Mohon tunggu...
Ukhty Iza
Ukhty Iza Mohon Tunggu... Guru - setiap hari embun meneteskan kesetiaanya pada pagi

Darimu ku dengar manisnya surga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya

17 April 2016   14:12 Diperbarui: 27 April 2016   12:30 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Tapi, sejak kami menikah aku tidak pernah melihat dia mencuri atau melakukan hal jahat lainnya?” tanya saminah akan perilaku suaminya.

“Sejak dia mengenalmu, perilakunya berubah. Ada satu hal yang kamu belum tahu Minah, saat usia kandunganmu sembilan bulan suamimu benar-benar tidak punya uang, dia bingung bagaimana mendapatkan uang untuk membiayai persalinanmu. Kemudian dia mendatangi Koh Ahim, pengusaha mebel untuk minta kerjaan. Suamimu ditawarkan menjadi kurir narkoba. Katanya menjadi kurir narkoba upahnya lebih besar daripada menjadi karyawan di toko mebelnya. Di hari ke tiga dia menjadi kurir narkoba, disaat itu pula kamu sedang berjuang melahirkan anakmu. Nasib naas menimpa suamimu, hari itu langganan Koh Ahim minta diantarkan narkoba dalam jumlah yang cukup banyak. Karena dia tidak mau membayar barang haram tersebut, akhirnya suamimu ditabrak dengan mobil pelanggang Koh Ahim.”

Saminah menangis tersedu-sedu mendengar penjelasan kakak iparnya. Ia begitu malu dengan perbuatan suminya itu. “Sudahlah Minah, kau harus bersabar. Mungkin benarlah kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya.” Pak Kasno berusaha menenangkan. “Aku akan bantu kamu untuk mendidik anak itu. Izinkan dia tinggal bebarapa bulan di sini, aku yang akan menanganinya.”

Tiba-tiba seorang warga datang dengan berlari ke rumah Pak Kasno.

“Pak, Pak RW aaa..da maling motor di rumah Pak Darma, sekarang malingnya sedang dihakimi warga. Ayo Pak ke sana!” ucap seorang warga sambil mengatur nafasnya.

“Ayo Minah, kita ke sana!”

Suminah dan Pak Kasno ikut berlari menuju tempat tinggal Pak Darma, merka melihat sudah banyak warga yang berdatangan. Ada sekitar empat sampai lima orang termasuk Pak Darma sedang memukuli maling tersebut.

“Sudah.. sudah.. hentikan! Jangan main hakim sendiri. Bukan seperti ini caranya.” Pak Kasno selaku ketua RW mencoba menghentikan tindakan warga yang terus memukuli maling itu.

“Ampun pak, ampun…” ringkih si maling kesakitan. Darah keluar dari jidat dan hidungnya. Bajunya sudah robek-robek dihajar masa. Maling itu tergeletak menangis dan minta ampunan warga.

Suminah yang dari tadi mengikuti langkah kakak iparnya kaget bukan main. Air matanya belum berhenti mengalir karena mendengar cerita tentang suaminya, kini air mata itu bertambah deras. Ia terkejut, maling itu ternyata adalah anaknya.          

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun