Mohon tunggu...
Ula Hana Alya
Ula Hana Alya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hukum Keluarga Islam

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Legislasi Hukum Perdata Islam di Indonesia

18 Maret 2024   23:32 Diperbarui: 18 Maret 2024   23:32 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pendahuluan

Buku berjudul “Legislasi Hukum Perdata Islam di Indonesia” ini hendak menjelaskan mengenai sejarah pelembagaan Hukum Islam sebagai suatu bagian yang integral dengan sistem Hukum Nasional. Di dalam pembahasannya, disertakan peran serta Busthanul Arifin sebagai sosok yang memiliki peranan dan kontribusi di dalam pelembagaan hukum Islam tersebut di Indonesia. Busthanul Arifin telah memberikan kontribusi pemikiran terhadap perkembangan dan pelembagaan hukum Islam dalam sistem hukum nasional di Indonesia. Menurut Busthanul, pelembagaan (formation) Hukum Islam di Indonesia menghadapi kendala utama akibat pemberlakuan tiga sistem hukum, yaitu Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Sipil Barat. Pendikotomian hukum tersebut menurut Busthanul harus dihapuskan. Busthanul Arifin menegaskan bahwa hukum dapat dijadikan hukum negara, seharusnya bersumber dari norma-norma yang hidup di masyarakat. Hukum Islam dalam hukum nasional tujuannya bermuara kepada maqasid al-shari’ah, sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri untuk kepentingan nasional, yaitu mensejahterakan manusia dan untuk kemaslahatan manusia. Penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh proses pembentukan hukum yang aspiratif, proaktif dan kredibel. Penegakan hukum dipengaruhi oleh substansi hukum, struktural dan kultural, oleh karena itu, Busthanul merupakan salah satu mata rantai yang menjadikan hukum Islam membumi secara teori dan praktek.

BAB 1

Sejarah Legislasi Hukum Perdata Islam di Indonesia

Eksistensi hukum Islam dalam sistem hukum nasional dibuktikan dengan terakomodasinya hukum Islam secara tertulis dalam berbagai bentuk peraturan dan perancangan Undang-Undangan, seperti Undang-Undang penyelenggaraan ibadah haji, pengelolaan zakat, dan perbankan syari’ah. Demikian juga, dapat dikatakan bahwa hukum Islam yang tidak tertulis itu ada karena dalam praktiknya masih tetap dilaksanakan melalui secara ritual kenegaraan dan keagamaan, seperti doa dalam kenegaraan, Isra Mi‛raj, Nuzul al-Qur’an, Maulid Nabi Muhammad saw, dan acara adat lainnya yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Islam dapat dipahami sebagai fikih Indonesia oleh Busthanul Arifin didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan: Pertama, pertimbangan untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat; Kedua, pertimbangan persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah akan dan sudah menimbulkan antara lain ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’ah Islam itu (tanfiziyah), dan akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainnya; Ketiga, pertimbangan sejarah, di dalam sejarah Islam pernah dua kali di tiga negara, hukum Islam diberlakukan sebagai perancangan Undang-Undangan negara.

Menurut Busthanul, kalau berbicara tentang konflik hukum sipil dengan hukum Islam, maka di Indonesia hukum sipil itu berarti gabungan antara hukum Barat dengan hukum adat. Sementara konflik antara tiga sistem hukum ini masih berlanjut, maka mungkin untuk mudahnya para sarjana hukum Indonesia sekarang selalu mengatakan bahwa hukum nasional Indonesia berunsurkan tiga, yaitu hukum Islam, Adat dan Barat. Adanya ketiga sistem hukum itu di tanah air justru telah menjadi konflik-konflik hukum dalam masyarakat dan sejarah hukum di Indonesia. Konflik-konflik tersebut telah menjadi kendala utama bagi pelembagaan (formation) hukum Islam di Indonesia.

Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam pembangunan hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan hukum Islam layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional. Pertama, Undang-Undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Peradilan Agama, Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Undang-Undang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang Wakaf dan Undang-Undang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam serta beberapa Undang-Undang lainnya yang langsung maupun tidak langsung memuat hukum Islam seperti UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui keberadaan Bank Syari’ah dengan prinsip syari’ahnya, Atau UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang semakin memperluas kewenangannya, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.14 Kedua, Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama Islam akan memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi kepentingannya. Ketiga, kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti pembagian zakat dan waris. Keempat, politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat bagi Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia. 15 Realitas politik dalam hal peRancangan UndangUndangan di Indonesia nampak eksistensi hukum Islam semakin patut diperhitungkan.

BAB II

Biografi Busthanul Arifin

Busthanul Arifin merupakan pakar hukum Islam yang pernah menjadi Hakim Agung selama 26 tahun dengan jabatan terakhir di Mahkamah Agung sebagai Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama. Setelah pensiun dari Mahkamah Agung, pada tahun1995 Busthanul Arifin berkiprah sebagai Penasihat Menteri Agama di Bidang Hukum. Busthanul Arifin dilahirkan di Payakumbuh, Sumatera Barat, pada tanggal 2 Juni 1929, sebagai anak terakhir dari enam bersaudara putra dari pasangan Andaran Gelar Maharajo Sutan dan Kana. Pendidikan formalnya dimulai dari Sekolah Dasar Belanda, bukan sekolah agama. Namun seperti anak laki-laki lain di Minangkabau, Busthanul kecil melewatkan masa kanak-kanaknya di surau. Di Minangkabau, surau tidak hanya berfungsi sebagai tempat shalat dan transformasi ilmu-ilmu agama belaka. Lebih dari itu, surau memiliki fungsi sebagai wadah transformasi nilai-nilai kebaikan dan keberanian kepada anak-anak. Di surau itulah Busthanul mempersiapkan pelajaran sekolahnya, dan di situ pula ia belajar membaca al-Qur’an. Busthanul Arifin belajar mengaji pada pamannya, Ibnu Abbas. Sebagaimana pengakuannya, kelas dua SD, ia sudah khatam Al-Qur’an. Kehidupan di surau telah memperluas cakrawala pandang Busthanul Arifin. Setelah tamat SD, ia tidak diperbolehkan melanjutkan ke SMP karena satu-satunya SMP terletak di Padang, sementara jarak antara Payukumbuh-Padang waktu itu terasa sangat jauh. Akibatnya, Busthanul Arifin semakin akrab dengan surau. Sesuai dengan naluri anak kecil, ia justru merasa senang. Dua setengah tahun lamanya ia tidak bersekolah. Selama masa itu, pekerjaannya sehari-hari ialah pergi ke sawah, mengaji, belajar silat, dan membaca buku. Ketika Jepang masuk ke Indonesia, Busthanul Arifin sempat masuk Seinenda yang pola pelatihannya sangat keras. Mungkin karena itu, meskipun baru berusia belasan tahun, Busthanul Arifin diperlakukan sebagai orang dewasa. Ia mulai sering bertabligh. Oleh karena itulah, mau tidak mau, Busthanul terus menambah ilmu-ilmu ke-Islaman, baik melalui bacaan maupun pergaulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun