Mohon tunggu...
Mariatul Kiptia
Mariatul Kiptia Mohon Tunggu... Human Resources - Writer, Public Speaker, Education Consultant

Hello👋 I'm Maria, currently active in the field of literacy and youth empowerment. Experienced in education, project management, and laboratory analysis. I'm a person who likes challenges, and always learning to be the best version of myself.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kesabaran Seorang Gadis yang Berbuah Manis

30 April 2019   18:39 Diperbarui: 30 April 2019   18:50 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua hari setelah kepergian ayah, aku belum keluar dari kamar. Air mataku telah kering, kini aku bukan lagi menangis pilu atas kepergian orang terkasih yang merupakan alasanku tersenyum dan bersemangat selama ini, melainkan merenung memikirkan bagaimana aku akan melanjutkan kehidupanku kedepan. Ya, kehidupan yang kurasa akan sangat berat menjalaninya. Bagaimana tidak? Aku harus menggantikan posisi ayah dalam rumah ini. 

Semua peran, tugas, dan tanggung jawab ayah selama masih hidup. Terkadang sempat terlintas di pikiranku untuk ikut pergi bersama ayah ke alam sana, tapi aku malu dengan usiaku yang sudah dewasa ini jika aku masih dengan egoisnya memikirkan diriku sendiri.

Aku hampir lupa bahwa ada dua orang yang harus diperjuangkan hidupnya oleh aku yang bahkan terkadang belum mampu mengurus diriku sendiri, Mama dan adikku, aku harus ada untuk dan demi mereka, terlebih karena aku adalah anak tertua dalam keluarga kecil ini.

Namaku Ree Sireya, gadis tujuh belas tahun yang saat ini sedang menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas dua belas. Mamaku perempuan yang baik dan cantik, sepertinya adikku lebih mewarisi perihal fisik Mama, ia memiliki wajah yang cantik mirip dengan Mama, memiliki postur tubuh tinggi, namanya Fee Vireya. Fee menempuh pendidikan di SMA yang berbeda dengan sekolahku, usianya selisih dua tahun denganku, saat ini masih kelas sepuluh. Kami hidup bertiga di rumah sederhana milik ayah.

"Ya ampun Ree, ini apa? Mengapa kamu selalu membuat kesalahan yang merugikan keluarga kita? Kemarin kamu hilangkan payung di warung, sekarang kamu pecahkan dua piring sekaligus."

Mama memarahiku di dapur. Pagi ini aku memasak untuk sarapan, entah apa yang terjadi, pagi ini aku pusing sekali, kepalaku terasa berat dan sakit seolah akan pecah. Aku tidak seimbang keika berjalan, sampai akhirnya dua piring yang kubawa terjatuh dan pecah. Tidak sempat aku menjelaskannya, Mama sudah memarahi dan mencibirku.

"Maafkan Ree, Ma. Ree akan segera membersihkan ini." Aku mengambil sapu dan membersihkan serpihan piring di lantai.

"Sudah, tidak perlu! Cepat berikan uang untuk membayar SPP adikmu dan bergegaslah berangkat ke sekolah!". Aku terdiam, hatiku seketika gelisah. Aku menelan ludah dan mulai memikirkan bagaimana aku harus mendapatkan uang untuk kuberikan pada Fee.

Waktu menunjukkan pukul tujuh tepat, tiga puluh menit lagi aku harus sudah berada di sekolah. Hari ini aku ujian tepat pada sesi pertama. Aku semakin tak karuan, keringat dingin bercucuran membasahi seragam putih abu-abu yang terlihat kusut karena belum sempat aku setrika. Jantungku berdebar kencang, ketakutan itu datang. Aku takut Fee akan dipanggil ke BK dan dipermalukan lagi oleh teman-temannya karena sudah sekitar delapan bulan ia tidak membayar SPP, beda satu bulan denganku.

******

Beralaskan sepatu yang tiga perempat bagiannya sudah sobek, aku berjalan menyusuri lorong panjang dan hening ini. Sepertinya para siswa telah memasuki ruang ujian masing-masing, padahal masih tersisa dua puluh lima menit lagi menuju ujian.

"Brukkk.... Aduh,"

Aku terkejut mendengar suara yang sepertinya berasal dari arah kanan posisiku saat ini, sepertinya ada sesuatu yang terjadi, aku lantas berlari menghampiri asal suara itu. Di belakang kamar mandi dekat kantin, aku akhirnya menemukan darimana suara itu berasal.

Mataku terkesima melihat apa yang ada di hadapanku. Seorang siswa Badge lokasinya berwarna hijau, menandakan ia masih kelas sepuluh, adik kelasku. Gadis itu berlutut menundukkan kepalanya, tangannya menutupi bagian wajahnya, di lututnya aku melihat darah, sekujur tubuhku seketika menjadi kaku, kenapa gadis ini? Apakah dia terluka? Begitu gumamku dalam hati. 

Disisi lain, jam tangan di lenganku menunjukkan pukul tujuh lebih lima puluh. Sepuluh menit lagi aku harus berada di ruang ujian karena ujian akan dimulai pukul delapan tepat. Aku terdiam beberapa saat, memikirkan apa yang harus aku lakukan sekarang? Kondisi gadis itu benar-benar memilukan, jika aku tidak membantunya, dia akan semakin parah. Namun jika aku membantunya, bagaimana dengan ujianku?.

"Kriiiing..Kriiing..." teleponku berdering. Begitu aku meletakkan teleponku di telinga kananku, terdengar suara Fee, "Kak, aku diberi waktu hingga besok untuk melunasi pembayaran SPP ku," aku langsung menutup telepon dan bergumam, ya ampun, sungguh berat bebanku hari ini, belum lagi aku dikejar waktu untuk segera mengikuti ujian. Kemudian aku kembali berusaha membantu gadis itu bangkit.

******

Angin berhembus pelan, namun begitu nikmat dan sejuk. Bersandar di tembok pembatas antara ruang tamu dan kamar ini, menambah keinginanku untuk tidur dan beristirahat karena aku sangat lelah setelah membopong gadis terluka tadi dari sekolah ke rumahnya yang tidak begitu jauh jaraknya dari sekolah. Dengan ijin satpam, aku keluar untuk mengantarkan gadis itu ke rumah yang aku ketahui alamatnya dari kartu pelajar di dompet gadis tersebut. Dengan sedikit rasa takut dan ragu, aku memutuskan untuk tidak mengikuti ujian dan lebih memilih mengantarkan gadis terluka itu.

"Nak, terimakasih telah membantu anak ibu, dia terluka karena terjatuh kemarin malam, kemudian tadi saat akan ke kamar mandi dia terjatuh lagi," jelas seorang perempuan berbadan tinggi mengenakan seragam dinas pemerintahan yang ternyata adalah ibu dari Dina, gadis yang aku tolong tadi.

"Ya, bu. Kembali kasih." Jawabku dengan nada lirih.

Ibu itu melihat Badge lokasi di seragamku, kemudian beliau melihat kearah lokasi nama dadaku, "Ree Sireya, nama yang indah. Rupanya kamu adalah kakak kelas dari Dina, bukankah seharusnya kamu mengikuti ujian pagi ini? Atau mungkin kamu kebagian sesi akhir, ya?" perkataan beliau membuatku tercengang sekaligus heran, bagaimana bisa beliau tau kalau aku ujian? Padahal aku tau beliau bukanlah guru di sekolahku.

            "Nak, tidak perlu heran, ibu tau karena suami ibu adalah guru yang bertugas menjaga ujian di sekolahmu." Ucap beliau dengan tersenyum. Aku terkejut, ternyata Dina adalah anak dari salah satu guruku. Aku hanya membalas beliau dengan senyuman setelah itu kembali mengkerutkan wajah lagi karena terganggu oleh beban pikiranku pagi ini.

            "Sebetulnya saya ujian sesi pertama pagi ini bu, namun saya tidak tidak tahan melihat Dina terluka dan tidak berdaya tadi di sekolah, saya meninggalkan ujian dan mengantar Dina pulang," jelasku pada beliau yang memperhatikanku,

            "Lalu, mengapa kamu terlihat sangat murung seperti ada beban masalah yang sangat berat?" lanjut beliau bertanya padaku. Aku tercengang kembali, hatiku diselimuti keraguan apakah harus menjelaskan juga masalahku kepada beliau yang baru saja aku kenal?

            "Katakanlah, nak. Ibu mendengarmu." Bujuk beliau dengan nada lembut.

            "Begini bu, adik saya dibatasi waktu hingga besok untuk melunasi biaya sekolahnya yang sudah berbulan-bulan tidak dibayar, dan saya adalah satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas itu. Mama saya sudah tua, ayah saya sudah meninggal. Masalah kedua adalah, saya meninggalkan ujian pagi ini." Jelasku pada perempuan tersebut yang matanya mulai berkaca-kaca setelah mendengar ceritaku.

            Ibu tersebut kemudian masuk ke dalam kamar dan kembali dengan membawa amplop putih tebal yang diberikan kepadaku sembari menunjukkan sebuah kertas berisi jadwal ujian susulan untuk kelas dua belas di sekolahku, kertas tersebut milik suaminya yang juga guruku di sekolah.

            "Nak, semoga uang ini cukup untuk melunasi biaya sekolah adikmu, terimalah sebagai bentuk terimakasih ibu padamu karena telah menolong Dina, dan kamu jangan khawatir tentang ujianmu, kamu masih bisa mengikuti ujian susulan, lagi pula ibu akan menjelaskan kepada suami ibu alasan mengapa kamu tidak mengikuti ujian pagi ini."

            Aku tertegun, masih tidak percaya pada apa yang baru saja ibu itu lakukan dan katakan kepadaku. Seketika, wajahku seolah memancarkan sinar mentari, kesedihan yang tadi membebani pikiranku, kini telah enyah entah kemana. Aku senang, aku berterimakasih kepada beliau, ibu dari gadis yang aku tolong. Ternyata, kesabaran memanglah berbuah manis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun