Mohon tunggu...
Ula Hana Alya
Ula Hana Alya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hukum Keluarga Islam

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Legislasi Hukum Perdata Islam di Indonesia

18 Maret 2024   23:32 Diperbarui: 18 Maret 2024   23:32 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Penghargaan terhadap pemikiran dan kiprah Busthanul Arifin dalam pelembagaan hukum Islam dan peningkatan wewenang dan kekuasaan Pengadilan Agama dalam sistem hukum nasional, tidak hanya diberikan teman sejawatnya, tetapi juga oleh Lembaga IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Sekarang dikenal dengan UIN Syarif Hidayatullah). Pada tahun 1980, Busthanul dikukuhkan sebagai Guru Besar Luar Biasa pada Fakultas Syari’ah IAIN tersebut. Dan pada 22 Desember 1993, atas usulan PP IKAHA (Pengurus Pusat Ikatan Hakim Agama), IAIN Jakarta menganugerahkan gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) kepada Busthanul Arifin.

Menurut Busthanul, pelembagaan (formation) hukum Islam di Indonesia menghadapi kendala utama akibat pemberlakuan tiga sistem hukum yaitu hukum Adat, hukum Islam dan hukum Barat yang masih mengadopsi politik hukum pemerintah kolonial Belanda. Ia menyarankan, seyogianya konflik-konflik hukum akibat pemberlakuan tiga sistem hukum itu dapat dikelola dengan baik yang dimulai dengan langkah menyamakan ‘bahasa hukum‛, kemudian membuat modifikasi atau kompilasi hukum dalam bahasa hukum nasional.

Busthanul Arifin wafat pada tanggal 22 April 2015 di Jakarta dalam usia 85 tahun. Busthanul telah memberikan sumbangan yang tidak kecil dalam pelembagaan hukum Islam, terutama dalam peningkatan wewenang kekuasaan Pengadilan Agama dan upaya legislasi hukum perdata Islam ke dalam sistem hukum nasional.

BAB III

Busthanul Arifin dan Peta Perjalanan Legislasi Hukum Islam Di Indonesia

Sebagai praktisi hukum, Busthanul mengalami sendiri beberapa peristiwa yang miris dan mencitrakan Pengadilan Agama yang tidak sesuai dengan fungsinya sebagai sebuah pengadilan. Ketika ia menjadi hakim di Semarang, ia memimpin sebuah sidang ‘sumpah mimbar’ di Masjid Besar di Semarang. Sumpah mimbar ini merupakan cara pengucapan sumpah dalam perkara perdata di Pengadilan Negeri atas permintaan salah satu pihak yang berperkara, yang dilaksanakan di mimbar masjid. Pihak yang akan mengangkat sumpah tersebut terlebih dahulu dikafani seperti mayat, lalu mengucapkan sumpah. Sumpah ini dilakukan di depan hakim yang mengetuai sidang perkara tersebut dan dilaksanakan dengan juru sumpahnya ketua Pengadilan Agama setempat.

Yang menjadi keprihatinan Busthanul adalah bahwa ketika ia bersama rombongan Pengadilan Negeri datang ia disambut secara berlebihan oleh ketua PA. Ketika ia akan membuka sepatu, ketua PA itu buru-buru membungkukkan badan untuk melepaskan sepatu Busthanul dan meletakkannya di tempat penyimpanan sepatu. Meskipun Busthanul melarangnya, karena mereka sama-sama hakim yang sederajat, ketua PA tersebut sudah terlebih dahulu mengambil sepatu Busthanul dan meletakkannya pada tempatnya. Menurut Busthanul, sikap ini mirip seperti yang terjadi pada masa-masa penjajahan Belanda, karena ada anggapan bahwa Busthanul adalah hakim Landraad (Pengadilan zaman Belanda). Ini sekaligus memperlihatkan kepadanya dengan nyata bahwa pengaruh cara berpikir Belanda sangat kuat membentuk pemikiran hakim Pengadilan Agama, sehingga mereka mengalami rasa minder berhadapan dengan hakim Pengadilan Negeri. Pengalaman lain adalah ketika ia diangkat menjadi Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama (Tuada Uldilag) Mahkamah Agung. Ada seorang kawannya, Panitera di Mahkamah Agung, mengabarkan pengangkatannya sebagai Tuada Uldilag. Namun, setelah itu kawannya tersebut melanjutkan bahwa Busthanul ‛cuma mengurus Peradilan Agama. Kata-kata ini mengisyaratkan bahwa di kalangan masyarakat intelektual terdidik juga terdapat sikap meremehkan terhadap Peradilan Agama.

