Dalam film kolosal Korea atau sebatas pengetahuan awam kita, semua pasti beranggapan bahwa raja di Korea cenderung hidup mewah dan bahagia sebagaimana para raja di dunia pada umumnya. Anggapan itu ternyata sangat berbeda dari kenyataannya. Minimal, anggapan demikian tertepis ketika saya ketika berkunjung ke istana peninggalan Dinasti Joseon, yaitu istana Geongbokgung, Changgeokgung, danistana Changgyoungbung.
Raja dan Ratu adalah figur penguasa tertinggi. Tetapi tingginya peraihan kekuasaan tidak sepadan dengan besarnya raihan kebahagiaan yang didapat. Terkait urusan pribadi, menyangkut asmara, umpamanya. Raja dan ratu dihadapkan pada masalah besar berupa aturan dan norma kerajaan. Raja dan ratu tak gampang bercinta sebagaimana masyarakat pada umumnya. Penentuan pertemuan dan jadwal bercinta selalu dihitung terkait hari-hari yang dianggap paling baik untuk bertemu dan memadu kasih. Ini dilakukan dengan harapan tercapainya harapan sebuah kelanggengan dinasti. Pertemuan dan jadwal waktu yang tepat diharapkan memungkinkan lahirnya keturunan yang sehat dan kuat. Tindakan sembrono dengan melakukan percintaan tanpa aturan dan norma yang ditetapkan akan memunculkan bencana berupa kelahiran anak yang cacat, lemah, bahkan menuai bencana. Dengan demikian, apabila sang raja tidak mampu menahan diri untuk kecenderungan bercinta, maka raja bisa melakukannya dengan selir atau wanita lainnya. Kemungkinan adanya dampak yang tidak diharapkan akibat berhubungan dengan seorang selir sama sekali tidak dikhawatirkan, mengingat garis penerima tahta hanya bisa datang dari seorang ratu yang sah.
Akibat dominannya aturan dan perhitungan atas segala kemungkinan buruk pada mereka, raja dan ratu ternyata hanya punya waktu yang sangat terbatas untuk bercinta. Setelah dihitung-hitung berdasar hari baik, ketatnya beragam urusan ketatanegaraan, dan beragam kemungkinan antisipasi atas pencitraan, ternyata dalam setahun raja dan ratu hanya bisa bercinta sebatas empat kali saja. Itu pun pertemuannya hanya diatur sepihak, yakni raja bisa menemui ratu, sedangkan ratu tidak memiliki hak untuk menemui raja.
Terbatasnya waktu untuk bertemu dengan sang kekasih merupakan permasalahan yang sangat berat bagi setiap insan. Peduli dia adalah seorang ratu sekalipun. Sebab, rasa rindu akan kekasih yang dicintai merupakan rasa yang mengharu biru pada setiap pencinta. Celakanya, beban berat yang diterima ratu tak sebatas itu. Jika nanti pada akhirnya bisa bercinta dengan raja pun, rasa kekhawatiran itu masih tetap ada. Dalam setiap perjumpaannya dengan raja, dirinya akan merasa sangat tak berguna jika tak mampu memberikanketurunan yang cerdas, sehat, kuat, dan yang utama, ia harus mampu melahirkan anak laki-laki. Sebagai penenang bagi jiwanya yang terus gelisah hampir seumur hidupnya, Raja menghadiahi ratu taman bunga yang indah. Ribuan bunga yang aneka diupayakan menjadi pelipur hati yang lara.
Sebenarnya penderitaan tidak hanya dihadapi ratu sendirian, sebab raja pun mengalami hal yang kurang lebih sama. Raja dan ratu tidak boleh hidup mewah. Mereka makan sangat sedikit dan mendiami ruangan yang tanpa penghangat. Mereka harus selalu nampak sedang bekerja untuk rakyat, sebab jika tidak demikian hasutan akan datang dari segala sisi. Raja dan ratu harus selalu waspada, sebab musuh bukan hanya datang dari luar tetapi dari pihak dalam pemerintaahan atau bahkan dari keluarga sendiri. Betapa beratnya tekanan menjadi penguasa, membuat Dinasti Joseon yang berkuasa kurang lebih 500 tahun telah melahirkan 27 raja yang berkuasa. Artinya, para penguasa ini hanya berkuasa kurang lebih 18 tahun saja. sebuah masa hidup yang sangat singkat.
di zaman pascamodern seperti sekarang, Korea tetap dikungkung keharusan berjibaku. Setiap siswa sekolah menengah berupaya mendapatkan posisi terhormat dalam pekerjaan dan masyarakat apabila bisa menembus tiga perguruan ternama di negeri ginseng ini. Tiga sekolah ternama itu adalah SKY (Seoul NationalUniversity, Kaist University, dan Yonsei University). Para siswa sekolah menengah atas di Korea Selatan rata-rata memiliki durasi jam belajar yang super lama. Mereka belajar mulai dari jam 09.30 atau 10.00 hingga larut malam. Tujuannya agar para siswa mampu masuk ke perguruan tinggi yang baik, setelah melewati kompetisi yang tinggi. Selain itu, pembelajaran lain di luar jam sekolah pun ditambah dengan pelajaran bahasa Inggris sebagai sarana berkemampuan internasional. Cara pembelajaran dengan waktu "gila-gilaan" seperti ini sebenarnya sudah sangat menuai kritik dari para pengamat pendidikan di Korea sendiri.
Tapi, apa mau dikata. Kesungguhan telah mendarah daging di kalangan warga korea. Pelajar yang terpaksa belajar di luar negeri karena tidak berhasil berebut tempat di negeri sendiri ternyata masih membawa kebiasaan lama. Mereka yang berasrama sering menunjukkan perialku yang sulit dipahami mahasiswa dari warga negara lain. Mereka sering memberikan jatah kasur kepada mahasiswa lain dan memilih tidur dengan alas yang lebih keras. Andai dikonfirmasi menyangkut perilaku aneh yang mereka lakukan ternyata bukan tanpa alasan. Mereka menyampaikan bahwa kasur yang terlalu empuk akan membuat mereka hidup terlalu nyaman. Kasur yang tidak nyaman membuat mereka lebih mengoptimalkan belajar di banding bersenang-senang yang menurut mereka belum saatnya dinikmati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H