"Enak banget jadi Bapak Rudi mah,...bisa ngatur data internet. Mungkin Bapak Rudi adalah satu-satunya orang Indonesia yang kuotanya gak abis-abis! ... Saya mah yakin Bapak Rudi gak pernah ngerasain pas lagi nge-whatsapp gebetan tiba-tiba ceklis satu. Buat Pak Rudi nonton Youtube gak pernah lemot,... apa itu buffering?"Â
Begitu celoteh Komika Kiki Saputri ketika me-roasting Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudi Rudiantara dalam talkshow Kerja Belum Selesai di Kompas TV setahun lalu. Video rekamannya di  Youtube sudah ditonton lebih dari 3,3 Juta viewer.
Bisa jadi sindiran Kiki ini adalah anekdot realita di negeri kita. Sebagai salah satu negara dengan pengguna internet terbanyak di dunia, kita masih dihadapkan pada masalah klasik. Internet lelet, sinyal lemah, dan harga kuota mahal. Padahal ada banyak provider yang bermain di bisnis ini.
Emang seberapa penting internet buat hidup kita? Saya pikir kini internet sudah menjadi kebutuhan pokok, selain sandang, pangan dan papan. Internet bisa #KalahkanJarak dan menjadi jembatan kita untuk berkomunikasi tanpa sekat. Sebagai makhluk sosial, bukankah komunikasi itu penting?
Tentu bukan hanya soal komunikasi, saat ini internet perlahan menjadi alternatif media untuk  hiburan, edukasi, informasi, kerjaan dan bisnis. Kita semakin tergantung pada internet. Sayangnya biarpun internet sudah menjadi hal jamak di masyarakat, kondisinya jauh dari ideal.
Kiki mencoba mewakili keresahan pengguna internet. Lumrah saja kalau ia ingin internet yang ideal. Setidaknya kita mendambakan internet yang kecepatannya kencang, sinyal kuat dan tentu saja harga data internet yang murah. Â
Di video tersebut, Rudi Rudiantara hanya tertawa lepas menanggapi guyonan Kiki. Tapi seandainya saja saya ada di posisi beliau, saya akan jawab, "Ada kok Ki Provider yang internetnya kenceng, sinyalnya stabil di mana-mana, dan harganya super murah,.."
Saya menebak Kiki masih terjebak dilema tak enak. Di satu sisi ada provider yang menyediakan internet kenceng tapi harganya mahal. Sementara di sisi lainnya, ada provider yang harganya murah, tapi kecepatannya seperti keong, sinyalnya lemah bahkan sering hilang. Mau pilih yang mana?
Mungkin kalian bertanya, memangnya ada provider yang bisa memenuhi kriteria sinyal kencang, stabil, dan harganya murah? Ada, saya sendiri baru menyadarinya baru-baru ini.
Semua bermula saat pandemi covid-19 melanda. Demi memutus mata rantai penyebaran virus ini, Pemerintah memberlakukan PSBB dan mengkampanyekan #DiRumahAja. Kantor saya termasuk yang menerapkan kebijakan work from home (WFH). Sejak WFH, ketergantungan terhadap internet mulai saya rasakan.
Karena kerja remote, otomatis saya perlu berkomunikasi jarak jauh dengan rekan kerja. Internet jadi andalan. Berkirim dokumen lewat email atau berbincang via whatsapp soal pekerjaan sudah menjadi bagian dari WFH yang kami jalani.
Satu kebiasaan baru selama WFH adalah rapat online. Kamu termasuk yang terkena demam aplikasi zoom nggak? kalau saya sih iya. Hampir seminggu sekali kantor mengadakan meeting tatap muka lewat aplikasi ini. Belum lagi saya jadi hobi ikut beragam webinar yang mendadak menjamur. Banyak pelatihan online digelar selama masa pandemi ini.
Persoalan muncul saat data internet yang saya pakai tidak mendukung aktivitas tersebut. Pernah ngerasain ketinggalan materi meeting gara-gara koneksi internet yang sering hilang? Saya sering. Ketika di tengah meeting  saya kerap bolak balik sign out dari aplikasi. Reconnecting terus!
Gara-gara sering left saat zoom meeting, saya pernah ditegur atasan. Dianggap enggan hadir pada rapat virtual tersebut. Rekan kantor menganggap saya pelit, fakir kuota dan gak modal. Duh, kalau sudah begini bisa mentok karir nih,....
Selidik punya selidik, biang keroknya ternyata sinyal internet yang tidak stabil. Rupanya selama ini saya tidak menyadari kalau akses internet yang saya pakai tidak sekencang yang saya perlukan, dan ini baru terasa sewaktu harus banyak streaming demi rapat virtual.
Satu lagi persoalan yang saya temui selama pandemi adalah betapa borosnya kebutuhan kuota internet. Selain buat nge-zoom dan lalu lintas data urusan kantor,saya jadi hobi menonton video youtube, memutar film di aplikasi smartphone dan bermain game online demi tetap nyaman berdiam diri di rumah dalam jangka waktu yang panjang. Hal ini  memerlukan back up kuota internet yang melimpah.