Ada tiga usaha yang hendak dilakukan Busthanul, yakni ;

1. Memasarkan Pengadilan Agama, yaitu memperkenalkan Pengadilan Agama yang walaupun telah berusia lebih dari seratus tahun, akan tetapi keberadaannya masih ditaburi dengan kesalahmengertian dari semua pihak, baik pihak nonIslam maupun pihak Islam sendiri;
2. Konsep untuk pemantapan hukum yang berlaku yaitu tentang tiga tonggak yang menopang tegaknya hukum yang diambil dari doktrin hukum nasional yang diperkenalkan oleh Badan Pembina Hukum Nasional (BPHN) yang ketuanya waktu itu adalah DR Teuku Radie SH;
3. Kompilasi Hukum Islam, yang ternyata sudah diperdengarkannya hampir 20 tahun sebelumnya, ketika Busthanul menjadi Ketua Pengadilan Tinggi di Banjarmasin (1967) dalam satu ceramah di sana.
Busthanul memakai istilah pemasaran, untuk konsep pertama, karena kalau diandaikan Pengadilan Agama ini sebagai komoditi, maka komoditi itu haruslah dipoles dan dibungkus dengan rapi supaya menarik pembeli dan pemakai. Memang Pengadilan Agama, seperti halnya dengan Hukum Islam, perlu dirapikan dan dipresentasikan dengan baik, karena kekuatan-kekuasaan sejarah yang melanda umat Islam telah begitu merusak citra dan pengertian tentang Hukum Islam itu sendiri Lebih-lebih lagi sejak negeri-negeri Islam jatuh dalam penjajahan bangsa Barat, mereka yang membawa dan ingin memaksakan budaya dan agamanya kepada bangsa-bangsa yang beragama Islam. Begitu yang terjadi di Dunia Islam umumnya dan di Indonesia kita ini.

Pembicaraan Rancangan Undang-Undang ini menjadi Undang-Undang menjadi sangat alot dan tajam. Banyak tantangan dan protes yang datang, tidak hanya dari golongan non-Muslim, tetapi juga dari golongan umat Islam sendiri yang sudah terkontaminasi oleh cara berpikir Belanda. Golongan non-Muslim menyatakan bahwa keberadaan Undang-Undang Peradilan Agama akan berbahaya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan disahkannya UndangUndang Peradilan Agama akan muluslah usaha umat Islam untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam. Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa Undang-Undang ini merupakan realisasi Piagam Jakarta dan berbahaya bagi persatuan dan kesatuan RI.

Yang menarik dari pengalaman Busthanul ketika ikut memperjuangkan Rancangan Undang-Undang PA adalah keberhasilannya meyakinkan Presiden Soeharto. Ini adalah modal penting, sebab Soeharto ketika itu adalah penguasa yang sangat ditakuti. Masa itu dapat dikatakan sebagai puncak kekuasaan Soeharto. Kepada Soeharto Busthanul meyakinkan bahwa Rancangan Undang-Undang PA adalah bagian dari pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam kehidupan berbangsa. Orangorang yang menentang Rancangan Undang-Undang PA justru yang harus diragukan sikap mereka terhada Pancasila. Busthanul benar, karena Pancasila dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mengakomodasi pelaksanaan ajaran agama bagi pemeluknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun