Mohon tunggu...
Sukisno Sudaryo
Sukisno Sudaryo Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Rasa Memiliki Pertanian Meski Bukan Petani

7 April 2015   08:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:26 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Label negara agraris sudah sekian abad melekat di dada Indonesia. Tanahnya yang subur dengan curah hujan yang tinggi menjadikan bumi Indonesia cocok untuk berbagai jenis tanaman. “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman” demikian band Koes Ploes menggambarkan kesuburan tanah Indonesia. Wajar saja memang kalau sebagai warga negara Indonesia merasa miris, ketika menyaksikan pasar kita baik modern maupun tradisional yang dibanjiri oleh hasil pertanian dari luar negeri alias impor.

Kalau berbicara produk pertanian apa saja yang kita impor, rasanya tidak sanggup lagi kita ungkapkan, baik karena memang saking banyaknya atau mungkin perasaan yang sakit manakala menyebutnya. Pertanyaannya, bagaimana bisa negeri agraris malah mengimpor produk-produk agraris? Jawaban pertanyaan itu ternyata telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan sekaliber “profesor doktor”, mahasiswa, hingga masyarakat petaninya sendiri yang mungkin dari sudut pandang berbeda-beda.

Ada yang mengatakan bahwa ini salah pemerintah yang kurang peka terhadap keinginan dan permasalahan petani. Ada juga yang mengatakan ini salah petaninya sendiri yang kurang terampil, sehingga produk yang dihasilkan kalah kualitasnya dengan produk impor. Lain lagi yang mengatakan bahwa ini akibat adanya perdagangan bebas yang mengabaikan batas-batas teretorial, dan banyak lagi penyalahan lainnya. Hanya saja, kalau kita ingin menyalahkan siapa yang salah, ya kita harus berani mengakui bahwa itu kesalahan kita sendiri, lha wong Indonesia ini milik kita sendiri. Indonesia milik pemerintah sebagai pemerintahannya rakyat, dan juga rakyat sebagai rakyatnya pemerintah.

Katanya tanah kita tanah surga, padahal di surga seharusnya tidak boleh ada orang miskin. Namun anehnya kemiskinan sangat melekat ditengah melekatnya pula julukan negera agraris. Saat ini sekitar 63% dari total penduduk miskin berdiam diri di desa yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian ( Sindo, 12/01/2015 ). Ini kan lucu, petani kita miskin ditengah penghormatan sebagai negeri agraris yang hakikatnya negeri agraris itu seharusnya pengekspor produk-produk pertanian, yang justru akan memperkaya dan mensejahterakan para petani kita. Apa yang salah ?

Penting kiranya untuk bertanya kepada diri kita sendiri, bahwa kita yang seringkali berteriak-teriak tentang ironi negeri agraris, lebih senang dan sering manakah antara mengonsumsi produk petani dalam negeri dengan luar negeri. Kalau apa yang kita teriakkan itu ternyata berbanding terbalik dengan apa yang kita beli, tidakkah ini jauh lebih lucu? Secara logika maraknya impor produksi pertanian kita secara besar-besaran, disebabkan karena adanya  kebutuhan akan produksi pertanian yang tidak sanggup dipenuhi oleh prodesen dalam negeri. Berkaitan dengan hal itu, sudah sekian puluh tahun pemerintah merespon dengan berbagai program demi produksi pertanian kita yang terus meningkat dan dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun sekian puluh tahun itu lamanya, hingga sekarang kok Indonesia masih impor dan impor terus ? apakah program pemerintah gagal ? atau jangan-jangan pemerintah sudah mati-matian supaya tidak impor untuk memenuhi pangan dalam negeri, kitanya sendiri yang mempertahankan agar impor produk pertanian ini dan itu terus berjalan ?

Sepertinya kita harus mengakui, karena pada faktanya orang Indonesa ternyata lebih memilih menghidangkan buah apel luar negeri ketimbang apelnya Malang, lebih memilih jeruk mandarin ketimbang jeruk lokal. Dan ada banyak lagi pilihan-pilihan masyarakat yang mengedepankan produk pertanian luar negeri ketimbang hasil keringat petani kita sendiri.

Kenapa ini bisa terjadi? Boleh jadi satu diantaranya adalah karena selama ini ‘rasa memiliki’ terhadap lahan pertanian hanya sebatas dirasakan oleh petani, tanpa kita sadari bahwa lahan-lahan pertanian yang mereka garap juga sejatinya milik kita sebagai rakyat Indonesia meski bukan seorang petani. Rasa memiliki tidak sekadar adanya bukti-bukti surat kepemilikan, tapi tidak hanya itu ada perasaan/ jiwa yang memiliki. Ada seorang petani yang menggarap sawah dengan semangat, penuh cinta dan kasih sayang meskipun sawah yang digarapnya bukan miliknya sendiri, karena ia tahu bahwa sawah iniliah yang akan memberi penghidupan untuk keluarganya. Maka yang dilakukan adalah merawatnya agar bagaimana panen yang dihasilkan sawahnya itu banyak, sehingga kebutuhan keluarganya tercukupi.

Kita pun demikian, mekipun bukan sebagai seorang petani yang melakukan penanaman, merawat dan memanennya, tapi kita harus mempunyai rasa memiliki pertanian-pertanian itu. Karena kita tahu bahwa pertanian-pertanian itulah yang membuat kita masih bisa makan, untuk kehidupan. Maka yang dilakukan adalah kita menghargai petani, mau bekerja bersama petani yaitu bagaimana agar petani dapat mencapai kesejahteraan lewat pertaniannya, dan yang paling penting adalah kita mau dan bangga untuk membeli produk-produk petani kita sendiri.

Salam Kesejahteraan Petani, Menuju Indonesia Swasembada Pangan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun