Mohon tunggu...
Ukhty Iza
Ukhty Iza Mohon Tunggu... Guru - setiap hari embun meneteskan kesetiaanya pada pagi

Darimu ku dengar manisnya surga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya

17 April 2016   14:12 Diperbarui: 27 April 2016   12:30 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="sumber gambar: www.dayasriolm.top"][/caption]“Kau akan dikeluarkan dari sekolah itu, Ri?” Perempuan hampir setengah abad itu bingung bukan main, anak semata wayangnya tak mau sekolah. Sejak menikah dengan lelaki bermata sipit itu lama rahimnya kosong. 13 tahun usia pernikahannya barulah ia dikaruniai seorang anak. Sayangnya saat anak itu lahir saat itu pula suaminya meninggal tertabrak mobil saat pulang kerja.

“Ari gak mau sekolah di sana Bu, di sana banyak aturan!”

“Terus kamu mau sekolah di mana nak? Sudah berkali-kali kamu pindah sekolah, harta peningglan ayahmu sudah habis terjual untuk mengurus perpindahan sekolahmu. Sekarang ibu sudah tak punya apa-apa lagi, nak.”   Tak banyak yang ditinggalkan oleh laki-laki bermata sipit itu, hanya kalung 5 gram, rumah reot, televisi, dan motor bebek tahun 90an. Harta berharganya saat ini hanyalah rumah yang ditempatinya.   

“Pokoknya Ari gak mau sekolah di sana!” Anak itu langsung pergi dengan memakai kaos hitam, celana jeans ketat, topi hitam, dan membawa tas hitam. Entah tas itu dapat dari mana, sebab ibunya tak pernah membelikan tas seperti itu.  

Suminah bangkit dari kursinya dan menatap ke puntu luar. Pandangannya jauh keluar memperhatikan kepergian anaknya. Pelan-pelan anak itu sudah tak terlihat. Dada perempuan hampir setengah abad itu begitu sesak, nasihat yang ia berikan benar-benar tak didengarkan lagi. Jika anak itu benar-benar jadi pada keputusannya, berarti 3 kali ia mengurus perpindahan sekolah anak itu dalam 3 tahun terakhir.  

Hartanya sudah habis, tak tahu harus bagaimana lagi menangani anak semata wayangnya. Pesan Suaminya agar anaknya harus sekolah yang tinggi biar dapat kerja enak. Suaminya memang hanya lulusan SD, sedang Suminah sendiri lulusan SMP. Dalam lamunannya air mata Suminah mengalir deras, dalam hatinya selalu bertanya mengapa ujian hidupnya begitu berat. 

Suminah berjalan menuju kamarnya, tiba-tiba ia teringat pesan Pak Kasno, kakak kandung suaminya, “Bila ada kesulitan, jangan sungkan untuk datang ke rumah. Mungkin saya bisa sedikit bantu kesulitanmu.” Suminah segera menuju rumah Pak Kasno.

Lumayan jauh rumah Pak Kasno, dia harus menempuh jarak 2 kilo. Di depan rumah Pak Kasno ada tulisan ketua RW 01. Sejak pensiun Pak Kasno menjabat sebagai ketua RW. Suminah agak ragu untuk mengetuk pintu. “Ketuk saja pintu itu Suminah” terkejut Suminah mendengar suara itu, ternyata Pak Kasno sudah ada di belakangnya.

 “Ada apa Suminah, wajahmu tampak sedih? Silahkan duduk!”  

Suminah duduk dengan muka merunduk. Ia menceritakan apa yang terjadi pada anaknya. Suminah berharap kakak iparnya dapat membantunya untuk menangani anak itu, sekaligus dapat mewujudkan pesan suaminya.

“Minah, anakmu itu sangat mirip dengan bapaknya.” Pak Kasno mulai bercerita tentang suami Suminah. “Dulu, suamimu itu anak yang paling bandel di keluarga kami. Seperti yang kau tahu, suadara kandung suamimu ada 6, bukan hanya dari segi fisik ia berbeda, tapi dari tingkah lakunya juga. Saat suamimu berusia 7 tahun dia sudah berani mencuri uang kakeknya, habislah ia dipukuli bapaknya. Di usia 13 tahun dia diusir dari rumah, karena ikut tawuran. Suamimu itu pernah duduk di bangku SLTP hanya saja saat kelas 2 SMP dia dikeluarkan dari sekolah karena ikut tawuran. Bahkan suamimu jadi ketuanya. Seminggu ia jadi gelandangan, ibu kami tidak tega dengan suamimu, akhirnya kami sekeluarga mencarinya. Kami kira setelah diusir dia akan sadar dengan kesalahannya ternyata tidak, aku mendapatinya sedang mencuri di toko jam tangan. Dia tak pernah kapok dengan perbuatan jahatnya, Minah. Dan dia juga tak pernah iri dengan melihat saudara kandungnya bergelar sarjana.”

“Tapi, sejak kami menikah aku tidak pernah melihat dia mencuri atau melakukan hal jahat lainnya?” tanya saminah akan perilaku suaminya.

“Sejak dia mengenalmu, perilakunya berubah. Ada satu hal yang kamu belum tahu Minah, saat usia kandunganmu sembilan bulan suamimu benar-benar tidak punya uang, dia bingung bagaimana mendapatkan uang untuk membiayai persalinanmu. Kemudian dia mendatangi Koh Ahim, pengusaha mebel untuk minta kerjaan. Suamimu ditawarkan menjadi kurir narkoba. Katanya menjadi kurir narkoba upahnya lebih besar daripada menjadi karyawan di toko mebelnya. Di hari ke tiga dia menjadi kurir narkoba, disaat itu pula kamu sedang berjuang melahirkan anakmu. Nasib naas menimpa suamimu, hari itu langganan Koh Ahim minta diantarkan narkoba dalam jumlah yang cukup banyak. Karena dia tidak mau membayar barang haram tersebut, akhirnya suamimu ditabrak dengan mobil pelanggang Koh Ahim.”

Saminah menangis tersedu-sedu mendengar penjelasan kakak iparnya. Ia begitu malu dengan perbuatan suminya itu. “Sudahlah Minah, kau harus bersabar. Mungkin benarlah kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya.” Pak Kasno berusaha menenangkan. “Aku akan bantu kamu untuk mendidik anak itu. Izinkan dia tinggal bebarapa bulan di sini, aku yang akan menanganinya.”

Tiba-tiba seorang warga datang dengan berlari ke rumah Pak Kasno.

“Pak, Pak RW aaa..da maling motor di rumah Pak Darma, sekarang malingnya sedang dihakimi warga. Ayo Pak ke sana!” ucap seorang warga sambil mengatur nafasnya.

“Ayo Minah, kita ke sana!”

Suminah dan Pak Kasno ikut berlari menuju tempat tinggal Pak Darma, merka melihat sudah banyak warga yang berdatangan. Ada sekitar empat sampai lima orang termasuk Pak Darma sedang memukuli maling tersebut.

“Sudah.. sudah.. hentikan! Jangan main hakim sendiri. Bukan seperti ini caranya.” Pak Kasno selaku ketua RW mencoba menghentikan tindakan warga yang terus memukuli maling itu.

“Ampun pak, ampun…” ringkih si maling kesakitan. Darah keluar dari jidat dan hidungnya. Bajunya sudah robek-robek dihajar masa. Maling itu tergeletak menangis dan minta ampunan warga.

Suminah yang dari tadi mengikuti langkah kakak iparnya kaget bukan main. Air matanya belum berhenti mengalir karena mendengar cerita tentang suaminya, kini air mata itu bertambah deras. Ia terkejut, maling itu ternyata adalah anaknya.          

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun