Mohon tunggu...
Ofi Sofyan Gumelar
Ofi Sofyan Gumelar Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Warga Kota | Penikmat dan rangkai Kata

Today Reader Tomorrow Leader

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

[Fiksi Ramadan] Rindu di Pengujung Ramadan

23 Mei 2020   12:31 Diperbarui: 23 Mei 2020   12:24 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hilal telah tampak di atas sana, namun sedikit pun tak kulihat bayangmu tersenyum rindu menyapaku." Lamunanku pada senja di penghujung ramadhan ini.

Betapa hati ini rindu akan kehadirannya yang selama ini telah meninggalkan hari-hariku. Sudah jemu rasanya dengan kesepian ini dan itu sangat menyakitkan. Betapa tidak! Aku yang berada di tengah keluarga tercinta setiap hari kami bersama tetap saja aku merasa kehilangan sesosok pria yang selalu kurindukan.

Ya, aku rindu sekali dengan sosok ayah. Sepeninggal beliau tak lagi ada belai kasih sayang yang memanjakan aku dengan belaian lembut dari tangan kekarnya. Senyumnya yang tenang, suaranya yang syahdu bergema terngiang di telingaku. Aku tak tahu lagi entah hari yang keberapa sekarang ini hidupku tanpa bersamanya.

Ayah, seorang pria idaman ibuku. Penuh kharisma wajahnya selalu teduh dipandang hingga hati pun kan terasa nyaman bersamanya. Tak ada keburukan sedikit pun darinya yang kulihat selama ini. Sepertinya begitu jua pandangan ibuku terhadapnya yang selama ini sangat setia pada ayahku.

Sungguh dulu kami sangat bahagia bersamanya walaupun hidup dalam kesederhanaan namun rasanya cukup bagi kami. Sebagai seorang guru, beliau adalah pribadi yang sangat mengesankan. Bukan saja karena wajahnya yang tampan, namun sikapnya pun sangat disukai oleh siapapun.

"Yah... Aku sangat rindu padamu." Dalam isak tertahan aku bergumam sendiri.

Lamunan kembali melayang pada masa bahagia bersamamu. Entah kapan waktu itu akan kembali. Dan akankah ia kembali? Hanya di hati saja ada jawabnya, sambil kuusap derai yang membasahi pipi.

Kini, ketika kehidupanku telah menginjak usia dewasa, bukan lagi dewasa sih, tepatnya hampir paruh baya. Masa-masa bersamanya begitu kudamba menghangatkan jiwa. Entah mengapa sosok ayah bagiku sangat membuatku patah hati. Rasa kesepian ini selalu mengingatkanku padanya.

Dalam kehidupan yang kujalani sekarang yang bertumpuk dengan banyak beban namun harus kupikul sendiri sangatlah membuatku merasa sulit dan berat. Bukan keberatan karena aku harus mengurusi ibuku, namun aku hanya tak ingin membuat ibuku hidup dalam kesulitan.

Keadaan yang belum bisa membuat kebahagiaan untuk ibuku. Ya, hingga saat ini aku belum bisa membahagiakannya. Hanya ada tekad dan keinginan saja yang kupunya, karena perjuangan ini sangat berat kujalani dan itu tak membuatku patah semangat.

Ramadhan kali ini yang diliputi dengan pandemi sungguh sangat menakutkanku. Usia ibuku yang kian renta namun keadaanku yang hanya seadanya jelas sangat membuatku sedikit kecewa.

"Maafkan aku, Yah. Ibu yang sudah renta itu belum mampu kubahagiakan ia." Isakku kembali tertahan.

Aku hanya bisa berjuang dan terus berusaha untuk memberikan kebahagiaan untuk ibuku, seorang perempuan yang sangat dicintai oleh ayahku. Walau peluh ini terasa perih aku kan tetap berjuang.

Wajah itu pun datang membayang di pelupuk mata. Ya, ayahku tersenyum di balik tirai putih yang tertiup semilir angin. Kurasakan kehadirannya di sisiku dan membelaiku dengan kelembutannya.

Tatapan nanar mengelilingi ruang kamarku yang sunyi. Tirai jendela pun tak kulihat lagi terayunkan angin. Semua bisu dalam hening, seperti hati ini yang merasakan pilu.

"Seandainya saja... " Bisikku lirih.

Kuusap wajah dengan kedua belah tangan ini, dan kusadari jika aku sedang asyik dengan sebuah lamunan yang menenggelamkan perasaan. Aku pun bangkit berdiri, berjalannperlahan menuju jendela dan membukanya.

Kulihat angkasa begitu indahnya dengan taburan sinar yang berkemilau. Seakan sinarnya tersenyum padaku dan berkata "Tenanglah, walaupun dalam gelap akan ada seberkas sinar menerangi."

Aku pun tersenyum sambil mendekapkan tangan di dada, dalam hati berkata "Aku harus bahagia, agar ibuku juga bahagia".

Ya, apapun dan bagaimanapun caranya aku harus bahagia, jangan sampai ibuku melihat duka di wajahku. Tiba-tiba kudengar bisikan lembut di telinga "Berbahagialah, nak. Hidup harus dijalani dan disyukuri, tersenyumlah."

Terhenyaklah aku mendengar bisikan itu, seakan sungguh kudengar ayahku yang berbicara.

Disaat seperti ini rasanya benar-benar aku ingin didekap olehnya dan menceritakan segala beban di hati ini. Namun itu hanyalah mimpi, karena besok di hari raya idul fitri hanya pusaramu saja yang dapat kujumpai.

"Semoga kau tenang di alam sana beserta rahmat Sang Maha Kuasa, aamiin." Gumamku dalam hati.

Dan aku berjanji, untuk selalu tersenyum dan bersyukur walau sesulit apa pun kehidupan ini. Karena aku harus bahagia, agar ibuku juga bahagia dan demi ketenangan almarhum ayahku di alam sana.

"Allahummaghfirlahuu warhamhu wa'afihi wa' fu'anhu, aamiin."

hv-4-5ec8b4ab097f361cee3f6ba2.jpeg
hv-4-5ec8b4ab097f361cee3f6ba2.jpeg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun