Mohon tunggu...
ukim komarudin
ukim komarudin Mohon Tunggu... -

Guru SMP Labschool Kebayoran, Penulis, dan Motivator

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bedanya Seang-Senang, Senang, dan Bahagia

18 Maret 2015   17:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:28 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dunia ini, banyak orang yang mencari kesenangan tetapi yang didapat adalah kesusahan. Banyak orang yang mengejar kebahagiaan tetapi yang ditemukan kesengsaraan. Penyebab dari itu semua adalah ketidakpahaman hakikat dari tiga hal itu sehingga jalan yang ditempuh pun keliru.

Orang banyak yang salah mengira melakukan tindakan konsumerisme itu akan senang atau bahagia. Kenyataannya malah sengsara yang didapatkan. Setiap malam dugem tujuannya mencari kesenangan. Apapun yang diinginkan dibeli, juga untuk mendapatkan kesenangan. Pergi ke mana pun menghabiskan banyak uang tentu mengejar kesenangan. Sudah berhasilkah kesenangan itu didapatkan? Jika belum, maka pencapaian orang itu baru senang-senang. Artinya, sedang mencari kesenangan. Apakah didapatkan rasa senang itu? Relatif, karena rasa senang itu bukan bersifat jasmani tetapi kejarannya rohani.

Adapun senang, sering dirasakan oleh orang lain yang melihat kita nampak hebat atau lebih dari berkecukupan. “ Si Anu tuh udah senang hidupnya sekarang. Kemana-mana pake mobil!” atau ada yang berceloteh, “Ya. Dia sih kayaknya gajinya juga gede. Wajar kalau udah senang!” Apakah orang yang dibicarakan tadi sudah merasakan kesenangan. Bisa jadi. Tetapi jika pertanyaannya ditingkatkan, Apakah dia bahagia? Belum tentu.

Mengapa demikian?

Sebab ukuran senang dan bahagia berbeda. Hakikat kesenangan ternyata mendapatkan, sementara hakikat bahagia memberi sesuatu. Artinya, seseorang akan bahagia jika mendapatkan bonus, uang THR, kesempatan berlibur, hadiah, dan lain-lain yang sifatnya mendapatkan sesuatu. Semakin banyak yang didapatkan, maka akan semakin senang seseorang. Semakin sedikit yang diterima, maka semakin kurang rasa senangnya.

Sementara ukuran bahagia ternyata berbalik. Jika ingin sekedar bahagia, maka sisihkanlah sedikit harta untuk orang lain. Tetapi jika anda berkeinginan mendapatkan kebahagiaan yang berlimpah, maka Anda menyumbangkan hampir seluruh kemungkinan itu sebesar-besarnya.

Tetapi ada yang lebih prinsip terkait kebahagiaan itu selain yang berkaitan dengan materi. Orang yang mengejar rasa senang bermental “tangan di bawah”. Ia akan bahagia apabila diberi jatah dan marah jika tidak mendapatkan jatah sebagaimana kebanyakan orang. Dirinya iri bahkan dengki pada orang-orang yang diketahuinya mendapatkan jatah lebih dari dirinya. Kalau bisa, hanya dia yang mendapatkan atau dirinya yang paling besar jatahnya. Singkat kata, dirinya bermental kerdil dan pecundang.

Sebaliknya, orang yang mengejar rasa bahagia adalah orang yang bermental “tangan di atas.” Dia sangat senang melihat orang lain bahagia karena mendapatkan pemberian dari orang lain. Ia tidak gusar apalagi iri karena tidak diberi. Sebab yang dipikirkannya adalah memberi bukan menerima dari orang lain. Kalaulah dirinya iri, maka irinya kepada orang yang memberikan harta itu untuk meniru dan meneladani keikhlasan dan kebesaran jiwanya untuk menyalurkan hartanya. Ia ingin sehebat orang yang beramal lebih besar daripadanya. Singkatnya, dirinya bermental raksasa dan pemenang.

Pengejar rasa senang, senantiasa merasa kurang meski hartanya sudah berlimpah. Sementara pengejar rasa bahagia senantiasa merasa berkecukupan meski dengan seadanya. Pengejar rasa senang sering tak terkendali secara jasmani maupun rohaninya. Ia cenderung tak pernah merasa kenyang dan tak pernah merasa cukup. Untuk keperluan mendapatkan rasa senangnya, bila diperlukan dirinya bersedia berbohong dan menyatakan miskin untuk menyembunyikan hartanya agar bertambah atau agar tak dikenai kewajiban seperti orang lain.

Sementara pengejar rasa bahagia merasa cukup atas segala karunia. Ia mampu mengendalikan hartanya karena hartanya senantiasa dipergunakan untuk menolong diri dan sesamanya. Semuanya dirasakannya dalam kendali “cukup”, sehingga tidak perlu repot untuk berkilah atau berpaling dari kewajiban atas hartanya. Ia tak perlu berbohong atas apapun yang dimilikinya karena ia tak dalam kondisi memuliakan hartanya, tetapi hartanya sedang memuliakan dirinya.

Pendek kata, seseorang mungkin saja sedang bersenang-senang, tetapi belum tentu mendapatkan rasa senang. Seseorang belum tentu bahagia, meski kata orang dirinya sudah senang. Tetapi orang yang telah berhasil bahagia, sudah pasti senang dan pandai bersenang-senang dengan cara yang sesuai hati nuraninya.

Semoga kita bahagia di dunia dan selamat di akhirat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun