , sebagai “Wakil Walikota “ yang oleh pemerintah atasan ditunjuk sebagai “ Plh Walikota “.
Sebagaimana diketahui, bahwa Hefriansyah dilantik sendirian sebagai Wakil Walikota tanggal 22 Pebruari 2017, tanpa Walikota, berhubung Walikota Terpilih alm. Hulman Sitorus meninggal dunia 8 Desember 2016. Ironis memang pasangan calon “ Salam Manis “ ini tak manis sampai ke final. Ironis memang, Sedih, manakala kebersamaan itu tak elok akibat kehendak yang tak bisa dicegah manusia.Konon, kini pemerintahan Kota Siantar “dipalapalai” (diusahakan sendiri) oleh Hefriansyah yang “dikendalikan “ oleh pemerintah atasan, baik Gubsu Tengku Erry maupun pihak Kementerian Dalam Negeri. Hal ini misalnya, untuk melantik pejabat sesuai amanah PP No. 18 Tahun 2016, maka sang PLH, harus “permisi “ yang lazim disebut konsultasi ke atas. Tak heran memang, ada suara miring dari kalangan masyarakat, bahwa Walikota Siantar itu sekarang adalah Tengku Erry. Benar apa tidak, hanya Hefriansyah dan Tengku Erry yang tahu. Jangan-jangan juga kondisi ini sengaja dilakukan pembiaran, entah siapa yang diuntungkan.
Lumrah saja, jika kalangan komponen masyarakat dan juga para pemerhati merasa perlu bertanya-tanya.Kok sampai sekarang gak ada Walikota Pematangsiantar ? Suasananya hampir sama saja dengan kondisi Pematangsiantar yang sudah hampir dua tahun hanya memiliki “ Pejabat Walikota “. Padahal memang, untuk memilih Walikota dan Wakil Walikota Pematangsiantar sudah habis puluhan miliar, tapi hingga kini tak ada hasilnya. Itu uang rakyat, yang tentu kalau digunakan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat tentu akan lebih bermanfaat.
Jawaban pertanyaan tersebut sebenarnya sudah ada secara yuridis. UU No. 10 tahun 2016 memberi peluang bagi Hefriansyah untuk dilantik jadi Walikota. Pasal 173 ayat 4 menyebutkan “DPRD Kabupaten/Kota menyampaikan usulan pengangkatan dan pengesahan Wakil Bupati/Wakil
Walikota menjadi Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri melalui
Gubernur untuk diangkat dan disahkan sebagai Bupati/Walikota.“. Memang masih ada perdebatan yang memungkinkan bias pelaksanaan undang-undang itu. Secara eksplisit memang, apakah, ketentuan tersebut “pas” dengan kondisi Kota Pematangsiantar. Masih bisa diperdebatkan, bahwa Kota Pematangsiantar “ belum pernah “ memiliki Walikota hasil Pilkada tahun 2015/2016, sebab Hulman Sitorus ketika meninggal masih berstatus sebagai “ calon terpilih “, belum jadi Walikota. Jika pemahaman yang terakhir ini yang menjadi acuan, bisa jadi Hefriansyah tidak berhak menjadi Walikota Pematangsiantar. Tapi bingung juga, lantas siapa yang menjadi Walikota ? Tak ada juga diatur dalam UU No. 10 Tahun 2016. Isu ini menjadi semacam “bola liar” kini masih menggelinding di Kota Pematangsiantar.
Pertanyaan berikutnya yang lebih kritis, apakah memang Hefriansyah bersedia menjadi Walikota Pematangsiantar. Jangan-jangan beliau juga hanya bersedia sebagai Wakil Walikota dan untuk sementara ( sampai waktu yang tidak ditentukan), cukup menjadi “Plh Walikseota “. Sepertinya memang belum ada pernyataan vulgar dari Hefriansyah tentang itu. Di sisi lain, sesungguhnya DPRD Kota Pematangsiantar yang dipimpin Eliakim Simanjuntak, sudah melakukan kewajibannnya untuk mengusulkan Hefriansyah menjadi Walikota dan sudah diparipurnakan di sidang dewan. Sayangnya, masyarakat Kota Pematangsiantar tidak tahu persis apakah, pengusulan itu sudah disampaikan ke Kemendagri melalui Gubernur Sumut. Jangan-jangan masih disimpan di DPRD Pematangsiantar. Setidaknya, hingga kini masyarakat tidak tahu sampai dimana proses pengusulan itu, apakah masih di mejanya GubernurSumut Tengku Erry atau sudah di meja Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo atau mungkin masih di kantor pos. Tentu yang agak “aneh “, sejauh ini DPRD tidak pernah bersuara menagih kepada Gubernur atau Mendagri tentang usul yang mereka buat. Apakah itu laku atau tidak ? Masyarakat tidak tahu juga, apakah Hefriansyah sebagai pihak diusulkan “berjuang” untuk bisa segera dilantik menjadi Walikota Pematangsiantar atau hanya menunggu dan “pasrah” menerima apa kemauan pemerintahan atasan.Sejauh ini juga tidak pernah dijelaskan ke publik. Yang masyarakat tahu, bahwa Wakil Walikota Pematangsiantar “ sering “ bahkan bolak-balik ke Medan dan Jakarta, entah urusan apa hanya beliau yang tahu.
Cerita di atas memberi gambaran ada beberapa hal yang menyebabkan tidak terlantiknya Walikota Pematangsiantar. Faktor pertama, apakah landasan hukum/peraturan perundang-undangan cukup memadai untuk mengangkat Wakil Walikota Pematangdiantar menjadi Walikota ? Setidaknya memang dibutuhkan “diskresi” dari pemerintah atasan, karena tidak secara jelas tertulis dalam UU No. 10 Tahun 2016, persis seperti kondisi Kota Pematangsiantar. Diskresi tentu boleh dilakukan sepanjang tujuannnya baik dan untuk kepentingan masyarakat.Faktor lain adalah kesungguhan DPRD Pematangsiantar untuk memperjuangkan yang diusulkannnya. Seharusnya DPRD proaktif mempertanyakan baik ke Gubernur Sumut maupun ke Kemendagri.
Faktor yang paling strategis, tentunya “kesiapan dan kesungguhan” Wakil Walikota Pematangsiantar Hefriansyah untuk bersedia menjadi Walikota Pematangsiantar.Di sini terkadang “saya sedih” karena rahasia umum menyebut, untuk urusan semacam itu bukan saja soal, asas legalitas tapi juga dibutuhkan “pendekatan” ke pemerintah atasan bahkan sering diidentikan dengan “hepeng”. Biar pun sudah ada Saber Pungli atau penegak hukum lainnya, mana ada yang gratis di republik ini. Tak mungkin memang SK Walikota datang sendiri “tanpa dijemput” dalam arti seluas-luasnya. Ini juga yang masih berlaku dalam pengangkatan pejabat eselon di daerah. Setidaknya ada “ucapan terimakasih “, sebagai manusia berbudaya yang sekaligus munafik, sebagaimana ciri-ciri manusia Indonesia, seperti yang pernah dikemukakan Muchtar Lubis yang terkenal dengan buku sekaligus ceramahnya berjudul “ Manusia Indonesia”pada tahun 1980-an itu. Faktor politik, lainnya adalah dorongan dan kepiawaian partai politik pengusung untuk menggolkan pasangan calon yang telah diusungnya. Tentu Partai Demokrat Pematangsiantar dan juga Paratai Demokrat Sumatera Utara yang diketuai Dr JR Saragih SH MM juga punya kepentingan untuk menjadikan calonnya menjadi Walikota Pematangsiantar.
Tak kalah pentinya untuk menjadikan Pematangsiantar punya Walikota tak lain adalah kepedulian masyarakat.Warga perlu tahu, masyarakat boleh bertanya, bahkan masyarakat boleh menyampaikan aspirasinya baik melalui DPRD, gubernur maupun pemerintah pusat untuk mempertanyakan sejauh mana proses pengangkatan Wakil Walikota menjadi Walikota Pematangsiantar. Tentu penyampaian aspirasi harus dilakukan sesuai aturan, dan tidak harus demo atau unjuk rasa, tapi boleh melalui audensi, surat, pernyataan pers dan bentuk lainnnya.Tentu ini sangat beralasan, di samping Pilkada sudah menghabiskan uang rakyat, juga karena hingga kini semacam ada yang kurang dalam pelaksanaan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di Kota Pematangsiantar. Intinya, produk Pilkada harus lengkap, ada walikota dan ada wakil walikota.
Sementara belum dilantiknya Walikota Pematangsiantar muncul pula spekulasi tentang siapa bakal jadi Wakil Walikota Pematangsiantar. Sebelumnya sudah muncul sejumlah nama yang akan mendampingi Hefriansyah jika kelak (jadi) sudah dilantik Walikota. Di antaranya ada nama Togar Sitorus ( anggota DPRD Siantar dari Partai Demokrat), Drs Resman Panjaitan ( Kadis Pendidikan ), Drs. Johalim Purba ( Ketua DPRD Simalungun/Wakil Ketua Partai Demokrat Sumut), bahkan terakhir menggelinding nama Drs Teddy Robinson Siahaan, calon Walikota yang kalah pada Pilkada lalu. Ya, kata orang, isu-isu dan manuver politik, kini bagai “bola liar “ di kota ini, dan belum nampak tanda-tanda kepastian.
Sungguh jadi “bola liar” ini bagai membuat tidak ada kepastian hukum. Pelaksanaan pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan di kota ini juga sepertinya masih jalan tersendat-sendat. Kalau boleh bertanya kepada Pak Gubernur Tengku Erry Nuradi dan Pak Mendagri Tjahyo Kumolo, kapan ada pemerintahan di kota Pematangsiantar yang legal dan sesuai peraturan perundangan-undangan sebagaimana di daerah, kabupaten/kota lain ?