Kata asertif adalah kata yang diserap dari kata berbahasa inggris, yakni assertive. Dalam kamus bahasa Inggris, assertivediartikan tegas dan assertiveness dimaknai ketegasan. Dari kata itulah, Prof. Rhenal Kasali memaknai assertiveness sebagai sebuah proses pertumbuhan sikap, paradigma, bahkan konstelasi sikap yang ideal dari individu terhadap komunitasnya.
Apabila di masyarakat ditemukan tiga tipe manusia terkait haknya, yakni manusia pasif,agresif,dan pasif agresif,maka tipe assertive bisa menjadi pilihan sikap yang ideal.
Manusia pasif adalah manusia yang tidak berani memperjuangkan hak-hak pribadinya. Bahkan, hak untuk mengungkapkan perasaannya. Ia merasa seakan-akan dirinya hanya mampu menghargai hak-hak orang lain karena hak-hak dirinyatidak mungkin ia perjuangkan.
Berlawanan dengan manusia pasif, manusia agresif merupakan manusia yang kurang, bahkan tidak menghargai hak-hak orang lain. Yang terbetik di hatinya hanya upaya memperjuangkan diri pribadinya. Ia berani menampilkan segala keinginan personalnya secara terbuka dengan mengabaikan sikap menghormati hak-hak orang lain.
Kombinasi dari kutub agresif dan pasif adalah pasif agresif. Sikap ini agak sulit dikenali karena terjadi pada seseorang yang tampak luarnya pasif tetapi di dalam hatinya sebenarnya terjadi gejolak yang agresif. Berbeda dengan orang pasif yang cenderung hatinya pasrah, orang pasif agresif mengidap kegundahan yang luar biasa. Ia seperti menerima jika hak-haknya yang dilanggar, tetapi di dalam hatinya terjadi sumpah serapah sebagai perwujudan kebencian yang meledak-ledak. Orang pasif agresif akan diam ketika haknya dirampas. Ia tidak berani menyampaikan sesuatu yang ada di dalam pikirannya secara terbuka. Ia hanya agresif pada dirinya sendiri. Ia hanya bisa menggerutu atau ngomel-ngomel kepada dirinya, sementara kepada yang merampas haknya ia menekan pemberontakan batinnya dan berusaha menyembunyikan kekesalannya.
Apabila dibiarkan ketiga sikap di atas berkembang di masyarakat, maka maka negeri ini akan dihuni oleh tiga kelompok manusia bermartabat rendah, yakni penindas, pengalah, dan pengecut. Untuk itulah dibutuhkan pembelajaran sikap assertifsebagai pilihan sikap yang paling tepat.
Sikap assertif tercermin dalam perilaku assertif. Mereka yang memiliki sikap assertif mampu berbicara terbuka menyampaikan hal-hal yang positif dalam rangka mengembalikan haknya yang sengaja atau tak sengaja terampas oleh seseorang yang bersentuhan dengannya. Menariknya, ia dapat menjaga martabatnya agar tidak dinjak-injak orang lain tanpa perlumeruntuhkan martabat orang yang dihadapinya. Yang diingatkan malah menaruh respek karena cara menegur yang santun, halus, dan tidak menyakiti perasaan.
Tentu saja, Assertiveness ini tidak datang secara tiba-tiba. ia bukan asesoris yang bisa dilekatkan dalam sekejap. Jika, seseorang memiliki assertiveness, capaian itu merupakan hasil dari sebuah proses pembinaan panjang dari sebuah pembiasaan. Adapun pembiasaan akan menghasilkan sebuah sikap dan kemampuan positif yang mendarah dagingyang hasilnya menjelma sebagai kharakter.
Oleh karena itu, assertiveness dipahami sebagai sebuah kemampuan yang tumbuh karena latihan. dengan maksud menyederhanakan pemahaman, Rhenald Kasali menyebut assertiveness sebagai training tentang keberanian menyatakan apa yang dipikirkan atau dirasakan secara jujur dan terbuka tanpa mengganggu hubungan. Kemampuan ini hadir bukan hanya mengoptimalkan kemampuan berbahasa, tetapi juga keunggulan dalam mengelola perasaan, rasa percaya diri, kedewasaan, dan pilihan tindak tanduk yang berterima di masyarakat. Dengan kata lain, assertiveness merupakan proses tempaan pengalaman dan pengamalan.
Ia bisa dijadikan indikator kepemimpinan seseorang. Ia adalah orang-orang bisa memimpin dirinya sendiri dan berpotensi mengelola orang lain. Potensi kepemimpinan itu menjadi modal dasar kelak apabila dirinya memimpin karena orang-orang yang mampu bersikap assertif adalah orang-orang yang mampu mengelola hatinya (spiritual quotient), emosionalnya (emotional qoutient), sosialnya (social quotient), dan intelektualnya (intelectual quotient) dengan baik.
Singkatnya, negeri ini membutuhkan pemimpin assertif yang mampu menepis dengan santun beragam desakan yang merongrong otorita kepemimpinannya. Ia bisa bukan hanya mampu melumpuhkan beragam rongrongan, tetapi juga bisa mengajak sekelompok orang yang antipati terhadapnya untuk berpihak padanya tentu karena integritasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H