Sementara itu, istri juga banyak menggunakan internet untuk keperluan bisnis onlinenya. Setiap hari ia harus mendesain konten gambar melalui situs canva, lalu mengunggahnya di akun media sosialnya. Rutinitas lainnya, ia juga harus mengelola interaksi dengan costumer maupun supplier jualannya. Semua dilakukan secara online.

Saya cuma menggerutu mendapati kenyataan ini. Iya, harga data internet dari provider yang saya pakai tergolong mahal. Jika setiap minggu harus isi ulang kuota internet terus menerut tentunya lumayan juga alokasi biayanya.
Lalu apa solusinya?
"Pindah ke Tri aja!" begitu saran istri ketika saya curhat soal ini. Pakai Tri? Hmm, dulu sih sempat terpikir untuk migrasi ke Tri. Hanya saja selain karena sudah lama menggunakan provider lain serta keraguan akan jangkauan sinyalnya di kota saya, saya urungkan niat itu.
Bukan tanpa alasan istri mengusulkan saya untuk move on ke Tri. Ibu mertua yang tinggal di pelosok desa di Indramayu menggunakan jaringan 3 Indonesia untuk sambungan internet di smartphonenya. Sinyalnya kencang dan stabil.Â
Tiap kali kami berkunjung ke sana, kami bahkan harus menyambung koneksi wifi dari gadget beliau demi mendapatkan sinyal internet karena di sana sinyal provider yang kami pakai sangat lemah. Logikanya, jika di pelosok desa saja sinyalnya kuat apalagi di wilayah perkotaan?
Dulu, alasan kami memilihkan Tri untuk ibu mertua sih karena kuota aktifnya yang lama, 360 hari. Tri punya produk AlwaysOn sepanjang tahun. Tri memang tidak pernah pelit soal masa aktif kartunya. Mengingat kebutuhan internet ibu mertua hanya digunakan untuk whatsapp saja, maka kebutuhan data internetnya pun relatif sedikit. 1-2 GB bisa cukup untuk satu tahun. Tentu saja selain hemat, ini terhitung praktis karena kami tak perlu terjebak dengan masa aktif yang cepat habis.
Dengan kedua alasan diatas, rasanya sangat logis untuk menggunakan Tri demi menunjang produktifitas saya selama WFH. Agar lebih yakin, saya coba melakukan riset sederhana terlebih dahulu mencari tahu apakah jaringan 3 Indonesia di kota saya memang seideal yang saya bayangkan.
Pertama, saya harus tahu bagaimana ketersediaan jaringannya di kota kami. Cara simpelnya, saya kunjungi websitenya, www.tri.co.id. Di sana provider ini mengklaim telah menjangkau 313 Kabupaten yang meliputi 3000 Kecamatan dan 33.000 lebih Desa. Bagaimana dengan kota Purwakarta (tempat kami tinggal), apakah sudah tersedia jaringan kencang Tri?
Dari fitur check coverage, ternyata Purwakarta termasuk kota yang telah dicover sinyal 4.5G jaringan Tri. Asal tahu saja, sinyal 4.5G adalah jaringan internet termutakhir saat ini. Artinya, ini jadi jaminan saya untuk bisa mengakses internet secara cepat.

Berikutnya, supaya lebih meyakinkan, saya juga bertanya kepada teman yang telah menggunakan provider Tri di smartphonenya. Ia menunjukkan test kecepatan lewat aplikasi fast.co.id. Ternyata di kota kami angka rata-rata kecepatan internetnya ada di kisaran 8.5 mbps, bahkan bisa mencapai 20 mbps. Ini termasuk cukup memadai untuk penggunaan streaming video.
Lalu bagaimana soal harga data internetnya? Dengan melihat harga jual paket data di aplikasi marketplace yang sering saya pakai, saya mencoba membuat komparasi. Ternyata harga data internet untuk besaran kuota yang sama, Tri harganya hanya setengah dari provider yang saya pakai.

Dengan semua kelebihan tri diatas, rasanya tak ada alasan lagi untuk menolak move on ke jaringan 3 Indonesia.
Lalu, bagaimana impresinya setelah memakai jaringan Tri? Memuaskan. Dengan Tri, selama PSBB hingga saat masa new normal ini saya terbebas dari masalah klasik soal koneksi internet sebagaimana yang saya alami sebelumnya.
Di luar urusan kantor, saya bisa mengikuti pelatihan online realtime dengan lancar. Selama masa PSBB kemarin, saya fokus mengikuti pelatihan membuat microblog carousel untuk akun Instagram saya lewat aplikasi zoom. lumayanlah, saya jadi punya skill baru.
Hasilnya saya bisa memperkuat branding konten akun Instagram saya dengan feed microblog yang sedang ngetren. Demikian pula untuk akun brand fashion istri, saya percantik dengan copywriting berbentuk microblog ini. Follower akun instagram pribadi saya serta akun bisnis istri saya jadi bertambah.

Ah, gara-gara memakai Tri, saya serasa menjadi Menkominfo deh!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI